STUDI KEBIJAKAN TENTANG MANAJEMEN
PENINGKATAN
MUTU BERBASIS SEKOLAH/MADRASAH
Studi Kebijakan Islam
Pengampu
Prof. Dr. H. Baharuddin, M. Pd. I
Disusun Oleh
Muhammad Miftah Arief, S.Pd.I, M.Pd
2015
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Peningkatan
mutu pendidikan merupakan peran pembangunan dibidang pendidikan Nasional dan
merupakan bagian integral dan upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia
secara menyeluruh. Dalam Undang-Undang Pendidikan Republik Indonesia Nomor 20
tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional pasal 1 dijelaskan bahwa:
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif dalam mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Selain
itu sejalan juga dengan tujuan UUSPN bab II pasal 3 tahun 2003 yang berbunyi:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dalam membentuk watak serta
peradaban dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokrat serta bertanggung
jawab.[2]
Reformasi dibidang pendidikan dewasa ini merupakan
sesuatu yang mesti dilakukan. Dua faktor yang melatarbelakanginya adalah faktor
eksternal yaitu adanya tuntutan persaingan global di era kesejagatan dan faktor
internal, yaitu perlunya penyesuaian sistem pendidikan dengan kebijakan otonomi
daerah yang menuntut adanya desentralisasi bidang pendidikan.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) adalah
model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan
fleksibilitas atau keluwesan-keluwesan kepada sekolah, dan mendorong
partisipasi secara langsung warga sekolah (guru, peserta didik, kepala sekolah,
karyawan) dan masyarakat (orang tua, tokoh masyarakat, ilmuwan, pengusaha, dan
sebagainya) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.[3]
Pengembangan mutu sekolah/madrasah merupakan upaya yang
harus terus dilakukan dalam upaya untuk meingkatkan kualitas kehidupan bangsa
Indonesia. Kondisi tersebut dikarenakan meningkatnya mutu sekolah/madrasah
tentu berpengaruh langsung terhadap peningkatan kualitas pendidikan yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia pada suatu negara. Berbagai
bukti empirik telah menunjukkan bahwa tingginya sumberdaya manusia suatu negara
diawali dengan meningkatnya mutu lembaga pendidikan di negara tersebut.[4]
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan
alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada
kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective
school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan.[5]
Dengan pengertian di atas, maka sekolah
memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam mengelola sekolahnya
(menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana peningkatan mutu,
melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi pelaksanaan
rencana peningkatan mutu) dan partisipasi kelompok-kelompok yang berkepentingan
dengan sekolah merupakan ciri khas MPMBS. Jadi sekolah merupakan unit utama
pengelola proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya (Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi) merupakan unit pendukung dan
pelayanan sekolah, khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Berdasarkan keterangan diatas maka dalam makalah ini akan
mencoba membahas tentang pengertian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah/madrsah
dan hal-hal yang berkaitan dengannya.
2. Rumusan Masalah
a.
Apa pengertian manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah/madrsah?
b.
Bagaimana konsep manajemen peningkatan mutu berbasis
sekolah/madrasah?
c.
Bagaimana implementasi manajeman peningkatan mutu
berbasis sekolah/madrasah?
3. Tujuan Pembahasan
a.
Untuk mengetahui pengertian manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah/madrasah.
b.
Untuk mengetahui konsep manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah/madrasah.
c.
Untuk mengetahui implementasi manajeman peningkatan mutu
berbasis sekolah/madrasah.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah/Madrsah
Pendidikan
bermutu adalah pendidikan yang melakukan proses pematangan kualitas peserta
didik yang dikembangkan dengan cara membebaskan peserta didik dari
ketidaktahuan, ketidakjujuran, dan dari buruknya akhlak dan keimanan. Pendidikan bermutu lahir dari sistem
perencanaan yang baik (good planning
system) dengan materi dan sistem tata kelola yang baik (good governance system) dan disampaikan
oleh guru yang baik (good teachers)
dengan komponen pendidikan yang bermutu khusus guru.[6]
Manajemen berbasis madrasah adalah
salah satu upaya pemerintah untuk mencapai keunggulan masyarakat bangsa dalam
penguasaan ilmu dan teknologi, yang di tunjukan dengan pernyataan politik dan
garis-garis besar haluan negara (GBHN). Hal tersebut diharapkan dapat dijadikan
landasan dalam pengembangan pendidikan di Indonesia yang berkualitas.[7]
Manajemen peningkatan mutu berbasis
madrasah ialah proses manajemen madrasah yang di arahkan pada peningkatan mutu
pendidikan, secara otonomi yang di rencanakan, diorganisasikan, dilaksanakan,
dan dievaluasi melibatkan semua setakeholder sekolah. Sesuai dengan konsep
tersebut, manajemen penungkatan mutu berbasis madrasah pada hakekatnya
merupakan pemberian otonomi kepada madrasah atau sekolah untuk secara aktif
atau mandiri melakukan dan mengembngkan berbagai pogram peningkatan mutu
pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah atau masyarakat di sekitarnya. Oleh
karena itu sebagai pemberian otonomi, maka banyak sekali pakar manajemen
pendidikan dari berbagai negara yang menyebut Manajemen Berbasis Madrasah
sebagai otonomi sekolah, atau kemenangan yang di sentralisasikan tidak saja
ketingkat kabupaten dan kota, melainkan juga kesekolah.[8]
Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah dijamin oleh
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51
ayat (1) “pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan
prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Dengan demikian, prinsip
Manajemen Berbasis Sekolah secara tegas dinyatakan dalam UU Nomor 20/2003
sebagai prinsip dalam pengelolaan pendidikan baik untuk pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Pendidikan dianggap sebagai suatu investasi yang paling
berharga dalam bentuk peningkatan kualitas sumber daya insani untuk pembangunan
suatu bangsa. Seringkali kebesaran suatu bangsa diukur dari sejauhmana
masyarakatnya mengenyam pendidikan. Semakin tinggi pendidikan yang dimiliki
oleh masyarakat, maka semakin majulah bangsa tersebut. Kualitas pendidikan
tidak saja dilihat dari kemegahan fasilitas pendidikan yang dimiliki, tetapi
sejauh mana output (lulusan) suatu pendidikan dapat membangun sebagai manusia
yang paripurna sebagai tahapan pendidikan tersebut.[9]
Beberapa pemaparan diatas menunjukkan bahwa mutu
pendidikan yang bagus sangat diutamakan dan diperhatikan terbukti pemerintah
pun sangat memperhatikannya dalam menunjang agar mutu suatu pendidikan dalam
lembaga sekolah itu semakin meningkat.
Manajemen peningkatan mutu berbasis
madrasah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih
menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.[10]
Manajemen
Berbasis Sekolah/Madrasah (MBS) adalah bentuk alternatif sekolah sebagai hasil
dari desentralisasi pendidikan. MBS pada prinsipnya bertumpu pada sekolah dan
masyarakat serta jauh dari birokrasi yang sentralistik. MBS berpotensi untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat, pemerataan, efisiensi, serta manajemen
yang bertumpu pada tingkat sekolah. MBS dimaksudkan meningkatkan otonomi
sekolah, menentukan sendiri apa yang perlu diajarkan, dan mengelola sumber daya
yang ada untuk berinovasi. MBS juga memiliki potensi yang besar untuk
menciptakan kepala sekolah, guru, dan administrator yang profesional. Dengan
demikian, sekolah akan bersifat responsif terhadap kebutuhan masing-masing
siswa dan masyarakat sekolah. Prestasi belajar siswa dapat dioptimalkan melalui
partisipasi langsung orangtua dan masyarakat.
Manajemen
berbasis sekolah dapat diartikan dari penjabaran sebelumnya adalah sebagai
model yang memberikan otonomi atau sebuah kewenangan serta tanggung jawab yang
lebih besar kepada sekolah dan dapat disimpulkan bahwa dengan otonomi tersebut, sekolah diberikan
kewenangan dan tanggung jawab untuk mengambil keputusan sesuai dengan
kebutuhan, kemampuan, dan tuntutan sekolah serta masyarkat.
School Base Management (SBM) is one
of form of restructuring that has gained widespread attention. Like others, it
seek to change the way school system conduct business. It is aimed squarely at
improving the academic performance of school by changing their organizational
design. Drawing on the experiences of existing programs.[11]
Berbagai pemaparan diatas dapat dikatakan memang sejalan
dengan keterangan sebelumnya bahwa Manajemen Berbasis Sekolah ini akan
memberikan otonomi yang lebih besar, sedangkan kewenangannya serta tanggung
jawab yang lebih besar dipegang oleh sekolah, tentunya dalam hal
pengelolaannya. Sekolah dituntut untuk mandiri, dengan kemandiriannya sebuah
lembaga sekolah akan menimbulkan lebih berdaya dalam mengembangkan
program-program yang pastinya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan serta
potensi yang dimiki sekolah. Dengan ini sekolah akan lebih lincah dalam
mengelola dan memanfaatkan sumberdaya secara optimal. Dengan partisifasi atau
keterlibatan warga sekolah dan masyarakat secara aktif dalam menyelenggarakan
sekolah, rasa memiliki terhadap sekolah dapat ditingkatkan.
Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan
peningkatan rasa tanggung jawab. Peningkatan rasa tanggung jawab akan
meningkatkan dedikasi warga sekolah dan masyarakat terhadap sekolah. Hal inilah
yang menjadikan esnsi partisipasi warga sekolah dan masyarakat dalam
pendidikan. Peran serta warga masyarakat telah diatur dalam satu kelembagaan
yang disebut dengan komite sekolah. Secara resmi keberadaan komite sekolah
ditunjukan melalui Surat Keputusan Mendiknas Nomor 044/U/2002 tentang Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah. Dalam hal pembentukannya, komite sekolah
menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi.[12]
2. Konsep Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah/Madrasah
Di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan Dinas
Pendidikan Nasional, terminologi yang populer adalam Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah (MPMBS).[13]
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis sekolah (MPMBS)
merupakan sistem pengelolaan persekolahan yang memberikan kewenangan dan
kekuasaan kepada sekolah untuk mengatur kehidupannya sesuai dengan potensi,
tuntutan, dan kebutuhan sekolah yang bersangkutan. Dalam MPMBS sekolah
merupakan institusi yang memiliki “Full
Authority and Responsibility“ untuk secara mandiri menetapkan
program-program pendidikan dan berbagai kebijakan lokal sekolah sesuai dengan
visi, misi, dan tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh sekolah.[14]
Depdikbud (2001) mengartikan manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (MPMBS) sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih
besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah,
karyawan, orangtua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah
berdasarkan kebijakan pendidikan nasional. Dengan otonomi yang lebih besar,
maka sekolah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya,
sehingga sekolah lebih mandiri. Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya
dalam mengembangkan program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan
kebutuhan dan potensi yang dimilikinya. Demikian juga dengan pengambilan
keputusan partisipatif, yaitu pelibatan warga sekolah secara langsung dalam
pengambilan keputusan, maka rasa memiliki warga sekolah dapat meningkat.
Peningkatan rasa memiliki ini akan menyebabkan peningkatan rasa tanggung jawab,
dan peningkatan rasa tanggung jawab akan meningkatkan dedikasi warga sekolah
terhadap sekolahnya. Inilah esensi pengambilan keputusan partisipasif. Baik
peningkatan otonomi sekolah maupun pengambilan keputusan partisipasif,
kesemuanya ditunjukan untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional yaitu berlaku.[15]
Seperti telah diuraikan sebelumnya, manajemen berbasis
sekolah dapat didefinisikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas/keluwesan lebih besar
kepada sekolah untuk mengelola sumberdaya sekolah dan mendorong sekolah
meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan
nasional. Oleh karena itu, esensi MBS adalah otonomi sekolah, fleksibilitas dan
partisipasi untuk mencapai sasaran mutu sekolah.
Otonomi dapat diartikan sebagai kemandirian, yaitu
kemandirian dalam mengatur dan mengurus dirinya sendiri serta merdeka/tidak tergantung.
Kemandirian dalam program dan pendanaan merupakan tolak ukur utama kemandirian
sekolah. Pada gilirannya, kemandirian yang berlangsung secara terus menerus
akan menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan sekolah (sustainbilitas).
Istilah otonomi juga sama dengan istilah “swa”, misalnya swasembada, swakelola,
swadana, dan swakarya, dan swalayan.[16]
Fleksibilitas dapat diartikan sebagai keluwesan yang
diberikan kepada sekolah untuk mengelola, memanfaatkan, dan memberdayakan
sumberdaya sekolah seoptimal mungkin untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan
lebih besarnya keluwesan yang dibwrikan kepada sekolah, akan membuat sekolah
lebih lincah dan tidak harus menunggu arahan dari atasan untuk mengelola,
memanfaatkan, dan memberdayakan sumberdayanya. Dengan cara seperti itu, sekolah
akan lebih responsif dan lebih cepat dalam menanggapi segala tantangan yang
dihadapi.[17]
Peningkatan partisipasi adalah penciptaan lingkungan yang
terbuka dan demokratis, dimana warga sekolah didorong untuk terlibat secara
langsung dalam penyelenggaraan pendidikan pendidikanan, mulai dari pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan.[18]
Jika diliahat dari sisi maknyanya, hubungan sekolah dan masyarakat memiliki
pengertian yang sangat luas sehingga masing-masing ahli memiliki persepsi yang
berbeda-beda hal ini tentunya disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda-beda,
seperti diungkapakn bahwa “hubungan masyarakat dengan sekolah merupakan
komunikasi dua arah antara organisasi dengan fublik secara timbal balik baik
dalam rangka mendukung fungsi dan tujuan manajemen dengan meningkatkan pembinaan
kerjasama serta pemenuhan kepentingan bersama“ (International Public Relation Association).[19]
Dengan
pengertian di atas, maka sekolah memiliki kewenangan (kemandirian) lebih besar dalam
mengelola sekolahnya (menetapkan sasaran peningkatan mutu, menyusun rencana
peningkatan mutu, melaksanakan rencana peningkatan mutu, dan melakukan evaluasi
pelaksanaan peningkatan mutu), memiliki fleksibilitas pengelolaan sumberdaya
sekolah, dan memiliki partisipasi yang lebih besar dari kelompok-kelompok yang
berkepentingan dengan sekolah. Dengan kepemilikan ketiga hal ini, maka sekolah akan
merupakan unit utama pengelolaan proses pendidikan, sedang unit-unit diatasnya
(Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Propinsi, dan Departemen
Pendidikan Nasional) akan merupakan unit pendukung dan pelayan Sekolah,
khususnya dalam pengelolaan peningkatan mutu.
Pada skema tersebut, tampak jelas
bahwa konsep dasar Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah adalah adanya
otonomi dan pengambilan keeputusan partisipatif. Artinya, MPMBS memberikan
otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah secara individual dalam
menjalankan program sekolahnya dan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang
terjadi. Selain itu, dalam menyelesaikan masalah dan dalam pengambilan
keputusan harus melibatkan partisipasi setiap konstituen sekolah seperti siswa,
guru, tenaga administrasi, orangtua, masyarakat lingkungan, dan para tokoh
masayarakat.[21]
Secara umum tujuan diterapkannya
MPMBS adalah untuk memandirikan dan memberdayakan sekolah melalui pemberian
kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan
pengambilan keputusan secara partisipatif. Secara khusus tujuan diterapkannya
MPMBS adalah untuk:
a. Meningkatkan mutu pendidikan melalui
kemandirian dan inisiatif sekolah dalam mengelola dan memberdayakan sumber daya
yang tersedia.
b. Meningkatkan kepedulian warga
sekolah dan masyarakat dalam penyelenggarakan pendidikan melalui pengambilan
keputusan bersama.
c. Meningkatkan tanggung jawab sekolah
kepada orang tua, masyarakat, dan pemerintah tentang mutu sekolahnya.
d. Meningkatkan kompetisi yang sehat antarsekolah tentang mutu
pendidikan yang akan dicapai.[22]
3.
Landasan Yuridis Penerapan MBS
a. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 ayat (1) ”pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah
dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah”.
b. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004 pada Bab VII tentang
Bagian Program Pembangunan Bidang Pendidikan, khususnya sasaran (3), yaitu
“terwujudnya manajemen pendidikan yang berbasis pada sekolah dan masyarakat (school community based management)”.
c. Keputusan Mentri Pendidikan Nasional
Nomor 44 Tahun 2002 tentang Pembentukan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
d. Kepmendiknas Nomor 087 tahun 2004
tentang Standar Akreditas Sekolah, khususnya tentang manajemen berbasis
sekolah.
e. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, khususnya standar pengelolaan
sekolah, yaitu manajemen berbasis sekolah.[23]
4.
Implementasi Kebijakan Manajemen
Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah
Peningkatan mutu pendidikan di
sekolah perlu didukung kemampuan manajerial para kepala sekolah. Sekolah perlu
berkembnag maju dari tahun ke tahun. Karena itu, hubungan baik antarguru perlu
diciptakan agar terjalin iklim dan suasana kerja yang kondusif dan menyenangkan.
Demikian halnya penataan penampilan fisik dan manajemen sekolah perlu dibina
agar sekolah menjadi lingkungan pendidikan yang dapat menumbuhkan kreativitas,
disiplin, dan semangat belajar peserta didik. Dalam kerangka inilah dirasakan
perlunya implementasi MBS.
Menurut Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah (2000) penerapan MPMBS di sekolah itu melalui:
a. Penyusunan data dan profil sekolah
yang komprehensif, akurat, valid, dan sistematis.
b. Melakukan evaluasi diri,
menganalisis kelemahan dan kekuatan seluruh komponen sekolah.
c. Mengidentifikasi kebutuhan sekolah,
merumuskan visi misi dan tujuan dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan
bagi siswa berdasarkan hasil evaluasi diri.
d. Menyusun program kerja jangka
panjang dan jangka pendek sesuai dengan visi misi dan tujuan yang telah
dirumuskan, yang diprioritaskan pada peningkatan mutu pendidikan.
e. Mengimplementasikan program kerja.
f.
Melakukan monitoring dan evaluasi atas program kerja yang
diimplementasikan.
g. Menyusun program lanjutan (untuk tahun
berikutnya) atas dasar hasil monitoring dan evaluasi.[24]
Dalam iklim yang kompetitip sekarang
ini, sulit bagi organisasi untuk dapat hidup dengan baik jika tidak memiliki
kemampuan untuk merubah diri dengan cepat dan mampu berkembang seiring dengan
berbagai tuntutan stakeholder.
Kondisi ini berlaku hampir pada keseluruhan organisasi baik yang bersifat
profit maupun organisasi yang bersifat non profit. Sekolah/madrasah sebagai
lembaga pendidikan yang termasuk juga non-profit juga tidak terlepas dari
fenomena ini, itulah sebabnya dalam banyak hal lembaga pendidikan harus
mengetahui berbagai harapan dan kebutuhan stakeholder.
Pemerintah dalam hal ini telah memberikan regulasi kepada lembaga pendidikan
untuk selalu menyertakan stakeholder dalam
seluruh kegiatan melalui apa yang disebut dengan Komite Madrasah.[25]
Secara alamiah proses hidup mati
organisasi selalu tergantung kepada kemampuan organisasi memenuhi harapan
kepada kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kebutuhan stakeholdernya. Demikian pula dengan sekolah/madrasah harus selalu
mampu mengedentifikasi kebutuhan stakeholdernya,
namun demikian sebelum sekolah/madrasah mengidentifikasi harapan dan
kebutuhan stakeholder, sekolah/madrasah harus mampu menentukan terlebih dahulu
siapa-siapa yang menjadi stakeholdernya. Bahkan
lebih jauh dari itu, sekolah/madrasah juga mampu mengidentifikasi siapa yang
menjadi stakeholder potensialnya.
Kondisi ini diperlukan karena tidak setiap organisasi memiliki produk/layanan
yang dapat atau cocok diperuntungkkan bagi semua orang. Sehingga organisasi
harus mengetahui sasaran utama dari produk/layanan yang diberikannya. Kondisi
tersebut digambarkan dalam gambar di bawah ini.[26]
Dilandasi
oleh konsep MPMBS dan dari pemaparan berbagai pemikiran di atas mengenai
pelaksanaannya tersebut, maka dapat ditrik kesimpulan berikut ini beberapa
tahapan dalam pelaksanaan MPMBS yang sifatnya masih “umum” dan “luwes”. Sekolah
dapat melakukan penyesuaian-penyesuaian pentahapan tersebut sesuai dengan
kondisi sekolah masing-masing, maka untuk pelaksanaan MPMBS setidaknya
diperlukan tahapan sebagai berikut;
a. Melakukan Sosialisasi
Langkah pertama yang harus dilakukan
oleh sekolah adalah mensosialiasikan konsep MPMBS keseluruh unsur sekolah
(guru, siswa, wakil kepala sekolah, konselor, karyawan dan unsur-unsur terkait
lainnya (orangtua murid, pengawas, pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota,
pejabat Dinas Pendidikan Propinsi, dsb.) melalui berbagai mekanisme, misalnya
seminar, diskusi, rapat kerja, symposium, forum ilmiah, dan media masa. Dalam
melakukan sosialisasi MPMBS, yang penting dilakukan adalah “membaca” dan
“membentuk” budaya MPMBS disekolahnya.
b. Mengidentifikasi Tantangan Nyata
Sekolah
Pada tahap ini, sekolah melakukan
analisis output sekolah yang hasilnya berupa identifikasi tantangan nyata yang
dihadapi oleh sekolah. Tantangan adalah selisih (ketidaksesuaian) antara output
sekolah saat ini dan output sekolah yang diharapkan dimasa mendatang. Besar
kecilnya ketidaksesuaian antara output sekolah saat ini (kenyataan) dengan
output sekolah yang diharapkan (idealnya) di masa yang akan datang
memberitahukan besar kecilnya tantangan (loncatan). Output sekolah yang dapat
dikategorikan menjadi empat, yaitu kualitas, produktivitas, efektivitas, dan
efisiensi.[27]
c. Merumuskan Tujuan Situasional/Tujuan
Jangka Pendek (Sasaran) Sekolah
Tujuan situasional adalah tujuan
yang dirumuskan dengan memperhitungkan tantangan yang nyata dihadapi oleh
sekolah. Berdasarkan tantangan yang nyata, maka dirumuskanlah tujuan
situasional yang akan dicapai oleh sekolah. Meskipun sasaran dirumuskan
berdasarkan atas tantangan nyata yang dihadapi oleh sekolah, namun perumusan
sasaran tersebut harus tetap mengacu pada visi, misi, dan tujuan sekolah,
karena visi, misi, dan tujuan sekolah merupakan pengertian dan dasar-dasar
perhitungan perumusan sasaran sekolah. Karena itu, setiap sekolah harus
memiliki visi, misi, dan tujuan sekolah, sebelum merumuskan sasaran yang akan
dicapai. Tujuan situasional sering juga disebut tujuan jangka pendek/sasaran.
d. Melakukan Analisis SWOT
Langkah pertama yang harus dilakukan
dalam analisis SWOT adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang perlu dilibatkan
untuk mencapai tujuan situasional dan yang masih perlu diteliti tingkat
kesiapannya. Fungsi-fungsi yang dimaksud, misalnya, meliputi: proses belajar
mengajar, perencanaan instruksional, manajemen personalia, pengelolaan uang,
pengembangan siswa, pengembangan iklim akademik sekolah, pengembangan hubungan
sekolah-masyarakat, dan pengembangan fasilitas.[28]
Setelah fungsi-fungsi yang perlu
dilibatkan untuk mencapai sasaran diidentifikasi, maka langkah kedua adalah
menentukan tingkat kesiapan setiap fungsi dan faktor-faktornya melalui analisis
SWOT (Strength, Weaknes, Opportunity, and Threat).
Analisis SWOT dilakukan dengan
maksud untuk mengenali tingkat kesiapan setiap fungsi dari keseluruhan fungsi
sekolah yang diperlukan untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Dari
hasil analisis SWOT, kemudian langkah selanjutnya adalah memilih
langkah-langkah pemecahan persoalan (peniadaan) persoalan, yakni tindakan yang
diperlukan untuk mengubah fungsi yang tidak siap menjadi fungsi yang siap.
Selama masih ada persoalan, yang sama artinya dengan ada ketidaksiapan
fungsi, maka sasaran yang telah ditetapkan tidak akan tercapai. Oleh karena
itu, agar sasaran tercapai, perlu dilakukan tindakan-tindakan yang mengubah
ketidaksiapan menjadi kesiapan fungsi.[29]
e. Menyusun Rencana dan Program
Peningkatan Mutu
Berdasarkan langkah-langkah
pemecahan persoalan tersebut, sekolah bersama-sama dengan semua unsur-unsurnya
membuat rencana untuk jangka pendek, menengah, dan panjang, beserta
program-programnya untuk merealisasikan rencana tersebut. Sekolah tidak selalu
memiliki sumberdaya yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan bagi pelaksanaan
MPMBS, sehingga perlu dibuat skala prioritas untuk jangka pendek, menengah, dan
panjang.
f.
Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu
Dalam melaksanakan rencana
peningkatan mutu pendidikan yang telah disetujui bersama antara sekolah,
orangtua peserta didik, dan masyarakat, maka sekolah perlu mengambil langkah
proaktif untuk mewujudkan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Kepala sekolah
dan guru hendaknya mendayagunakan sumberdaya pendidikan yang tersedia
semaksimal mungkin, menggunakan pengalaman-pengalaman masa lalu yang dianggap
efektif, dan menggunakan teori-teori yang terbukti mampu meningkatkan kualitas
pembelajaran. Kepala sekolah dan guru bebas mengambil inisiatif dan kreatif
dalam menjalankan program-program yang diproyeksikan dapat mencapai
sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Karena itu, sekolah harus dapat
membebaskan diri dari keterikatan-keterikatan birokratis yang biasanya banyak
menghambat penyelenggaraan pendidikan.
Untuk menghindari berbagai
penyimpangan, kepala sekolah perlu melakukan supervisi dan monitoring terhadap
kegiatan-kegiatan peningkatan mutu yang dilakukan di sekolah. Kepala sekolah
sebagai manajer dan pemimpin pendidikan di sekolahnya berhak dan perlu
memberikan arahan, bimbingan, dukungan, dan teguran kepada guru dan tenaga
lainnya jika ada kegiatan yang tidak sesuai dengan jalur-jalur yang telah
ditetapkan. Namun demikian, bimbingan dan arahan jangan sampai membuat guru dan
tenaga lainnya menjadi amat terkekang dalam melaksanakan kegiatan, sehingga
kegiatan tidak mencapai sasaran.
g. Melakukan Evaluasi Pelaksanaan
Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan program, sekolah perlu mengadakan evaluasi pelaksanaan program,
baik jangka pendek maupun jangka panjang. Evaluasi jangka pendek dilakukan
setiap akhir semester untuk mengetahui keberhasilan program secara bertahap.
Bilamana pada satu semester dinilai adanya faktor-faktor yang tidak mendukung,
maka sekolah harus dapat memperbaiki pelaksanaan program peningkatan mutu pada
semester berikutnya. Evaluasi jangka menengah dilakukan pada setiap akhir
tahun, untuk mengetahui seberapa jauh program peningkatan mutu telah mencapai
sasaran-sasaran mutu yang telah ditetapkan sebelumnya.[30]
Dengan evaluasi ini akan diketahui kekuatan dan kelemahan program untuk
diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Dalam melaksanakan evaluasi, kepala
sekolah harus mengikutsertakan setiap unsur yang terlibat dalam program.
h. Merumuskan Sasaran Mutu Baru
Sebagaimana dikemukakan terdahulu,
hasil evaluasi berguna untuk dijadikan alat bagi perbaikan kinerja program yang
akan datang. Namun yang tidak kalah pentingnya, hasil evaluasi merupakan
masukan bagi sekolah dan orangtua peserta didik untuk merumuskan sasaran mutu
baru untuk tahun yang akan datang. Jika dianggap berhasil, sasaran mutu dapat
ditingkatkan sesuai dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia. Jika tidak, bisa
saja sasaran mutu tetap seperti sediakala, namun dilakukan perbaikan strategi
dan mekanisme pelaksanaan kegiatan. Namun tidak tertutup kemungkinan, bahwa
sasaran mutu diturunkan, karena dianggap terlalu berat atau tidak sepadan
dengan sumberdaya pendidikan yang ada (tenaga, sarana dan prasarana, dana) yang
tersedia.
Setelah sasaran baru ditetapkan,
kemudian dilakukan analisis SWOT untuk mengetahui tingkat kesiapan
masing-masing fungsi dalam sekolah, sehingga dapat diketahui kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman. Dengan informasi ini, maka langkah-langkah pemecahan
persoalan segera dipilih untuk mengatasi faktor-faktor yang mengandung
persoalan. Setelah ini, rencana peningkatan mutu baru dapat dibuat.
5.
Analisis Kelebihan dan Kelemahan
Di atas dipaparkan dengan penjelasan
yang rinci tentang apa pengertian, konsep, sampai ke penerapan Manajemen Berbasis
Sekolah, maka disini penulis mencoba menganalisis dari kelebihan dan kekurangan
MBS, dilahat dari kondisi mutu yang terjadi sekarang dan dengan disandingkan
kebeberapa tujuan serta keinginan pemerintah dalam menunjang peningkatan mutu
berbasis sekolah/madrasah.
MBS memberikan kebebasan dan
kekuasaan yang besar pada sekolah, disertai seperangkat tanggung jawab. Dengan
adanya otonomi yang memberikan tanggung jawab pengelolaan sumber daya dan
pengembangan strategi MBS sesuai dengan kondisi setempat, MBS mempunyai kelebihan,
yaitu:
a. Memungkinkan orang-orang yang
kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan
pembelajaran.
b. Memberi peluang bagi seluruh
anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
c. Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program
pembelajaran.
d. Mengarahkan kembali sumber daya
yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
e. Menghasilkan rencana anggaran
yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan
sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
f.
Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua
level.
Dengan kelebihan-kelebihan di atas tentunya memajemen ini juga mempunyai
sisi kelemahan dalam pelaksanaannya, yang diantaranya yang dapat dipaparkan
disini adalah sebagai berikut:
a. Penerapan MBS juga mengalami
masalah, khususnya di daerah yang pedesaan atau daerah yang terpencil (remote
areas). Banyak orangtua siswa dan masyarakat di pedesaan yang tidak mau
terlibat dalam kegiatan Komite Sekolah. Masalahnya ternyata bukan hanya karena
masalah kapasitasnya yang rendah, tetapi lebih karena budaya yang hanya menyerahkan
bulat-bulat urusan pendidikan kepada pihak sekolah. Bahkan, dalam beberapa
kasus, penerapan MBS lebih sebagai instrumen politik untuk membangun kekuasaan.
Dengan MBS, seakan-akan pemerintah telah memberikan otonomi kepada sekolah,
padahal sesungguhnya sekolah dan masyarakat belum siap untuk menerima semua
itu.
b. Penerapan MBS di sekolah banyak dilaksanakan
di negara berkembang, walaupun bagaimana, sering tidak memperoleh dukungan yang
memadai dari pihak penguasa lokal maupun dari masyarakat. Pemerintah daerah
yang lemah tidak dapat diharapkan untuk mendukung pelaksanaan prinsip manajemen
modern (demokratis, transparan, dan akuntabel).
c. Sikap mental para pengelola
pendidikan, baik yang memimpin maupun yang dipimpin. Yang dipimpin bergerak
karena “perintah” atasan, bukan karena rasa tanggung jawab. Yang memimpin
sebaliknya, terkadang tidak memberi kepercayaan, tidak memberi kebebasan
berinisiatif, mendelegasikan wewenang.
d. Dalam manajemen mutu pendidikan
adalah terkadang tidak adanya tindak lanjut dari evaluasi program. Hampir semua
program dimonitor dan dievaluasi dengan baik, Namun tindak lanjutnya tidak
dilaksanakan. Akibatnya pelaksanaan pendidikan selanjutnya tidak ditandai oleh
peningkatan mutu.
C.
Kesimpulan
1.
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis sekolah (MPMBS) dengan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) hakikatnya tidak berbeda. MPMBS terfokus pada
peningkatan mutu, sedangkan MBS pada efektivitas pengelolaan sekolah. Titik
tekan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah adalah perbaikan mutu
masukan, proses, keluaran, pendidikan, serta sepanjang memungkinkan juga
mengamit layanan purnalulus
Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah/Madrasah (MPMBS)
ialah proses manajemen madrasah yang di arahkan pada peningkatan mutu
pendidikan, secara otonomi yang di rencanakan, diorganisasikan, dilaksanakan,
dan dievaluasi melibatkan semua setakeholder sekolah. MPMBS pada hakekatnya
merupakan pemberian otonomi kepada madrasah atau sekolah untuk secara aktif
atau mandiri melakukan dan mengembngkan berbagai pogram peningkatan mutu
pendidikan sesuai dengan kebutuhan sekolah atau masyarakat di sekitarnya.
2. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS)
sebagai model manajemen yang memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan
mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara langsung
semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orangtua siswa, dan
masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan pendidikan
nasional. Dengan otonomi yang lebih besar, maka sekolah memiliki kewenangan
yang lebih besar dalam mengelola sekolahnya, sehingga sekolah lebih mandiri.
Dengan kemandiriannya, sekolah lebih berdaya dalam mengembangkan
program-program yang tentu saja lebih sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang
dimilikinya.
3. Dilandasi dari pengertian dan konsep maka penerapan
MPMBS dapat di jalankan melalui beberapa tahapan dalam
pelaksanaan MPMBS yang sifatnya masih umum yaitu: Melakukan Sosialisasi,
Mengidentifikasi Tantangan Nyata Sekolah, Merumuskan Tujuan Situasional/Tujuan Jangka
Pendek (Sasaran) Sekolah, Melakukan Analisis SWOT, Menyusun Rencana dan Program
Peningkatan Mutu, Melaksanakan Rencana Peningkatan Mutu, Melakukan Evaluasi
Pelaksanaan, Merumuskan Sasaran Mutu Baru.
[1]Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun
2003,Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Bandung: Citra Umbara, 2003).
[2]Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional Tahun 2003 Departemen Agama RI,(Jakarta: DIRJEN Kelembagaan Agama Islam).
[4]Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu
Sekolah/Madrasah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
[5]Umaedi, Manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah, (Depdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Pendidikan Menengah Umum, 1999).
[6]Dedi Mulyasana, Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing, (Cet.
II; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012).
Remaja
Posdakarya 2007).
[8]Ibrahim Bafadal, Manajemen
Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, Dari Sentralisasi menuju Desentralisasi (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2006).
[9] TIM
Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, (Cet. IV; Bandung:
Alfabeta, 2011).
[10]B Suryosubroto, Manajemen
Pendidikan Di Sekolah, (Jakarta: PT Rinika Cipta, 2004),.
[11]Rohiat, Manajemen Sekolah Teori Dasar dan Praktik Dilengkapi dengan Contoh
Rencana Strategi dan Rencana Oprasional, (Cet; III, Bandung: PT Refika
Aditama, 2010).
[12]Rohiat, Manajemen Sekolah.
[13]Sri Minarti, Manajemen Sekolah, Mengelola Lembaga Pendidikan secara Mandiri, (Jogjakarta:
AR-Ruzz Media, 2011).
[16]Rohiat, Manajemen Sekolah.
[18]Rohiat, Manajemen Sekolah.
[19]TIM Dosen, Manajemen Pendidikan.
[20]Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit
Birokrasi Ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008).
[21]Sri Minarti, Manajemen Sekolah.
[23]Rohiat, Manajemen Sekolah.
[25]Sugeng Listyo Prabowo, Manajemen Pengembangan Mutu
Sekolah/Madrasah, (Malang: UIN-Malang Press, 2008).
[26]Sugeng, Manajemen Pengembangan Mutu.
[27]Rohiat, Manajemen Sekolah.
[28]Sugeng, Manajemen Pengembangan Mutu.
[30]Rohiat, Manajemen Sekolah.
0 Comments