Kebijakan Pendidikan Islam
"Kumpulan Soal dan Jawaban Terkait Tentang Kebijakan Pendidikan"
(1)
Disusun Oleh
"Muhammad Miftah Arief"
Soal
1. Studi kebijakan pendidakan Islam, berusaha untuk mengkaji secara ilmiah tentang kebijakan-kebijakan pendidikan terkait pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan Islam. Jelaskan hakekat, dasar, tujuan, dan unsur-unsur pokok kebijakan pendidikan itu dibuat/disusun?
Jawaban
A. Hakikat Kebijakan Pendidikan
Hakikat kebijakan terkait dengan peningkatan mutu pendidikan Islam adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku, kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif. Selanjutnya bila kita telaah lebih lanjut pengertian pendidikn Islam adalah ilmu yang digunakan dalam proses pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam sebagai pedoman umat manusia khususnya umat Islam, pendidkan dalah segala upaya, latihan dan sebagainya untuk menumbuhkembangkan segala potensi yang ada dalam diri manusia baik baik secara mental moral, dan fisik untuk menghasilkan manusia yang dewasa dan bertanggung jawab sebagai makhluk yang berbudi luhur.
Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara. Carter V Good (1959) memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas sistem nilai dan beberapa penilaian atas faktor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.
Dapat disimpulakan dari bebrapa pemaparan di atas bahwa kebijakan pendidikan Islam adalah suatu produk yang dijadikan sebagai panduan pengambilan keputusan pendidikan yang legal-netral dan disesuaikan dengan lingkugan hidup pendidikan secara moderat. Selain itu dapat dikatakan bahwa hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Salah satu contoh ayat tentang manajemen adalah bentuk kata derivasi dari dabbara (mengatur) yang banyak terdapat dalam al-Qur’an yang pengertian sama dengan hakikat manajemen adalah al-tadbir (pengaturan), yaitu dalam surat as-Sajdah ayat 5 yang mendeskripsikan tentang:
Artinya: Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, Kemudian (urusan) itu naik kepadanya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.
Dari isi kandungan ayat di atas dapatlah diketahui bahwa Allah swt adalah pengatur alam (manager). Keteraturan alam raya ini merupakan bukti kebesaran Allah Swt dalam mengelola alam ini. Namun, karena manusia yang diciptakan Allah Swt telah dijadikan sebagai khalifah di bumi, maka dia harus mengatur dan mengelola bumi dengan sebaik-baiknya sebagaimana Allah mengatur alam raya ini. Dalam pandangan ajaran Islam, segala sesuatu harus dilakukan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesnya harus diikuti dengan baik dan boleh dilakukan secara asal-asalan.
B. Dasar Kebijakan Pendidikan
Dasar kebijakan pendidikan menurut H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho, didalam bukunya Kebijakan Pendidikan memaparkan, dasar kebijakan pendidikan ditinjau dari segi sosiologis adalah selain gambaran manusia sebagai makhluk sosial manusia adalah makhluk yang dapat dididik dan harus mendapatkan apabila proses pendidikan tersebut sesuai dengan hakikat manusia yang bebas. Kebebasan manusia mempunyai dua aspek yaitu kebebasan dari dan kebebasan untuk. Kebebasan bukanlah merupakan kebebasan yang absolut tanpa mengenal batas-batas tetapi kebebasan dari lingkungan kekuasaan. Kebijakan pendidikan di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Untuk menentukan pilihan dalam merumuskan kebijakan dalam pendidikan, perlu pemahaman tentang pandangan-pandangan terhadap tujuan kebijakan, yaitu: (1) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, (2) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dan (3) tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hakikat dan dasar kebijakan pendidikan ini adalah dari undang-undang atau peraturan pemerintah yang berlaku dalam memahami undang-undang itu sendiri perlu pemahaman yang diliahat dari masyarakat, tingkatan politisi dan ekonomi, selain itu dasar kebijakan pendidikan melihat dari hakikat manusia yang bebas bukan berarti dasarnya juga bebas tetapi bebas disini sesuai dengan keadaan lingkungan dan mengikuti peraturan kekuasaan yang belaku.
C. Tujuan Kebijakan Pendidikan
Menurut Yoyon Bahtiar Irianto dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Pendidikan Dalam Konteks Desentralisasi Pembangunan Manusia ia berpendapat bahwa tujuan kebijakan ditinjau dari beberapa aspek seperti ditinjau dari tingkatan masyarakat, dari tingkatan politisi, dari tingkatan ekonomi.
a. Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan masyarakat, dapat ditelusuri dari hakekat tujuan pendidikan yang universal. Pendidikan pada awalnya adalah suatu proses penyempurnaan harkat dan martabat manusia yang diupayakan secara terus menerus. Dimana pun proses pendidikan terjadi, menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai nilai-nilai yang dalam, karena jika kita berbicara pendidikan pada hakekatnya membicarakan harkat dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan.
b. Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan politisi, dapat ditelusuri dari sumbangan pendidikan terhadap perkembangan politik pada tingkatan sosial yang berbeda. Misalnya pada tingkat individual, pendidikan membantu peserta didik untuk mengembangkan sikap dan keterampilan kewarganegaraan yang positif untuk melatih warganegara yang benar dan bertanggung jawab. Orang yang berpendidikan diharapkan lebih mengerti hak dan kewajibannya sehingga wawasan dan perilakunya semakin demoktratis. Selain itu orang yang berpendidikan diharapkan memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara lebih baik dibandingkan dengan yang kurang berpendidikan.
c. Tujuan kebijakan dilihat dari tingkatan ekonomi, dapat ditelusuri dari kesadaran pentingnya pendidikan sebagai investasi jangka pangjang, dengan alasan, bahwa: Pertama, pendidikan adalah alat untuk perkembangan ekonomi dan bukan sekedar pertumbuhan ekonomi. Pada praksis-praksis manajemen pendidikan modern, salah satu dari lima fungsi pendidikan adalah fungsi teknis-ekonomis baik pada tataran individual hingga tataran global. Fungsi teknis-ekonomis merujuk pada kontribusi pendidikan untuk perkembangan ekonomi. Misalnya pendidikan dapat membantu siswa untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup dan berkompetisi dalam ekonomi yang kompetitif. Secara umum terbukti bahwa semakin berpendidikan seseorang maka tingkat pendapatannya semakin baik. Hal ini dimungkinkan karena orang yang berpendidikan lebih produktif dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Kedua, investasi pendidikan memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang memasuki dunia kerja. Pilihan investasi pendidikan juga harus mempertimbangkan tingkatan pendidikan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka manfaat sosialnya semakin kecil.
Dari pernyataan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa tujuan dari sebuah kebijakan pendidikan adalah untuk memajukan sebuah pendidikan, karana pendidikan merupakan ujung tombak kemakmuran sebuah negara. Selain negara mendapatkan dampak yang positif individu yang berpendidikan pun mendapat kemakmuran dalam hidup bila berpendidikan.
Begitu pentingnya sebuah pendidikan ini di tegaskan Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-Mujadalah ayat 11 yang berbunyi:
Artinya: Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Sangat jelas dari ayat diatas menjelaskan bilamana seorang manusia berilmu atau berpendidikan maka Allah Swt akan meninggikan darajat orang tersebut. Bila kita telaah lebih lanjut dari tujuan sebuah kebijakan pendidikan sejalan dengan perintah Allah Swt yang mengingankan sebuah pendidikan maju dan berkembang, Allah Swt menjanjikan orang-oarng yang berilmu dan terdidik akan ditinggikan derajatnya dan ini pun sejalan dengan tujuan pendidikan yang menginginkan terbentuknya sebuah insan manusia yang bertaqwa, dan berbudi perkerti dengan sebab adanya sebuah pendidikan yang berkualitas.
D. Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan
Mudjia Raharjo, didalam bukunya Pemikiran Kebijakan Pendidikan Kontemporer, berpendapat bahwa Unsur-unsur Pokok Kebijakan Pendidikan, Kerangka analisis yang ditujukan pada proses kebijakan mencakup paling tidak mengandung empat unsur yang harus diperhatikan, yaitu: (1) unsur masalah; (2) tujuan; (3) cara kerja atau cara pemecahan masalah; dan (4) otoritas publik. Unsur masalah berkaitan dengan pendidikan, kesejahteraan masyarakat, kesehatan masyarakat, pengembangan wilayah, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan, perpajakan, kependudukan dan lain-lain. Unsur tujuan berkenaan dengan sasaran yang hendak dicapai melalui program-program yang telah ditetapkan oleh negara. Unsur cara kerja berkaitan dengan prosedur logis dan sistematis berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Unsur otoritas berkenaan dengan aparatur yang diberi kepercayaan untuk melakukan aktivitas pemerintahan.
Aspek yang harus dikaji dalam analisis kebijakan pendidikan adalah konteks kebijakan. Ini harus dilakukan karena kebijakan tidak muncul dalam kehampaan, melainkan dikembangkan dalam konteks seperangkat nilai, tekanan, kendala, dan dalam pengaturan struktural tertentu. Kebijakan juga merupakan tanggapan terhadap masalah-masalah tertentu, kebutuhan serta aspirasi yang berkembang.
Aspek selanjutnya adalah pelaku kebijakan. Aktor kebijakan pendidikan bisa dikategorikan menjadi dua, yaitu: para pelaku resmi dan pelaku tak resmi. Pelaku resmi kebijakan pendidikan adalah perorangan atau lembaga yang secara legal memiliki tanggungjawab berkenaan dengan pendidikan. Aktor tak resmi kebijakan pendidikan adalah individu atau organisasi yang terdiri dari kelompok kepentingan, partai politik, dan media.
Selanjutnya, dalam memahami suatu proses kebijakan, terdapat aspek yang sangat penting yaitu implementasi kebijakan. Tolak ukur keberhasilan suatu kebijakan adalah pada tahap implementasi. Implementasi kebijakan dapat disebut sebagai rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah sebuah kebijakan ditetapkan.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan dari pernyatan diatas bahwa sebuah kebijakan mempunyai unsur-unsur yang menyebabkan adanya suatu kebijakan dibuat salah satunya memang adanya tuntutan yang harus dipenuhi entah itu tuntutan dari masyarakat atau publik dan menyebabakan adanya suatu masalah yang timbul. Dari masalah itulah yang harus diselesaikan dan ini sebagaian dari unsur suatu kebijakan dibuat.
Soal
2. Bagaimana langkah-langkah umum kebijakan pendidikan dibuat? Bagaimana kebijakan pendidikan terkait dengan standarisasi pendidikan nasional, serta visi dan misi kemendikbud?
Jawaban
A. Langkah-Langkah Umum Kebijakan Pendidikan
Langkah-langkah umum kebijakan pendidikan yaitu, Prof. Hargaves dari London University menyatakan bahwa ilmu pendidikan mandeg dan tidak berkembang karena tidak mendapatkan input dari praktik pendidikan. Oleh sebab itu, ilmu pendidikan hanya berada pada tataran idealistik tanpa teruji dilapangan. Hakikat ilmu pendidikan berada dalam proses pendidikan yang terjadi dalam interaksi serta dialog antara pendidik dan peserta didik dalam masyarakat yang berbudaya. Keadaan ilmu pendidikan di Indonesia juga dalam status stagnasi karena terputus hubungannya dengan praktik pendidikan. Dengan sendirinya banyak kebijakan pendidikan di Indonesia bukan di tentukan oleh data dan informasi di lapangan, tetapi berdasarkan lamunan atau dengan menggunakan epistima-epistima ilmu lainnya yang tidak relevan dengan ilmu pendidikan yang terfokus kepada kebutuhan peserta didik.
Dari penjelasan di atas menunjukkan kesalahan langkah dalam membuat kebijakan pendidikan yang menyebabkan sebuah pendidikan lambat dalam perkembangnya, sebenarnya dalam membuat suatu kebijakan pendidikan harus mempunyai langkah-langkah yang jitu dan melihat fakta atau informasi yang dibutuhkan masyarakat atau stakeholder dari sinilah diperoleh data serta fakta yang objektif sesuai dengan yang terjadi dilapangan. Kebijakan pendidikan yang berdasarkan fakta serta informasi telah mendapat input dari kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, kebijakan pendidikan tersebut akan menentukan masalah-masalah yang perlu diteliti. Hasil riset yang telah divalidasi dapat disebarluaskan dalam berbagai eksperimen. Eksperimen pendidikan inilah yang akan dapat membuahkan kebijakan pendidikan yang telah tervalidasi. Demikian seterusnya terjadi suatu siklus yang berkesinambungan antara kebijakan pendidikan, praktik pendidikan, riset dan eksperimen.
B. Kebijakan Pendidikan Terkait dengan Standarisasi Pendidikan Nasional, serta Visi dan Misi Kemendikbud)
Menurut Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 bab 1 pasal 1 ayat 1, yang dimaksud dengan standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, setiap lembaga pendidikan dituntut untuk memenuhi kriteria minimum yang telah ditentukan. Guna tercapainya tujuan pemerataan pendidikan diwilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam pelaksanaan peningkatan mutu pendidikan, haruslah ada yang menjamin dan mengendalikan mutu pendidikan sehingga sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal ini pemerintah melakukan evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi. Ketiga proses ini dilaksanakan untuk menentukan layak tidaknya lembaga pendidikan yang berstandar nasional.
Dari penjelasan diatas ditarik sebuah kesimpulan bahwa menunjukaan Standar Nasional Pendidikan bertujuan bukan hanya untuk memeratakan standar mutu pendidikan di Negara Kesatuan Republik Indonesi, tetapi juga untuk memenuhi tuntutan perubahan lokal, nasional dan, global. Dikarenakan mutu pendidikan di Indonesia telah jauh tertinggal dari negara ASEAN yang lain, maka peningkatan-peningkatan disegi pendidikan akan terus terjadi. Sehingga mutu pendidikan di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain.
Menurut Sukarno dalam bukunya, sistem pendidikan merupakan bangunan sekaligus ihktiar yang sangat strategis untuk itu, oleh karena sistem pendidikan mengandaikan adanya pembagian kewenangan antara negara dan masyarakat dan tatakelolanya yang meliputi pemeliharaan, kontrol, kreasi, adopsi dan distribusi nilai, pengetahuan, ketrampilan maupun tata-hubungan kuasa. Oleh karena itu kebijakan pendidikan yang tepat pada umumnya harus secara struktural dapat memadukan daya masyarakat, negara dan dunia usaha secara tepat dan secara individual memicu mobilitas kultural, vertikal dan horisontal individu yang ketiganya pada gilirannya mengembangkan produktifitas budaya, sosial dan ekonomi sekaligus menuntut pengembangan habitat yang demokratis.
Menurut Kirdanuri, Widyaiswara LPMP-NTB Praktisi Pendidikan, yang dikutip dari kompasiana ada enam kebijakan dan program pemerintah terkait standarisasi pendidikan nasional yaitu; Pertama, meningkatkan akses dan perluasan kesempatan belajar bagi semua anak usia pendidikan dasar, dengan target utama daerah dan masyarakat miskin, terpencil dan terisolasi. Kedua,meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan dengan menerapkan standar nasioanal pendidikan sebagai acuan dan rambu-rambu hukum untuk meningkatkan mutu berbagai aspek pendidikan nasional termasuk mutu pendidikan dan tenaga kependidikan, mutu sarana dan prasarana pendidikan, kompetensi lulusan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Ketiga, meningkatkan anggaran pendidikan untuk dapat mencapai 20 persen dari APBN dan APBD sesuai amanat UUD 1945 dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Keempat, mendorong pelaksanaan otonomi dan desentralisasi pengelolaan pendidikan sampai dengan satuan pendidian dalam menyelengaraan pendidikan. Kelima, memperkuat manajemen pelayanan pendidikan dalam rangka membangun pelayanan pendidikan yang amanah, efisien, produktif dan akuntabel melalui upaya meningkatkan tata kelola yang baik (good governance) kelembagaan pendidikan. Keenam, meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun pendidikan termasuk meningkatkan peran dan fungsi komite sekolah dan dewan pendidikan dalam.
Hasil dari analisis penulis dari fakta dan beberapa sumber bacaan bahwa melihat perkembangan zaman yang begitu pesat dan negara Indonesia pun tidak bisa menghindar dari persaingan gelobal, pemerintah tidak tinggal diam begitu saja. Melihat kualitas pendidikan yang dinialai rendah maka kemdikbud pun mempunyai visi dan misi, visinya adalah menjadi institusi yang handal dalam perumusan pembaharuan kebijakan pembangunan pendidikan dan kebudayaan berbasis penelitian dan pengembangan sedangan misinya, Mohammad Nuh mengemukakan renstra tahun 2010-2014 Kemendikbud menetapkan enam misi yaitu: (1) meningkatkan ketersediaan layanan penddikan dan kebudayaan, (2) memperluas keterjangkauan layanan pendidikan dan kebudayaan, (3) meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kebudayaan, (4) mewujudkan kesetaraan dalam memperoleh layanan pendidikan dan kebudayaan, (5) menjamin kepastian/keterjaminan memperoleh layanan pendidikan, (6) mewujudkan kelestarian dan memperkokoh kebudayaan Indonesia. Keenam misi tersebut dijabarkan dalam tujuan dan sasaran strategis. Masing-masing sasaran strategis yang ditetapkan mempunyai indikator kinerja sebagai alat untuk mengukur tingkat ketercapaiannya.
Meliahat dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dari kebijakan pendidikan terkait dengan standarisasi pendidikan nasional serta visi dan misi kemendikbud membuktikan bahwa pemerintah sangat memperhatikan kemajuan pendidikan dan menginginkan kualitas pendidikan di Indonesia bisa ikut bersaing minimal bisa mengimbangi kemajuan yang semakin hari semakin berkembang pesat. Artinya disini pemerintah pun mempunyai keyakinan bahwa memang sutu tingkat kemajuan suatu negara ditentukan oleh kualitas pendidikan yang ada didalamnya, untuk itulah pemerintah mengerahkan seluruh usahanya untuk memajukan suatu negara melalui memajukannya sebuah pendidikan dengan cara berbagai kebijakan yang dibuat sesuai dengan tuntutan dan fakta yang nyata dalam menghadapi persaingan gelobal.
Soal
3. Menurut pandangan saudara, bagaimana kebijakan pendidikan dibuat? Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia dari sejak masa kemerdekan hingga sekarang? Bagaimana otonomi daerah dan implikasinya terhadap kebijakan pendidikan Islam?
Jawaban
A. Menurut pandangan saudara, bagaimana kebijakan pendidikan dibuat?
Menurut pandangan saya dan hasil analisis saya dari bebrapa sumber bacaan bahwa dalam membuat suatu kebijakan pendidikan harus melihat aspek-aspek penting dan mencakup atas beberapa aspek karakteristik seperti;
1. Memiliki tujuan pendidikan. Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
2. Memenuhi aspek legal-formal. Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah.
3. Memiliki konsep operasional. Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
4. Dibuat oleh yang berwenang. Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan. Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan.
5. Dapat dievaluasi. Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindak lanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi secara mudah dan efektif.
6. Memiliki sistematika. Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem juga, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya. Sistematika itu pun dituntut memiliki efektifitas, efisiensi dan sustainabilitas yang tinggi agar kebijakan pendidikan itu tidak bersifat pragmatis, diskriminatif dan rapuh strukturnya akibat serangkaian faktor yang hilang atau saling berbenturan satu sama lainnya. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat agar pemberlakuannya kelak tidak menimbulkan kecacatan hukum secara internal. Kemudian, secara eksternal pun kebijakan pendidikan harus bersepadu dengan kebijakan lainnya; kebijakan politik; kebijakan moneter; bahkan kebijakan pendidikan di atasnya atau disamping dan dibawahnya, serta daya saing produk yang berbasis sumber daya lokal.
Penulis mencoba menyimpulkan bahwa dalam pembuatan suatu kebijakan pendidikan memang harus melihat dari berbagai aspek selain itu bila sudah terpenuhi atas berbagai aspek tersebut maka keputusan dalam pengambilan suatu kebijakan yang telah dibuat itu pun harus disepakati bersama. Kebijakan merupakan upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat atas asas keadilan dan kesejatheraan masyarakat. Dan dipilih kebijakan setidaknya harus memenuhi empat butir yakni, tingkat hidup masyarakat meningkat, terjadi keadilan dan peluang prestasi dan kreasi individual, diberikan peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas masalah, perencanaan, keputusan dan implementasi) dan terjaminnya pengembangan berkelanjutan.
B. Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam di Indonesia dari sejak masa kemerdekan hingga sekarang?
Menurut Nasution dalam bukunya Pendidikan Islam, campur tangan atau pengaruh pemerintah/penguasa terhadap pendidikan cukup besar dengan segala kebijakan yang ditempuh demi suksesnya pendidikan seluruh warga negara. Namun dizaman penjajahan, kebijakan-kebijakan pendidikannya tentu disesuaikan/diarahkan pula dengan niat politik yang mereka lakukan, seperti politik “pecah belah” (devide et impera atau devided and imperial), politik etis, Hakko Ichiu (Jepang), dan sebagainya. Tetapi dizaman kemerdekaan, pendidikan kita mulai dibangkitkan kembali melalui pendidikan yang bersifat patriotisme, kesadaran nasional sampai dengan pendidikan nasional Pancasila.
Sebagai contoh, kebijakan kolonialisme Belanda dalam pendidikan diikutsertakan dengan politik pecah-belanya dan politik etis (balas budi). Pada zaman Belanda, pendidikan hanya didapatkan oleh anak-anak pejabat seperti gubernur, bupati, dan lurah. Sedangkan anak pribumi sulit untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan selalu dicurigai. Namun, ada sebagian dari orang Belanda untuk melakukan politik balas budi kepada rakyat pribumi dikarenakan mereka banyak memperoleh kekayaan negeri yang dijajahnya. Dengan politik ini, rakyat pribumi dari golongan bawah mulai mendapatkan pendidikan.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik sedikit kesimpulan bahwa pada zaman sebelum merdeka suatu kebijakan pendidikan dibuat dengan ada maksud dan tujuan tertentu dalam melaksanakan atau pendidikan dijalankan. Politik selalu hadair dalam suatu kebijakan pendidikan yang diberikan.
Keadaan pendidikan Islam dengan segala kebijaksanaan pemerintah pada zaman Orde Lama. Pada akhir Orde Lama tahun 1965 lahir semacam kesadaran baru bagi ummat Islam, dimana timbulnya minat yang mendalam terhadap masalah-masalah pendidikan yang dimaksudkan untuk memperkuat ummat Islam, sehingga sejumlah organisasi Islam dapat dimantapkan. Dalam hubungan ini Kementrian Agama telah mencanangkan rencana-rencana program pendidikan yang akan dilaksanakan dengan menunjukkan jenis-jenis pendidikan serta pengajaran Islam.
Menurut M. Said dalam bukunya yang berjudul Pendidikan abad kedua puluh; dengan latar belakang kebudayaannya, semenjak Indonesia mencapai kemerdekaannya dalam tahun 1945, kembalilah bangsa Indonesia mempunyai sistem pendidikannya sendiri setelah selama penjajahan diberi pendidikan colonial oleh pemerintah Belanda dan pendidikan berdasarkan agama Kristen oleh missi dan zending. Sebelum masa penjajahan bangsa Indonesia telah mempunyai Pendidikan Islam dalam bentuk pondok pesantren di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Pendidikan dalam pondok pesantren ini telah melalui zaman penjajahan dan sampai sekarang masih terus hidup, diasuh oleh Departemen Agama. System pendidikan agama Islam ini lengkap pula dengan adanya tingkatan-tingkatan yang sama dengan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Sekolah Tinggi di dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Pendidikan Nasional-pent). Kedua system pendidikan itu paralel.
Artinya suatu pendidikan Isalam memang sudah ada dan bisa dikatakan pendidikan tertua yang ada di Indonesia, tetapi pendidikan pada waktu itu dikenal dengan pesantren-pesantren yang dilaksanakan pada mesjid dan tempat-tempat yang sudah ditentukan tidak seperti sekarang yang disediakannya suatu lembaga khusus.
Menurut Alkomi Ashari dalam blognya seksi PAIS (Kantor Kementrian Agama Tanggerang Seksi Pendidikan Agama Islam), mengutarakan bahwa ditengah-tengah berkobarnya revolusi fisik, pemerintah RI tetap membina pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya. Pembinaan pendidikan agama itu secara formal institusional dipercayakan kepada Departemen Agama dan Departemen P dan K. Oleh karena itu, maka dikeluarkanlah peraturan-peraturan bersama antara kedua departemen tersebut untuk mengelola pendidikan agama di sekolah-sekolah umum baik negeri maupun swasta. Adapun pendidikan agama di sekolah agama ditangani oleh Departemen Agama sendiri.
Pendidikan agama Islam untuk umum mulai diatur secara resmi oleh pemerintah pada bulan Desember 1946. sebelum itu pendidikan agama sebagai ganti pendidikan budi pekerti yang sudah ada sejak zaman Jepang, berjalan sendiri-sendiri di masing-masing daerah. Pada bulan tersebut dikeluarkanlah peraturan bersama dua menteri yaitu Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Pengajaran yang menetapkan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR (Sekolah Rakyat) sampai kelas VI. Pada masa itu keadaan keamanan Indonesia belum mantap, sehingga SKB dua menteri tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Daerah-daerah di luar Jawa masih banyak yang memberikan pendidikan agama sejak kelas I SR. Pemerintah membentuk Majlis Pertimbangan Pengajaran Agama Islam pada tahun 1947 yang dipimpin oleh Ki Hajar Dewantara dari Departemen P dan K dan Prof. Drs. Abdullah Sigit dari departemen Agama. Tugasnya adalah ikut mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran pengajaran agama yang diberikan di sekolah umum.
Pada tahun 1950 dimana kedaulatan Indonesia telah pulih untuk seluruh Indonesia, maka rencana pendidikan agama untuk seluruh wilayah Indonesia makin disempurnakan dengan dibentuknya panitia bersama yang dipimpin Prof. Mahmud Yunus dari Departemen Agama dan Mr. Hadi dari Departemen P dan K, hasil dari panitia itu adalah SKB yang dikeluarkan pada bulan Januari 1951, Nomor: 1432/Kab. Tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama), yang isinya adalah:
- Pendidikan agama mulai diberikan di kelas IV Sekolah Rakyat.
- Didaerah-daerah yang masyarakat agamanya kuat, maka pendidikan agama mulai diberikan pada kelas I SR, dengan catatan bahwa pengetahuan umumnya tidak berkurang dibandingkan dengan sekolah lain yang pendidikan agamanya dimulai pada kelas IV SR.
- Di sekolah lanjutan pertama atau tingkat atas, pendidikan agama diberikan sebanyak dua jam dalam seminggu.
- Pendidikan agama diberikan pada murid-murid sedikitnya 10 orang dalam satu kelas dan mendapat izin dari orang tua atau wali.
- Pengangkatan guru agama, biaya pendidikan agama, dan materi pendidikan agama ditanggung oleh Departemen Agama.
Untuk menyempurnakan kurikulumnya, maka dibentuk panitia yang dipimpin oleh KH. Imam Zarkasyi dar Pondok Gontor Ponorogo. Kurikulum tersebut disahkan oleh Menteri Agama pada tahun 1952.
Dalam sidang pleno MPRS, pada bulan Desember 1960 diputuskan sebagai berikut: “Melaksanakan Manipol Usdek di bidang mental, agama, dan kebudayaan dengan syarat spiritual dan material agar setiap warga negara dapat mengembangkan kepribadiannya dan kebangsaan Indonesia serta menolak pengaruh-pengaruh buruk budaya asing (Bab II, Pasal II: I).
Dalam ayat 3 dari pasal tersebut dinyatakan bahwa: “Pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah-sekolah umum, mulai dari sekolah rendah sampai universitas. Dengan pengertian bahwa murid berhak ikut serta dalam pendidikan agama jika wali murid/ murid dewasa tidak menyatakan keberatannya”.
Pada tahun 1966, MPRS melakukan sidang, suasana pada waktu itu adalah membersihkan sisa-sisa mental G-30 S/ PKI. Dalam keputusannya di bidang pendidikan agama telah mengalami kemajuan yaitu dengan menghilangkan kalimat terakhir dari keputusan yang terdahulu. Denan demikian maka sejak tahun 1966 pendidikan agama menjadi hak wajib para siswa mulai dari Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi Umum Negeri di seluruh Indonesia.
Dari beberapa pemaparan di atas tentang kondisi dan beberapa kebijakan Pendidikan Islam di era Orde Lama, seperti fatwa para ulama di pulau Jawa tentang kewajiban berjihad, SKB dua menteri, keputusan MPRS tahun 1966, dan kiprah Departemen Agama dalam memenuhi kebutuhan akan guru agama dapat disimpulkan bahwa pemerintah pada masa itu telah memberikan perhatian terhadap pengembangan Pendidikan Islam.
Tetapi, sepertinya peranan umat Islam yang tergabung dalam pemerintahan pada saat itu belum cukup maksimal dalam mewarnai kebijakan-kebijakan Pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum negeri pada masa itu. Fenomena ini dapat terlihat pada peraturan bersama dua menteri pada tahun 1946 dan SKB dua menteri pada tahun 1951 yang manyatakan bahwa pendidikan agama dimulai pada kelas IV SR sampai kelas VI SR, itupun dengan syarat bahwa dalam satu kelas minimal harus ada 10 murid dan para murid tersebut harus mendapatkan izin dari para orang tua atau wali murid. Dengan adanya peraturan tersebut, terlihat bahwa pengajaran agama masih sangat minim dan dapat dikatakan bahwa pelajaran agama hanya sebagai pelajaran tambahan dan bukan mata pelajaran yang wajib dan porsinya masih di bawah pelajaran-pelajaran umum.
Melihat pemaparan diatas yang sangat jelas dan panjang lebar dipaparkan penulis mencoba berpendapat memang berbicara suatu kebijakan apa lagi tentang kebijakan pendidikan selalu berkembang secara berkesinambungan tentunya kearah yang lebih menunjang untuk tercapainya sebuah pendidikan yang diinginkan dan selalu berupaya kearah perbaikan-perbaikan, dan memang tidak bisa dipungkiri yang berperan aktif dan ikut ambil bagian dalam memberi keputusan yaitu pemerintah yang pasti disepakati oleh berbagai pihak serta dengan bekerjasama dengan masyarakat untuk menunjangnya terlaksana suatu kebijakan pendidikan yang akan dijalankan.
Sejak kekuasaan Orde Baru tumbang pada Mei 1998 kondisi Indonesia dalam keadaan tidak menentu, meskipun upaya pembaharuan sudah sering dilakukan oleh berbagai pihak. Begitu pula sistem pendidikan yang ada dirasakan masih sentralistik, dengan strategi makro yang sulit menyentuh kebutuhan riil masyarakat karena memang mereka tidak dilibatkan.
Menurut Herry Widyastono, dalam bukunya yang berjudul Pengembangan Kurikulum di Era Otonomi Daerah: dari Kurikulum 2004, 2006, ke Kurikulum 2013, mengemukakan Sejak zaman kemerdekaan, telah terjadi beberapa kali perubahan (penyempurnaan) kurikulum, yang sampai saat ini sekurang-kurangnya sudah terjadi 11 kali, yakni 8 kali terjadi sebelum era otonomi daerah dan 3 kali terjadi setelah otonomi daerah. Pada masa reformasi ini ada satu perubahan kurikulum yang masih bersifat sentralistik, yaitu kurikulum 1999. Kurikulum ini merupakan kurikulum 1994 yang disempurnakan yang berbasis kompetensi. Artinya pembelajaran bukan hanya mengembangkan pengetahuan (kognitif) semata-mata, melainkan juga harus mengembangkan keterampilan (psikomotor) dan sikap (afektif). Oleh karena itu disebut dengan istilah Berbasis Kompetensi.
Tahun 2006 merupakan pengembangan Kurikulum 2006. Rasional dikembangkannya kurikulum 2006, yang juga disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), antara lain diberlakukannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP). Di dalam PP No. 19 tahun 2005 tentang SNP, tidak disebut lagi tentang Kurikulum Nasional, yang ada KTSP, yaitu kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. Implikasinya adalah perlunya dilakukan penyempurnaan kurikulum 2004, yang kemudian menjadi kurikulum 2006 (KTSP). Tahun 2013 dicetuskan Kurikulum 2013. Rasional dikembangkannya Kurikulum 2013, antara lain diberlakukannya Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2010-2014 (Pepres No. 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014), yang pada sector pendidikan terdapat 6 prioritas pendidikan yang harus disempurnakan, dua di antaranya adalah Metodologi dan Kurikulum.
Implikasinya adalah perlunya dilakukan penyempurnaan Kurikulum 2006, yang kemudian menjadi Kurikulum 2013. Pengembangan Kurikum 2013 menekankan pengembangan kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap secara holistik.
Namun dalam perjalanannya Kurikulum 2013 mengalami hambatan karena pergolakan politik, yaitu pertukaran roda pemerintahan. Tepatnya pada tanggal 5 Desember 2014, Mendikbud Anies Baswedan telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 179342/MPK/KR/2014 Perihal Pelaksanaan Kurikulum 2013 yang ditujukan kepada Kepala Sekolah di seluruh Indonesia. Inti dari Surat Edaran tersebut salah satunya adalah menghentikan pelaksanaan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah yang baru menerapkan satu semester, yaitu sejak Tahun Pelajaran 2014/2015. Sekolah-sekolah ini supaya kembali menggunakan Kurikulum 2006.
Dari penjabaran diatas, yang membahas tentang suatu alur kebijakan pendidikan yang selalu berubah-ubah itu dari masa kemerdekaan sampai sekarang menunjukkan memang suatu pendidikan itu sangatlah penting dan selalu berkembang dengan tuntutan zaman yang semakin hari semakin maju. Sifat pendidikan ini pun bisa dikatakan lentur bila mana tuntutannya berkembang. Memang dalam mengembangkan sutu pendidikan harus selalu diperhatikan pemerintah yang berkecimpung didalam suatu negara yang mengatur khususnya dalam pendidikan, sangat disadari ujung tobak kemajuan suatu negara ditentukan kualitas pendidikan dan bagaimana suatu pendidikan itu bisa bersaing dangan perkembangan atau pesaingan gelobal yang terus maju. Pemerintah di Indonesia bisa dikatakan tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi tantangn-tantangan yang hadir saat ini, bukti hal tersebut sudah sangat jelas usaha yang diberikan pemerintah dari dulu hingga sekarang para petinggi-petingga pemerintahan dengan bidangnya masing-masing khususnya dalam pendidikan sangat memperhatikan dengan pendidikan, terbukti dengana berbagai kebijakan dibuat dari masa kemasa selalu berubah-ubah. Berubah-ubah disini bukan berarti ketidak konsistennya suatu peraturan yang disepakati tetapi demi tercapainya sebuah tujuan pendidikan yang diinginkan dan memenuhi tuntutan masyarakat dan tuntutan persaingan gelobal serta perkembangan zaman. Sehingga akan menghasilkan suatu dampak positif bagi suatu negara dan bisa bersaing dengan negara-negara yang maju minimal bisa mengimbanginya.
C. Bagaimana otonomi daerah dan implikasinya terhadap kebijakan pendidikan Islam?
Menurut Abu Daud Busroh dalam bukunya Capita Selekta Hukum Tata Negara, Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pemberlakuan Undang-undang (UU No. 22 tahun 1999 tentang Daerah (lebih popular disebut UU Otonomi Daerah/Otda) pada tahun 2001, yang telah diperbaharui dengan UU No. 32 tahun 2004, merupakan tonggak baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Dengan diberlakukannya UU tersebut menandakan dimulainya era otonomi daerah yang memberikan wewenang seluas-luasnya kepada pemerintah Daerah beserta seluruh komponen masyarakat setempat untuk mengatur dan menguras kepentingan masyarakat di daerahnya dengan cara sendiri, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pernyataan diatas dapat penulis berkesimpulan bahwa otonomi daerah yang paling berperan penting dalam menjalankannya adalah daerah dan daerah diberi kewenangan dalam mengatur atau menjalankan hal ini dikarenakan yang lebih mengetahui kebutuhan yang diperlukan pasti dari piahak daerah itu sendiri tetapi bukan berarti kewenangan yang diberikan menjadikan sebuah daerah menjalankan otonomi daerahnya semaunya sendiri, daerah diwajibkan mengikuti peratuaran yang sudah ditentukan.penjelasan UU pun mempertegas lebih dalam bahwa yang berperan penting dalam menjalankan suatu otonomi daerah itu adalah seluruh komponen yang berada dalam daerah itu sendiri.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.
Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan ; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai limabelas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat”.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.
Kebijakan pemerintah berupa pemberian otonomi daerah, mau tidak mau menuntut lembaga otonomi daerah memiliki kemandirian, terbuka dan peduli dengan tuntutan zaman dan mampu berkompetisi dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Kemandirian harus ditempuh dan tidak selayaknya lagi menunggu dari atas. Mereka bukan sekedar melakukan peran-peran sebagai pelaksana sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya.
Diera Otonomi Daerah, madrasah tidak mengalami otonomi seperti halnya sekolah-sekolah di bawah Departemen Pendidikan Nasional. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk Kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala Kabupaten/kota adalah penyelenggaraan pendidikan. Padahal secara struktural madrasah sebagai sekolah yang bercirikan khas agama Islam berada di bawah naungan Departemen Agama yang notabenenya tidak termasuk urusan yang diotonomkan ke daerah.
Meskipun pengelolaan madrasah tetap berada di bawah naungan Depag, tetapi diterapkan kebijakan baru. Kalau dulu madrasah murni dikelola oleh Depag pusat, tetapi sekarang diberlakukan kebijakan "dekonsentrasi" artinya, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan madrasah yang semula dipegang sepenuhnya oleh pemerintah pusat maka sebagian dapat diturunkan ke daerah. Ini terutama menyangkut masalah-masalah teknis di lapangan yang berkaitan dengan sumber anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Tetapi dalam implikasi otonomi daerah pelaksanaan desentralisasi pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Dalam konteks mutu pendidikan, permasalahannya adalah diberlakukan UU otonomi daerah tersebut apakah dapat dijamin mutu pendidikan masing-masing daerah, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam yang nota benenya "kurang siap" terutama dalam rangka memenuhi standar nasional dan internasional untuk menghadapi persaingan global, sedangkan kualitas sumber daya, prasarana dan kemampuan pembiayaannya bisa sangat berbeda.
Soal
4. Terangkan pandangan saudara tentang kebijakan desentralisasi pendidikan dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam! Bagaimana transformasi nilai-nilai ke-NU-an dan kemuhamadiyahan dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia?
Jawaban
A. Terangkan pandangan saudara tentang kebijakan desentralisasi pendidikan dan implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam!
Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem negara kesatuan republik Indonesia (pasal 1 ayat (7) UU nomor 32 tahun 2004)
Dalam encyclopedia of the social science, desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut bidang legislatif, judikatif, atau administratif.
Menurut Soejito, desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi, dimana sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan.
Menurut Koswara, pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan kepada pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangganya sehingga urusan tersebut beralih kepada dan menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah daerah.
Dari beberapa konsep diatas, penulis mencoba menarik kesimpulkan bahwa desentralisasi merupakan adanya penyerahan wewenang urusan-urusan yang semula menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan-urusan tersebut. Artinya sangat jelas disini pemerintah berusaha memberikan kenyaman dan kemudahan guna tercapainya sebuah tujuan pendidikan dan meningkatkan kualitas mutu pendidikan. Dengan adanya desentralisasi sehingga pemerintah daerah bisa mengelola sendiri apa yang dibutuhkan oleh daerahnya. Sudah tentu bagaimana kondisi daerah itu yang lebih mengetahui pasti pemerintahan daerah itu sendiri entah itu SDM, pendidikan yang diinginkan dan lain sebagainya.
Menegenai implikasinya terhadap pengembangan pendidikan Islam sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa sebenarnya pendidikan islam itu, pendidikan Islam di Indonesia sebagai subsistem pendidikan nasional, secara implisit akan mencerminkan ciri-ciri kualitas manusia Indonesia seutuhnya. Kenyataan seperti ini dapat dipahami dari rumusan seminar pendidikan se-indonesia tahun 1960, yang memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam ditujukan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran islam. Dalam konteks ini Ahmad D. Marimba mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dengan demikian meliaht penjelasan diatas, artinya suatu keberhasilan pendidikan Islam akan membantu keberhasilan pendidikan nasional. Begitu juga sebaliknya, keberhasilan pendidikan nasional secara berkaitan juga turut membantu pencapaian tujuan pendidikan nasional. Oleh sebab itu, keberadaan lembaga pendidikan Islam mestinya oleh pemerintah dijadikan mitra untuk mencerdaskan kehidupan bangsa guna tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan.
Menurut Muhaimin dalam bukunya Manajemen Pendidikan: aplikasinya dalam penyusunan rencana pengembangan sekolah/madrasah, konsep desentralisasi dan implikasinya yang dikemukakan oleh TIM teknis Bappenas yang bekerjasama dengan bank dunia yang berkenaan dengan perencanaan pendidikan adalah “kebutuhan untuk memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin”.
Mamang melihat asal mula terjadinya desentralisasi ini menjadikan munculnya kebijakan tentang desentralisasi pendidikan merupakan angin segar bagi kehidupan pendidikan Islam, karena kebijakan tersebut berarti mengembalikan pendidikan Islam kepada habitatnya. Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaaan pendidikan ini merupakan upaya pemberdayaan pendidikan Islam dalam peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh.
Kembali lagi Muhaimin menegesakan bahwa berbarengan dengan kebijakan otonomi atau desentralisasi tersebut, madrasah sebagai pengembang pendidikan Islam juga telah memperoleh bantuan dari ADB Loan, yang berupa BEP (basic education project) untuk MI dan MTS dan DMAP ( develoipment madrasah Aliyah Project), yang berusaha meningkatkan kualitas madrasah. Walaupun proyek tersebut masih banyak diarahkan pada pengembangan madrasah negeri, tetapi agaknya mulai dapat mencerahkan kehidupan madrasah itu sendiri. Hasilnya cukup menggembirakan terutama dalam memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu (1) bagaimana menjadikan madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan sistem sekolah, (3) bagaimana madrasah merespon tuntusan masa depan guna menghadapi perkembangan ipteks dan era globalisasi.
Dari pernyataan diatas penulis mempunyai prsepsi bahwa desentralisasi memang sudah memberikan kontribusi kepada pendidikan Islam yang sangat membantu dalam pengembangan pendidikan Islam dan meningkatkan kualitas mutu pendidkan, walau pada kenyataannya kebijakan otonomi atau desentalisasi lebih mengarahkan kepada madrasah negri. Yang jelas desentralisasi ini memberikan dampak yang positif yaitu mendorong terwujudnya partisipasi dari bawah secara lebih luas, mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi, mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang, sehingga dapat meningkatkan efesiensi, memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah secara optimal, mengakomodasi kepentingan politik.
B. Bagaimana transformasi nilai-nilai ke-NU-an dan kemuhamadiyahan dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia?
Berbicara trasformasi nilai-nila ke-Nu-an dan kemuhamdiayahan dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu apa sebenarnya NU dan Muhamadiyah itu sendiri. Sehingga lebih mudah dalam menalar tarnsformasi nilai-nilai dari keduanya dalam pengelolaan pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam konteks ke-Indonesian, sejarah tentunya tidak melupakan peran dan konstribusi dua organisasi Islam Indonesia (Muhammadiyah dan NU) baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan dalam memajukan bangsa ini khususnya dunia pendidikan. Muhammadiyah yang menggariskan gerakannya sebagai gerakan yang moderat kemudian melakukan gerakan nyata dengan amal usaha di bidang pendidikan melahirkan ribuan sekolah dasar dan menengah, serta ratusan tingkat menengah atas serta tingkat perguruan tinggi dan universitas yang tersebar di seluruh Indonesia.
Organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1926 di Surabaya yang bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) juga memberikan konstribusi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya dengan konsep yang khas yang melekat pada organisasi ini, Deliar Noer menyebutnya dengan kalangan tradisi. Sudah masyhur kemudian NU dikenal dengan sistem pondok pesantren tradisionalnya. seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan oleh Hasjim Asj’ari, pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab Hasbullah, dan pesantren Den Anyar tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Meraka adalah tokoh dari NU dan pesatren mereka juga sangat identik dengan pesantren NU.
Menuru Slamet Abdullah dan Muslich dalam bukunya Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan Budaya Nusantara,mengemukaakan bahwa Sistem pendidikan Islam klasikal atau tempo dulu sanagat identik atau berciri khas Metode weton atau bandongan adalah sebuah model pengajian, di mana seorang kyai atau ustadz membacakan dan menjabarkan isi kandungan kitab kuning sementara murid atau santri mendengarkan dan memberikan makna. Sementara metode sorogan berlaku sebaliknya, yaitu santri atau murid membaca sedangkan kyai atau ustdaz mendengarkan sambil memberikan pembetulan-pembetulan, komentar atau bimbingan yang diperlukan. Metode ini masih bisa dijumpai dan dipertahankan di pondok-pondok tradisional. Tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya.
Sistem pendidikan ini menurut Ahmad Dahlan (selaku pendiri organisasi Muhamadiyah) harus diubah dengan sistem baru yang lebih kritis, transformatif dan demokratis agar mampu menghasilkan para mujtahid handal yang dapat mengijtihadi hukum sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan peradaban manusia.
Deliar Noer, dalam bukunya Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, menuturkan bahwa Usaha-usaha yang mula-mula dilakukan Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Tahun 1918 didirikan sekolah baru bernama “al-Qim al-Arqa”, dua tahun kemudian dari sekolah ini mendirikan pondok muhammadiyah di Kauman. Tahun 1923 Muhammadiyah telah berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah murid 1019 murid, dan terdiri dari 73 guru. Dalam usianya yang tidak lagi muda, Muhammadiyah tetap progresif melakukan dakwahnya. Salah satu bidang dakwah yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah peran Muhammadiyah dalam mencerdaskan manusia Indonesia melalui dunia pendidikan. Data tahun 2003 Muhammadiyah telah memiliki Sekolah Dasar (SD) berjumlah 1128, Madrasah Ibtida’iyyah (MI) 1768, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 1179, Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534, Sekolah Menengah Umum (SMU) 509, Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 249, Madrasah Aliyah (MA) 171, dan jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah (PTM) adalah 143.
Pemaparan diatas yang dikutip dari berbagai ahli yang meneliti kontribusi pendidikan Isalam di Indonesia ini. penulis mencoba beragumen bahwa, memang sangat nampak dan sangat jelas bahwa peran orgnisis ini sangat luar biasa dalam menyumbangkan serta menawarkan suatu pendidikan Islam yang berbasis ke Islaman tetapi dengan kualitas nasional sehingga memang tidak bisa dipungkiri kemajuannya cukup pesat dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia.
Menurut Arief Subhan, dalam bukunya Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad-20, Nahdlatul Ulama merupakan organisasi muslim tradisionalis terdepan dan terbesar di Indonesia. Didirikan oleh ulama pesantren pada 31 Januari 1926, dewasa ini NU diperkirakan memiliki pengikut sebanayak 60 juta muslim dengan 30 pengurus wilayah, 339 pengurus cabang, 2.630 majelis wakil cabang, dan 37.125 pengurus ranting yang tersebar diseluruh Indonesia. Sejarah NU memperlihatkan bahwa organisasi tealah memainkan peranan sebagai partai politik yang memperjuangkan aspirasi kalangan masyarakat pesantren, disamping itu NU jelas memainkan peranan sebagai kekuatan sosial-keagamaan dan pendidikan di kalangan kaum tradisional di Indonesia. Berbicara tentang pendidikan yang dikelola NU yang dikeloal Lembaga Pendidikan Ma’arif NU (LP Ma’arif NU) setelah kemerdekaan pada decade 1960-an, Le Kam Hing dalam bukunya yang berjudul Education and Politics In Indonesia 1945-1965 yang dikutip Arief Subhan. Mayoritas madrasah swasta yang juga di bawah otoritas Departemen Agama adalah madrasah yang dikelola LP Ma’arif NU sebanyak 4.858 madrasah di bawah LP Ma’arif NU yang terdiri dari madrasah ibtidaiya sebanyak 4.630 buah dengan jumlah murid 884.188 orang, Madrasah Tsanawiyah sebanyak 199 buah dengan jumlah murid 22.542 orang dan Madrasah Aliyah sebanyak 30 buah dengan jumlah murid 3.262 orang. Tetapi hal ini mengealmi perubahan pada dekade 1990-an dikarenakan ada pelepasan madrasah LP Ma’arif yang terjadi pada 1970-an ketika pemerintah daerah mendesak madrash-madrasah untuk melepaskan diri dari afiliasi idiologisnya, termasuk melepaskan NU dari papan nama. Posisi NU sebagai partai politik merupakan latar belakang mengapa pemerintah mengambil kebijakan demikian.
Menolak dan mencontoh merupakan prinsip utama pesantren dalam memberikan respon dalam proses perjumpaan budaya dengan modernisasi pendidikan yanag berlangsung di Indonesia. Tiga catatan penting dalam konteks adopsi pesantren terhadap sistem pendidikan modern. Pertam, respon akomodatif terhadap sistem pendidikan modern tersebut pada awal abad ke-20 tidak merata pada seluruh pesantren. Kedua, pesantren tidak serta merta meninggalkan semua tradisi pembelajaran yang telah bertahun-tahun diterapakan. Sebagian pesantren tetap mempertahankan tradisi pembelajaran model halaqah, baik dengan pendekatan bandongan maupun soragan. Ketiga, tingkat akomodasi terhadap modernisasi membawa pengaruh terhadap munculnya jenis-jenis atau katagori pesantren di Indonesia seperti salafiyah khalaf modern independen dan sebagainya.
Dengan strategi seperti itu, transformasi modirnitas pesantren tidak mencerabut pesantren dari peran tradisionalnya sebagai lembaga pendidikan Islam yang menekankan pesantren transmisi ilmu pengetahaun keislaman. Transformasi modernitas pesantren justru semakin memperkaya kelembagaan pendidikan di lingkungan pesantren. Transformasi harus dipandang sebagai perluasan sistem pembelajaran dipesantren. Karena memiliki misi sebagai tempat pendidikan kader madrasah di lingkungan pesantren yang menjadikan tradisi dan budaya NU sebagai basis memiliki bebrapa cirri. Pertama, madrasah tersebut memiliki kurikulum sendiri hasil kombinasi kurikulum sendiri hasil kombinasi kurikulum Departemen Agama dengan kurikulum pesantren. Kedua, buku-buku standar pesantren yang dikenal dengan istilah kitab kuning tetap digunakan sebagai rujukan dalam materi keislaman di madrasah. Ketiga, madrasah tersebut sebagian mengikuti ujian negara dan sebagian lain menolak mengikutinya.
Dari penjabaran tentang transformasi ke-NU-an dan Kemuhamadiyahan dalam pengelolaan pendidikan di Indonesia diatas yang cukup banyak sehingga penulis menyimpulkan bahwa langkah modernisasi pendidikan Islam yang ditempuh Muhamadiyah memiliki pengaruh penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Konsep yang dapat diartikan sebagai sekolah umum plus mata pelajaran keislaman. Sedangkan dalam ruang lingkup pendidikan ke-NU-an meskipun pada umumnya pesantren mengadopsi sistem klasikal madrasah bahkan bebrapa diantaranya mengadopsi sistem sekolah pesantren tersebut tetap menunjukkan keragaman dalam merespon kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Sebagian madrasah tetap bertahan dengan karakter independensinya yang di indikasikan dengan tidak mengikuti kebijakan pemerintah. Sebagian yang lain lebih akomodatif dengan mengikuti kebijakan pemerintah.
(1)sumber Gambar: https://www.google.co.id/search?q=soal+dan+latihan&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjRh8C955vTAhUDQ48KHakyAXcQ_AUIBygC&biw=1366&bih=662#imgrc=l1INnAIDypZTWM:)
2 Comments
syukron katsiiiron ya akhii
ReplyDeleteAfwan Ya Akhi
Delete