PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN III-IV

PERADABAN ISLAM PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN III-IV


Disusun Oleh
Muhammad Miftah Arief


2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Khalifah al-Rasyidin Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah dua orang khalifah (pemimpin) agama Islam ke III dan IV, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abi Quhafah dan Umar bin Khathab setelah dia wafat sebagai pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Kedua orang tersebut merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang  ikut membela dan berjuang demi memperjuangkan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada masa kerasulannya. Kedua khalifah ini terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan keturunan melainkan konsensus bersama umat Islam pada waktu itu.
Pemilihan kedua pemimpin ini melalui cara yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan bagaimana suksesi kepemimpinan umat Islam setelah  Nabi wafat. Dua khalifah ini merupakan orang-orang mulia dan memiliki peran yang cukup menonjol di Makkah dan Madinah. Mereka dikenal sebagai rasyidin, khalifah-khalifah yang “mendapatkan petunjuk”, dan model pemerintahan yang mereka pakai sama formatifnya dengan yang dilakukan oleh Nabi. Khalifah al-Rasyidin merupakan istilah gelar  resmi merujuk pada empat khalifah pertama Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Islam pada masa Khalifah al-Rasyidin tetap pada aslinya sebagaimana yang dibawa oleh Nabi, namun ada beberapa hal yang tentunya berbeda dari khalifah Islam sebelumnya yang merupakan corak tersendiri pada setiap masa kepemimpinannya. Peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan awal mula terjadinya perbedaan di tubuh umat Islam. Perbedaan terjadi di kalangan para sahabat karena kekacauan keadaan saat itu mengenai penentuan siapa yang akan memimpin umat sepeninggal Nabi Muhaamad SAW. Mulai saat itu pula terlihat kelompok-kelompok yang mendukung kandidatnya sendiri untuk maju menjadi pemimpin yang menggantikan Nabi.
Islam menglami perkembangan dari berbagai segi ketika dipimpin oleh para khalifah yang mencakup peluasan wilayah, di samping itu masalah-masalah yang dihadapi pun tentu ada. Pada pemerintahan Usman inilah mulai bermunculan berbagai fitnah dan isu nepotisme yang dilakukan oleh khalifah Usman. Ali diangkat sebagai khalifah ketika umat Islam sedang dalam kemelut akibat pertentangan antar kelompok. Pemerinatahan Ali berakhir maka sistem khilafah dalam pemerintahan Islam terhenti.
Tulisan ini akan membahas secara mendalam dan gamblang bagaimana pembentukan khalifah, perkembangan Islam sebagai kekuatan politik, dan pertentangan antar kelompok yang terjadi pada masa Khalifah al-Rasyidin. Penulis menyadari keterbatasan informasi yang penulis miliki dalam bidang kajian ini, oleh karena itu kritik dan saran dari semua untuk penyempurnaan tulisan ini.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka dirasa perlu untuk merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah ini:
1.       Bagaimana latar belakang dan proses pembantukan Khalifah?
2.       Bagaimana perkembangan Islam sebagai kekuatan politik di masa Khalifah al-Rasyidin?
3.       Bagaimana nepotisme dan pertentangan antarkelompok pada masa Khalifah al-Rasyidin? 
C.    Tujuan Pembahasan
Melihat rumusan masalah di atas maka makalah ini bertujuan untuk:
1.       Mendeskripsikan pembentukan khilafah pada masa Khalifah al-Rasyidah.
2.       Mengetahui perkembangan Islam sebagai kekuatan politik.
3.       Mengidentifikasi nepotisme dan pertentangan antarkelompok pada masa Khalifah al-Rasyidah.
  
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Khalifah Utsman bin Affan
Dikisahkan oleh Al-Manawi dalam kitab Ad-Durr Al-Mandhud, suatu ketika di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kaum Muslimin dilanda kekeringan. Ketika kesulitan makin berat, mereka mendatangi Abu Bakar dan berkata, “Wahai peganti Rasulullah Saw, sesungguhnya langit tak lagi menurunkan hujan, bumi tak menumbuhkan tanaman, orang-orang sudah memperkiraan datangnya kebinasaan. Lalu apa yang engkau perbuat?”
Abu Bakar menjawab, “Pulanglah kalian dan bersabarlah. Saya berharap kalian tidak sampai sore sehingga Allah memberikan jalan keluar untuk kalian.”
Di pagi hari mereka menanti-nantikannya. Ternya ada seribu onta terikat dengan muatan diatasnya berisi gandum, minyak, dan tepung. Rombongan ;itu berhenti di pintu rumah Utsman dan dibongkar di rumahnya. Para saudagar berdatangan. Utsman keluar dari rumahnya dan bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”
Mereka menjawab, “Engkau mengetahui apa sebenarnya yang kami inginkan.” Orang-orang itu adalah para saudagar yang ingin membeli harta Utsman.[1]
“Berapa kalian memberikan laba kepadaku?”
Mereka menjawab, ”Dua dirham.”
Utsman berkata, “Saya telah diberi lebih dari itu.”
Mereka menaikan tawaran dengan berkata, “Empat dirham!”
“Saya diberikan lebih banyak lagi.”
Mereka berkata, “Lima dirham.”
Ia menjawab, “Saya diberikan lebih dari itu.”
Mereka lalu berkata, “Di Madinah tak ada lagi saudagar selain kami. Lalu siapa gerangan orang yang membermu (laba sebesar itu)?”
Utsman menjawab, “Sesungguhnya Allah memberiku di setiap dirhamnya sepuluh dirham. Apakah kalian mempunyai tawaran yang lebih dari itu?”
Mereka mengatakan, “Tidak.”
“Sekarang saya bersumpah dengan nama Allah, saya jadikan apa yang dibawa oleh khalifah daganganku ini sebagai sedekah karena Allah Swt bagi orang-orang fakir dan miskin.”[2]
Pada kesempatan lain, dikisahkan bahwa Utsman bin Affan mempunyai piutang atas Thalhah bin Ubaidillah sebanyak 50 ribu dirham. Suatu hari Utsman keluar menuju mesjid. Thalhah berkata, “Uangmu telah siap (di rumah), maka ambillah!”
Utsman berkata, “Sekarang uang itu menjadi milikmu wahai Abu Muhammad, sebagai bantuan atas kebaikan akhlakmu.”
      1.      Nasab Keturunan dan Kepribadian Utsman bin Affan
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’addu bin Adnan.[3] Lahir pada tahun 576 M, enam tahun setelah penyerangan Kabah oleh pasukan bergajah atau enam tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30 tahun atas ajakan Abu Bakar. Ia dijuluki dzun nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW, secara berurutan setelah yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kulsum.[4]
Utsman berasal dari strata sosial dan ekonomi tinggi yang yang pertama-tama memluk Islam. Ia memiliki kepribadian yang baik, bahkan sebelum memeluk Islam, Utsman terkenal dengan kejujuran dan integrasinya. Rasulullah Saw berkata, “Orang yang paling penuh kasih sayang dari umatku kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling gagah berani membela agama Allah adalah Umar, dan yang paling jujur dalam kerendahan-hatinya adalah Utsman.”
Mengenai sifat rendah hati ini, Rasulullah Saw berkata, “Bukanlah pantas saya merasa rendah hati terhadap seseorang yang bahkan melihat pun berendah hati terhadapnya?”
Kepribadian Utsman benar-benar merupakan gambaran dari akhlak yang baik menurut Islam (akhlakul karimah). Ia jujur, dermawan, dan sangat baik hati. Rasulullah Saw mencintai Utsman karena akhlaknya, mungkin itulah alas an mengapa beliau mengizinkan dua anaknya untuk menjadi istri Utsman. Yang pertama adalah Riqayyah.[5]
Perkawinannya berlangsung sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul, Ruqayyah meninggal pada saat berlangsungnya perang Badar. Inilah yang menyababkan dia tidak ikut serta dalam Perang Badar karena harus merawat istrinya. Rasulullah kemudian menikahkannya dengan putrinya yang lain, yaitu Ummu Kulsum.[6]
Khalifah Utsman bin Affan ikut berhijrah bersama istrinya ke Abesinia dan termasuk muhajir pertama ke Yatsrib. Ia termasuk orang yang saleh ritual dan sosial. Siang hari ia gunakan untuk shaum dan malamnya untuk sholat. Ia sangat gemar membaca Al-Quran, sehingga Khalid Muh Khaid menulis untuk sholat dua rakaat saja, Utsman menghabiskan semalaman karena banyaknya ayat Al-Quran yang dibaca. Kesalehan sosialnya terbukti dan membeli telaga milik Yahudi seharga 12.000 dirham dan menghibahkan kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Ytsrib. Mewakafkan tanah seharga 15.000 dinar untuk perluasan Mesjid Nabawi. Menyerahkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda, 10.000 dinar untuk keperluan Jaisyul Usrah pada Perang Tabuk. Setiap hari Jumat, Utsman bin Affan membebaskan seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Pada masa paceklik, masa pemerintahan Abu Bakar, Utsman menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga yang sangat murah, bahkan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin. Utsman termasuk orang yang sangat penyayang, sehingga pernah suatu pagi, ia tidak tega membangunkan pelayannya untuk mengambil air wudu, padahal ia sedang sakit dan sudah udzur.[7]
      2.      Proses Pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan
Sebelum meninggal, ‘Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, ‘Ali, dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian, Umar berpesan agar pegantiannya tidak mengangkat karabat sebagai pejabat.
Khalifah Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdullah Ar-Rahman bin Auf. Disamping itu Abdullah bin Umar ditambahkan menjadi anggota, tetapi ia hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.[8]
Mekanisme pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara terbagi secara berimbang, Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima, calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah. Kalau masih ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah dibunuh.
Anggota yang khawatir dengan tata tertib pemilihan tersebut adalah Ali. Ia khawatir Abd Ar-Rahman yang mempunyai kedudukan strategis ketika pemilihan tidak bisa berlaku adil karena Utsman dan Abd Ar-Rahman terdapat hubungan kekerabatan. Akhirnya, Ali meminta Abd Ar-Rahman berjani untuk berlaku adil, tidak memihak, tidak mengikuti kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak menyulitkan umat. Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali menyetujuinya.[9]
Melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang terpanjang dari semua khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun, tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama merupakan masa kejayaan pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.[10]
Dia dilantik menjadi khalifah tiga hari setelah disemayamkannya Umar bin Khaththab. Diriwayatkan bahwa orang-orang pada tiga hari itu mendatangi Abdur Rahman bin Auf meminta nasehat dan pendapatnya. Saat itu tidak ada seorang pun yang mengubah pendapatnya tentang Utsman.
Tatkala Abdur Rahaman duduk untuk membai’at Utsman, dia mengucapkan puji syukur ke hadirat Allah. Dalam ucapannya itu dia berkata, sesungguhnya saya melihat manusia sama-sama menolak kecuali kepada Utsman. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abdur Rahman bin Auf berkata, Amma Ba’du. Wahai Ali, sesungguhnya saya telah melihat bagaimana sikap orang-orang. Dan saya tidak melihat bahwa mereka mengubah pendapatnya tentang Utsman. Maka janganlah engkau membuat sesuatu. Kemudian dia mengambil tangan Utsman dan berkata, sesungguhnya kami membai’atmu dengan Sunnah Allah., Sunnah Rasulullah dan Sunnah kedua khalifah setelah Rasulullah. Lalu Abdur Rahman membai’atnya dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan Anshar.[11]
      3.      Perluasan Islam pada Masa Utsman bin Affan
Khalifah Utsman memirantah imperium Muslim selama kira-kira 12 tahun. Selama kekhalifahannya, imperium Arab meluas di Asia dan Afrika. Pada permulaan pemerintahnya terjadi suatu pemberontakan oleh orang-orang Persia yang dihasut oleh Yazdagrid. Khalifah memadamkan pemberontakan itu, kemudian diikuti oleh penyerbuan jenderal-jenderal Arab ke Heart, Kabul, Ghazani, dan Asia Tengah. Wilayah-wilayah ini di serbu dan ketua suku Afganistan, Balkh, Turkestan, dan Koresan dipaksa untuk mengakui kedaulatan kekhalifahan dan harus menyebar upeti kepada Khalifah.[12] Dalam bidang sosial budaya, Utsman bin Affan telah telah membangun bendungan besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Membangun jalan, jembatan, mesjid, rumah penginapa para tamu dalam berbagai bentuk, serta memperluas Masjid Nabi di Madinah.[13]
Kekhaifahan Utsman patut diingat terutama karena membangun angkatan laut Arabaya. Sebagai Gubernur Siria, Muawiyah harus menghadapi serangan-serangan angkatan laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk memukul mundur penyerbuan-penyerbuan, dia merasakan perlunya suatu angkatan laut. Oleh karena itu dia membangun suatu angkatan laut, dan dengan bantuannya dia berhasil melawan penyerbu-penyerbu Romawi.
Bangsa Romawi juga menyerang Mesir dari laut, dan pada tahun 646 M bahkan mereka menduduki Alexsandria. Namun, Amar bin Ash memukul mundur mereka dan merebut kembali pelabuhan itu. Sekali lagi pada tahun 651 M Romawi menyerbu Mesir, dengan satu arnada yang besar. Pengganti Amar sebagai Gubernur Mesir Abdullah, mengerahkan suatu satuan angkatan laut dan mengalahkan Romawi di dalam satu pertempuran laut. Dengan demikian, bangsa Arab menancapkan keunggualan mereka di laut.[14]
Karya monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam  ialah penyusunan kitab suci Al-Quran. Penyusunan Al-Quran dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius dalam bacaan Al-Quran.[15] Utsman memutuskan untuk menghilangkan perbedaan dan menghimpunkan versi yang benar dari Kitab Suci Al-Quran. Maka dia menyusun satu dewan yang diketahui oleh Zaid bin Tsabit. Dewan ini menghimpun Kitab Suci yang autentik, dan salinan yang terdapat pada Hafsah, salah seorang istri Nabi, banyak memberi pertolongan dalam perhimpunannya.mereka membuat beberapa salinan dari Kitab Suci yang sudah disusun itu. Salinan-salinan itu dikirimkan ke berbagai wilayah imperium, sisanya dibakar sehingga keautentikannya Kitab Suci Al-Quran dapat dipelihara.[16]
      4.      Nepotisme pada Masa Utsman bin Affan
Kelemahan dan nipotisme telah membawa khalifahan ke puncak yang dituduh sebagai orang yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi sekretaris utamanya, segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah, Irak, dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan mengorbankan kekayaan umum dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negara Suriah dan Khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang Tripoli untuk dirinya dan lain-lain.
Situasi politik di akhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mencekam. Bahkan juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk kemaslahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat.[17]
      5.      Pertentangan dan Perpecahan Umat
Rasa tidak puas terhadap Khalifah Utsman menjalar. Di Kufa dan Basrah rakyat bangkit menentang Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Khalifah Utsman. Hasutan menjadi lebih keras lagi di Mesir, tempat Abdullah bin Saba mendakwahkan hak Ali yang sah bagi kekhalifahan. Dia berkata bahwa Khalifah Utsman tidak berhak merampas kekhalifahan. Abdullah bahkan memperkenalkan pemikiran Yahudi tentang Mesiah yang menyatakan bahwa Ali akan datang sebagai Mahdi, seorang penebus bagi dunia setelah kematiannya. Ali mempunyai pengikut paling banyak di Mesir, dan Thalhah, Zubair mempunyai pengikut paling banyak di Kufa dan Basrah.[18] Pemberontakan berhasil mengusir gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600 orang Mesir itu berarakan-arakan menuju ke Madinah. Para pemberotak dari Basrah dan Khufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir.[19]
Namun keadaan ini semua tidak lepas dari adanya penghianatan dan kalajengking berbisa yang tidak dapat diatasi kecuali dengan dibunuh. Dalam keadaan seperti ini, muncul penghiant  yang dengki, anak ular hitam Yahudi dan salah satu ekornya yang namanya dalam beberapa referensi dipanggil Ibnu As-Sauda Abdillah bin Saba Al-Yahudi, dri Yahudi Shana. Ibunya berkulit hitam ibnu As-Sauda menampakkan  keislamannya pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, akan tetapi dia kemudian menyembunyikan penghianatannya, lalu secara diam-diam berusaha memengaruhi orang-orang Arab Baduwi dan orang-orang yang baru masuk Islam dari berbagai daerah, padahal sebelumnya Islam telah menyucikan hati mereka secara sempurna dari pemikiran jahiliyyah itu.
Penghiantan ini kemudian mencuci otak mereka secara besar-besaran, memperdayakan kebodohan mereka dan ketidakpahaman mereka terhadap agama yang lurus ini, serta ketidaktahuan mereka terhadap nilai-nilai Al-Quran, dan kecondongan mereka terhadap berbagai bentuk penyimpangan. Penghianat  Yahudi ini terus menyusul api fitnah dan tidak pernah diam hingga terbunuhnya Utsman bin Affan di tangan sekelompok penghianat yang mengikuti jejak Abdullah bin Saba dan dilatih olehnya untuk memusuhi Islam dan kaum muslimin.[20] Pembunuhan Khalifah Utsman terjadi pada hari Tasyriq pada tahun 35 H. disebutkan bahwa Khalifah Utsman dibunuh pada hari Jum’at, tanggal 18 Dzul Hijjah. Dia dikuburkan pada malam Sabtu, antara Magrib dan Isya. Saat dibunuh  Khalifah Utsman berusia delapan puluh dua tahun.[21]
B.     Khalifah Ali bin Abi Thalib
Dia adalah khlaifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Ayahnya Abu Thalib, untuk meringankan beban Abu Thalib yang kala itu mempunyai anak yang lumayan banyak. Rasulullah Saw mengasuh Ali. Selanjutnya, Ali tinggal bersama di rumah beliau dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Kesederhanaan, kerendah-hatian, ketenangan, dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di antara para sahabat Rasulullah Saw yang lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga Rasulullah Saw semakin erat ketika ia menikah dengan putrid bungsu Rasulullah Saw.[22]
Ketika Rasulullah Saw masih hidup, Ali bin Abi Thalib telah memberikan saham terbesar demi tersebarnya Islam. Di antara sumbangan terbesar itu adalah kesediaannya menggantikan Rasulullah Saw, tidur di kamarnya untuk mengelabui para pengepung yang ingin membunuh Rasulullah. Dengan resiko apa pun, termasuk kemungkinan dibunuh, ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari, dan selanjutnya meneruskan hijrah ke Madinah.
Itu bukan satu-satunya bukti keberanian Ali. Ketika Perang Badar akan meletus, kaum Quraisy mengeluarkan tiga jagoan perangnya, yaitu Utbah bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah, dan Walid bin Utbah. Dengan segala keberaniannya, Ali bin Abi Thalib, Ubaidah bin Harits, dan Hamzah bin Abdul Muthalib, maju ke medan laga untuk menerima tantangan perang tanding dari pihak Quraisy itu. Dan, tanpa kesulitan yang berarti ia berhasil membunuh Walid bin Utbah, musuhnya. Hamzah juga berhasil membunuh Syaibah. Sedangkan, Ubaidah terputus kakinya disambar senjata Utbah. Ali dan Hamzah segera melompat menyerang Utbah, sehingga ia tewas di tangan dua jagoan Islam itu. Adapun Ubaidah hanya mampu bertahan sekitar empat atau lima hari setelah Perang Badar. Ia pun syahid di daerah Shafra.[23]
Pada masa khalifah Abu BAkar, Umar, dan Utsman, ia terus menyertai tiga khalifah itu meneruskan dakwah Rasulullah. Ketika Utsman bin Affan syahid di tangan para pembunuhnya, kursi kekhalifahan kosong selama dua atu tiga hari.[24]
      1.      Nasab Keturunan dan Kepribadian Ali bin Abi Thalib
Nama lengkap beliau, Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muththalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah Abdul Hasan dan Husain, digelari Abu Turab, keponakan sekaligus menantu Rasulullah SAW dari puteri beliau, Fatimah az-Zahra R.A.[25] Khalifah keempat adalah Ali bin Abi Thalib. Ai adalah sepupu Nabi SAW yang telah ikut bersamanya sejak bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman Nabi yang lain membantu Abi Thalib dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain.[26] Ali bin Abi Thalib R.A masuk Islam saat beliau berusia tujuh tahun, ada yang mengatakan delapan tahun, dan ada pula yang mengatakan sepuluh tahun. Dikatakan bahwa beliau adalah orang pertama masuk Islam. Namun yang shaih adalah beliau merupakan bocah yang pertama kali masuk Islam.[27] Ia menemani Nabi dalam perjuangan menegakkan Islam, baik di Mekah maupun di Madinah, dan ia diambil menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang puteri Rasulullah, dan dari sisi inilah keturunan NAbi SAW berkelanjutan.[28]
Khalifah Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakn pedang maupun dalam menggunakan pena. Sebagai seorang ulama dan seoarang orator (ahli pidato), Ali  merukan orang yang paling ulung pada waktu itu. Kata-katanya menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan kebijaksanaannya. Dia dikenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh ilmu, kebijaksanaan dan kecerdasannya, nasehatnya sangat dihargai oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar, dan ia menempati kedudukan sebagai penasehat utama di dalam kekhalifahan mereka.
Ali adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan dan keluhuran budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada, adalah sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua kebijakan manusia.[29]
      2.      Proses Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya. Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman, pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat senior satu persatu yang ada dikota Madinah, seperti Ali bin Abi Thalid,Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi, baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali menjadi khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah masyarakat mengemukakan bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.[30]
Ia dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat senior,seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di Madinah tidak mau ikut membai’at Ali.
Ibnu Umar dan Saad misalnya bersedia berbai’at kalau seluruh rakyat sudah berbai’at. Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara terpaksa. Riwayat lain mengatakan mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat menjadi gubernur di Kufah dan Basrah. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan bahwa Thalahah dan Zubair bersama kaum Anshar dan Muhajirinlah yang meminta kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.[31]
Sebagai seoarang khalifah, Ali meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Dia mau mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip baitul mal. Dia memutuskan untuk mengembalikan ke dalam pembendaharaan Negara semua tanah yang diambil alih oleh bani Umayah dan lain-lainya pada masa kekhalifahan Usman. Khalifah Ali juga bertekad untuk mengganti semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.[32]
      3.      Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Yang pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, Gubernur Mesir yang dijabat oelh Abdullah diganti oleh Qays, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk meletakkan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslim sendiri. Pemberontakan pertama datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aiyah yang kemudian menjadi perang Jamal. Dikatakan demikian karena Siti  Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali. Pemberontakan yang kedua datang dari Muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan, bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai gubernur Suriah, yang berakhir dengan Perang Shiffin.[33]
      4.      Pertentangan dan Perpecahan Umat
Oposisi terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan penentangan terhadap Ali mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia memanfaatkan pristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali, dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan manuduh Ali sebagai orang yang mendalangi pembunuhan Utsman, jika ali tidak menemukan dan menghukum pembunuh yang sesungguhnya.
Akan tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena tugas untuk yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi seperti saat ini ialah memulihkan ketertiban dan mengosolidasikan kedudukan kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah Utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir, Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.[34]
Disinilah awal mula terjadinya beberapa pemberontakan pada masa Khalifah Ali. Pertama, pemberontakan Thalhah dan Zubair, Thalahah dan Zubair mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan mereka tidak mengakuinya karena Ali tidak menyetujui tuntutan mereka bahwa dia harus segera menghukum para pembunuh Khalifah Utsman.
Karena Khalifah Ali tidak menerima tuntutan mereka, Thalhah dan Zubair menarik sumpah setia mereka dan pergi menuju Basrah karena mengaharapakan mereka akan memperoleh banyak pengikut dikota itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan Aisyah yang sedang dalam perjalanan pulang dari ibadah haji. Ketika menerima kabar tentang pembunuhan khalifah Ustman, dia sangat terkejut. Setelah dia mendengar bahwa khalifah Ali tidak menyetujui menghukum para pembunuh itu, dia bergabung dengan Thalhah dan Zubair dan kembali ke Mekah bersama mereka. Mereka pergi dari Mekah ke Basrah dan menawan Gubernur Ibnu Hanif. Kelompok Ali dikaalahkan, dan Basrah jatuh ke tangan Thalhah dan Zubair.[35] Khalifah Ali sebenarnya ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Tahlahah dan Zubair terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah. Peperangan ini terkenal dengan nama “perang Jamal” (Perang Unta), yang terjadi pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah, istri Nabi SAW mengendarai Unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslim gugur.[36]Kedua, pemberontakan Muawiyyah, ketua Bani Umayah, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan, Gubernur Siria, mengharapkan kekhalifahan, dan memanfaatkan keadaan yang ditumbulkan oleh pembunuh Utsman, banyak orang Bani Umayah yang pergi ke Siria dan bergabung dengan Muawiyah sehingga pada waktu penobatan Ali sebagai khalifah, Muawiyah telah memimpin perhimpunan keluarga-keluarga Umayah yang berjumlah beribu-ribu. Lebih lagi Muawiyah menguasai seluruh sumber yang ada di provinsi yang luas dan subur itu. Dia juga mengumpulkan orang-orang Arab Siria sebagai pendukungnya. Orang-orang ini menganggap bahwa dengan mendukung tujuan Muawiyah, mereka akan memajukan kepentingan mereka sendiri. Oleh karena itu Muawiyah mempunyai cukup orang dan uang untuk memperebutkan kekhalifahan Ali.[37] Maka dengan dikuasainya Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakan atas perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak. Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara angkatan perang Ali dan pasukan Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah terdesak kalah, 7.000 pasukannya terbunuh.[38]
      5.      Peristiwa Tahkim pada Masa Ali bin Abi Thalib
Konflik politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal sangat jujur dan tidak cerdik dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari. Sebaliknya, dari pihak. Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang terkenal sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abu Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib kemudian terpecah menjadi dua, yaitu kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua adalah kelompok yang menolak tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn Abi Thalib. Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat dalam tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.[39]
Penyelesain melalui kompromi dengan Muawiyah itu sebenarnya merupakan kegagalan bagi Ali. Berbagai kerusuhan yang harus dihadapi Ali sejak penobatannya menjadi Khalifah terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan Muawiyah. Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperolah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasan Muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula dibasrah, Mesir, dan Persia untuk mendapatkan kemerdekaan.[40]
Semua kekacauan yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib juga tidak lepas dari campur tangan penghiant-penghianat pada masanya, mereka menghalalkan segala cara dan dengan kelicikkan-kelicikan yang dibuatnya guna menghancurkan umat Islam pada masa itu.
Para penghianat yang dipilih oleh Ibnu As-Sauda Aabdullah bin Saba yang telah menyulut api fitnah itu, tidak puas dengan hanya membunuh Utsman bin Affan, melainkan mereka ingin membunuh islam itu sendiri dan melenyapkannya. Demikian yang dihiaskan oleh Ibnu As-Sauda Al Yahudi, Abdullah bin Saba, sebagaimana dia menghiaskan pemikiran itu kepada dirinya dan diwahyukan oleh setannya. Ketika para penghianat itu menjadi penyebab terbunuhnya Utsman bin Affandan mereka mengira bahwa islam akan berakhir dengan terbunuhnya,mereka kemudian mengumumkan kepada kaum muslimin agar pembunuh Utsman harus diburu dan dihukum. Mereka kemudian menangis dengan tangisan air mata buaya dan berduka cita atas terbunuhnya  Utsmanbin Affan.
Kemarin baru saja mereka mengklaim bahwa Utsman adalah pemimpin yang zhalim, berpihak kepada kerabatnya, dan menganggap pencalonan Ali bin Abi Thalib untuk menjadikan khalifah. Tetapi sekarang mereka menunjukkan sikap percaya kepada Ustman untuk membuat goncangan dan menyulut api fitnah. Padahal Utsman bin Affan telah di zhalimi dan dibunuh secara zhalim dan dianiaya. Bagaimana dia dibunuh, sedangkan dia adalah khalifah bagi kaum muslim? Mengapa pencarian terhadap si pembunuh tidak dilakukan secepatnya setelah terbunuhnya? Dan, kejahatan apa yang dilakukan Utsman bin Affan, hingga dia dibunuh?dia adalah orang yang lembut dan penyayang kepada rakyatnya. Dia juga simpati kepada rakyatnya dan sangat berbakti kepadaorang-orang beriman. Tetapi, mengapa khalifah yang miskin ini dibunuh? Dan, bagaiman pembunuhnya bisa hidup dan berkeliaran bebas hingga saat ini. Bagaimanapun dia harus mendapat hukuman.
Para pengikut yahudi Ibnu As-Sauda, Abdullah bin Saba, mereka seoalah-olah bukan pelaku penyebaran fitnah dan menuduh orang lain yang melakukan pembunuhan. Mereka lalu melakukan penghianatan berikutnya, mengatur perencanaan makar dan memperdayakan Islam dan kaum muslim. Mereka menyebarkan fitnah yang ditujukan kepada khalifah baru, Ali bin Abi Thalib dan menghasut orang-orang agar melakukan apa yang pernah dilakukan kepada Utsman, karena Ali dianggap tidak membela Utsman dan membiarkan pembunuhnya.[41]
Ali bin Abi Thalib dibunuh pada malam Jum’at, tanggal 17 Ramadhan tahun keempat puluh Hijriyah. Penghianatan yang menyebabkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib ini merupakan penghianatan yang tiada duanya. Ali termasuk golongan yang pertama masuk Islam. Dia telah melawan kemusyrikan, kekufuran, dan pembangkangan orang-orang Yahudi, serta berperang menghadapi diktator yang memerangi Islam.[42] Sebelum Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh dia sudah mengetahui bahwa dia akan mati syahid, dan sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang menerangkan tentang bahwasanya Khalifah Ali akan mati syahid terbunuh.[43]
C.    Kemajuan Peradaban Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad Saw yang telah meletakkan dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang dilakukan pemerintah khulafaur rasyidin dalam waktu yang relative singkat telah membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi kekuasan Islam menembus ke luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria, Persia, bahkan menembus ke Bazantium dan Hindia.[44]
Ekspansi ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Ada beberapa factor yang mengakibatkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain sebagai berikut:[45]
1.      Islam, di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga Agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2.      Dalam dada para sahabat Nabi Saw tertanam keyainan yang sangat kuat tentang kewajiban menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang terpadu dalam diri umat Islam.
3.      Bizantium dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4.      Pertentangan aliran agama di wilayah Bizanium mengakibatkan hiangnya kemerdekaan beragama bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan alirannya yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya peperangan untuk melawan Persia.
5.      Islam datang kedaerah-kedaerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran, tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6.      Bangsa Sami di Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah mereka.
7.      Mesir, Syiria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Pada masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah dicapai. Di antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai berikut.
1.      Menjaga keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpukannya dalam bentuk mushaf pada masa Abu Bakar.
2.      Memberlakukan mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3.      Keseriusan mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam para penduduk negeri. Oleh sebab itu, para shabat pada masa Utsman dikirim ke berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4.      Sebagian orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19 banyak yang mempelajari fenomena futuha al-islamiyah[46] dan  menafsirkannya dengan motif bendawi. Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah perang dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang ditundukan. Interpretasi ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang berbicara bahwa berperangnya sahabat adalah karena iman yang bersemayamnya di dada mereka.
5.      Islam pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i maupun panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. para khalifah adalah penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’I, dan juga panglima perang.[47]
Di samping itu, dala hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau lembaga-lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih sempurna, telah dijadikan sebagai suatu nizam yang mempunyai alat-alat perlengkapan dan lembaga-lembaga menurut ukuran zamanya telah cukup baik.[48]
Dr. Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh Al-Islam As-Siyasi”, menjelasakan bahwa organisasi-organisasi atau lembaga-lembaga negara yang ada pada masa khulafaur rasyidin, diantaranya sebagai berikut.[49]
1.      Lembaga Politik
Termasuk dalam lembaga politik khlaifah (jabatan kepala negara), wizarah (kementerian negara), dan kitabah (sekertaris negara).
2.      Lembaga Tata Usaha Negara
Termasuk dalam urusan lembaga tata usaha negara, Idaratul qalim (pengelolaan pemerintah daerah) dan diwan (pengurus departemen) seperti diwan kharaj (kantor urusan keuangan), diwan rasail (kantor urusan arsip), diwanul barid (kantor urusan pos), diwanul syurthah (kantor urusan kepolisian) dan departemen lainya.
3.      Lembaga Keuangan Negara
Termasuk dalam lembaga keuangan negara adalah urusan-urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataanya.
4.      Lembaga Kehakiman Negara
Termasuk dalam lembaga kehakiman negara, urusan-urusan mengenai Qadhi (pengadilan negeri), Madhalim (pengadilan banding), dan Hisabah (pengadilan perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan pengurusan segera).

Peristiwa-Peristiwa Penting Pada Masa Khulafaur Rasyidin[50]

Tahun

Peristiwa
Masa Kekuasan
Khalifah & Masa Berkuasa
11 H
Rasulullah Saw wafat (Rabiul Awal)


Abu Bakar Ash-Shidiq
632-634 M
12 H
Perang Riddah
13 H
Perang Yarmuk
13 H
Abu Bakar Wafat (Jumadil Akhir)
14 H
Penaklukan Damaskus



Umar bin Khaththab
634-644 M
15 H
Perang Qadisiyah
17 H
Penaklukan Persia
20 H
Penaklukan Mesir
21 H
Perang Nahawand
23 H
Penaklukan Khurasan, Persia
27 H
Penaklukan Tarablusi dan Afrika


Utsman bin Affan
644-656 M
28 H
Penaklukan Cyprus
31 H
Perang Dzatu Sawari
32 H
Khurasan kembali ditaklukan
35 H
Utsman wafat
36 H
Perang Jamal


Ali bin Abi Thalib
656-661 M
37 H
Perang Siffin dan Tahkim
38 H
Perang Nahawand
41 H
Ali bin Abi Thalib wafat

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Paparan di atas tentu memerlukan beberapa kesimpulan untuk dapat menangkap inti dari pembahasannya, oleh karena itu penulis menyimpulkan bahwa:
Terbentuknya khilafah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib dimulai ketika wafatnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan khalifah Umar.  Asas musyawarah merupakan landasan yang digunakan dalam setiap pergantian khalifah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi. Namun Nabi tidak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dan bagaimana tata cara pemilihan setelahnya.  Demikian juga pada pengangkatan khalifah Utsman dan khalifah Ali, semuanya didahului oleh perselisihan dan pada akhirnya terpilihnya mereka yang terpilih setelah melalui musyawarah dengan model yang berbeda-beda.
Kebangkitan Islam dengan meluasnya wilayah kekuasaan pada masa khalifah ar-rasyidah merupakan indikasi atas kuatnya politik Islam saat itu. Melanjutkan perjuangan Umar membuat pembaruan dalam sistem pemerintahannya. Utsman melakukan perluasan sebagaimana yang dilakukan Umar dan membentuk angkatan laut pertama dalam Islam. Pada era Ali, politik Islam lebih menfokuskan pada penyelesaian-penyelesaian urusan dalam negeri dari pada melakukan perluasan wilayah.
Fitnah mulai terjadi saat Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memimpin kekhalifahan. Tuduhan terhadap Utsman melakukan nepotisme karena mengangkat kerabatnya pada jabatan tinggi negara. Ketika Utsman terbunuh maka pertentangan antarkelompok pun tak terelakkan sehingga mengakibatkan pecahnya peperangan dan pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Peperangan saudara pada masa khalifah Ali ini pun terjadi dikarenakan adudomba yang sangat licik dan keji yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
B.     Kritik dan saran
Kami sebagai manusia yang ingin menjadi diri sendiri dan pribadi yang lebih baik menyadari akan kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini untuk memberikan sumbangsih berupa kritik dan saran bagi penulis demi menjadi diri yang lebih baik dan demi penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapa saja. Amin.


[1]Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008).
[2]Bastoni, Sejarah.
[3]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, terj. Abu Ihsan al-Atsari, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, (Cet. III; Jakarta: Darul Haq, 2006).
[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008).
[5]Bastoni, Sejarah.
[6]Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam, (Cet. IV; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
[7]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[8]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. III; Jakarta: Amzah, 2013).
[9]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[10]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[11]As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa.
[12]Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Cet. IV; Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005).
[13]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[14]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[15]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[16]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[17]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[18]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[19]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[20]Syikh Sa’ad Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat Al-Tarikh Al-Islami, ter. Muhyiddin Mas Rida, Penghianat-Penghianat dalam Sejarah Islam, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
[21]Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sirah Amir Al-Muminin Utsman Ibn Affan Syakhshiyatuh Wa A’shruh, (Beirut: Dar El-Marefah, 2006).
[22]Bastoni, Sejarah.
[23] Bastoni, Sejarah.
[24]Bastoni, Sejarah.
[25]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, terj. Abu Ihsan, Al-Bidayah.
[26]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[27]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, terj. Abu Ihsan, Al-Bidayah.
[28]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[29]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[30]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 93.
[31]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[32]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[33]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[34]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[35]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[36]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[37]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[38]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[39]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[40]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[41]Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat, ter. Muhyiddin, Penghianat-Penghianat.
[42]Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat, ter. Muhyiddin, Penghianat-Penghianat.
[43]Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sirah Amir Al-Muminin Ali Ibn Abi Thalib Syakhshiyatuh Wa A’shruh, (Beirut: Dar El-Marefah, 2006).
[44]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[45]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
[46]Futuhat Al-Islamiyah, adalah penaklukan-penaklukan negeri atau wilayah non Islam oleh pasukan kaum muslimin.
[47]Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Rahmat Semesta dan Kencana, 2007).
[48]A. Hasymi, Dustur Da’wah menurut Alquran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
[49]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[50]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar, 2006).

(Sumber Gambar: https://www.google.co.id/search?q=PERADABAN+ISLAM+PADA+MASA+KHULAFAUR+RASYIDIN+III-IV&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjptPXb8pXTAhVBM48KHd5FDV8Q_AUIBigB&biw=1366&bih=613#imgrc=YSrfs4BlvZeCaM:)

Post a Comment

0 Comments