PERADABAN ISLAM
PADA MASA KHULAFAUR RASYIDIN III-IV
Disusun Oleh
Muhammad Miftah Arief
2014
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Khalifah al-Rasyidin Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib adalah dua orang khalifah (pemimpin) agama
Islam ke III dan IV, yang dipercaya oleh umat Islam sebagai penerus
kepemimpinan Abu Bakar Ash-Shiddiq bin Abi Quhafah dan Umar bin Khathab setelah
dia wafat sebagai pemimpin negara dan pemimpin masyarakat. Kedua orang tersebut
merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW yang ikut membela dan berjuang demi
memperjuangkan agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW pada masa kerasulannya.
Kedua khalifah ini terpilih menjadi pemimpin bukan berdasarkan keturunan
melainkan konsensus bersama umat Islam pada waktu itu.
Pemilihan kedua pemimpin ini melalui cara yang
berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena Nabi Muhammad SAW tidak menetapkan
bagaimana suksesi kepemimpinan umat Islam setelah Nabi wafat. Dua
khalifah ini merupakan orang-orang mulia dan memiliki peran yang cukup menonjol
di Makkah dan Madinah. Mereka dikenal sebagai rasyidin, khalifah-khalifah
yang “mendapatkan petunjuk”, dan model pemerintahan yang mereka pakai sama
formatifnya dengan yang dilakukan oleh Nabi. Khalifah
al-Rasyidin merupakan istilah gelar resmi merujuk pada empat khalifah
pertama Islam, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin
Abi Thalib.
Islam pada masa Khalifah al-Rasyidin tetap pada aslinya sebagaimana yang dibawa
oleh Nabi, namun ada beberapa hal yang tentunya berbeda dari khalifah Islam sebelumnya
yang merupakan corak tersendiri pada setiap masa kepemimpinannya. Peristiwa
wafatnya Nabi Muhammad SAW merupakan awal mula terjadinya perbedaan di tubuh
umat Islam. Perbedaan terjadi di kalangan para sahabat karena kekacauan keadaan
saat itu mengenai penentuan siapa yang akan memimpin umat sepeninggal Nabi
Muhaamad SAW. Mulai saat itu pula terlihat kelompok-kelompok yang mendukung
kandidatnya sendiri untuk maju menjadi pemimpin yang menggantikan Nabi.
Islam menglami perkembangan dari berbagai segi
ketika dipimpin oleh para khalifah yang mencakup peluasan wilayah, di samping
itu masalah-masalah yang dihadapi pun tentu ada. Pada pemerintahan Usman inilah
mulai bermunculan berbagai fitnah dan isu nepotisme yang dilakukan oleh
khalifah Usman. Ali diangkat sebagai khalifah ketika umat Islam sedang dalam
kemelut akibat pertentangan antar kelompok. Pemerinatahan Ali berakhir maka
sistem khilafah dalam pemerintahan Islam terhenti.
Tulisan ini akan membahas secara mendalam dan
gamblang bagaimana pembentukan khalifah, perkembangan Islam sebagai kekuatan
politik, dan pertentangan antar kelompok yang terjadi pada masa Khalifah al-Rasyidin. Penulis
menyadari keterbatasan informasi yang penulis miliki dalam bidang kajian ini,
oleh karena itu kritik dan saran dari semua untuk penyempurnaan tulisan ini.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang di atas maka
dirasa perlu untuk merumuskan masalah-masalah yang akan dikaji dalam makalah
ini:
1.
Bagaimana latar belakang dan proses pembantukan
Khalifah?
2.
Bagaimana perkembangan Islam sebagai kekuatan
politik di masa Khalifah al-Rasyidin?
3.
Bagaimana nepotisme dan pertentangan antarkelompok
pada masa Khalifah al-Rasyidin?
C.
Tujuan
Pembahasan
Melihat rumusan masalah di atas maka makalah
ini bertujuan untuk:
1.
Mendeskripsikan pembentukan khilafah pada masa
Khalifah al-Rasyidah.
2.
Mengetahui perkembangan Islam sebagai kekuatan
politik.
3.
Mengidentifikasi nepotisme dan pertentangan
antarkelompok pada masa Khalifah al-Rasyidah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Khalifah
Utsman bin Affan
Dikisahkan
oleh Al-Manawi dalam kitab Ad-Durr
Al-Mandhud, suatu ketika di masa pemerintahan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kaum
Muslimin dilanda kekeringan. Ketika kesulitan makin berat, mereka mendatangi
Abu Bakar dan berkata, “Wahai peganti Rasulullah Saw, sesungguhnya langit tak
lagi menurunkan hujan, bumi tak menumbuhkan tanaman, orang-orang sudah
memperkiraan datangnya kebinasaan. Lalu apa yang engkau perbuat?”
Abu
Bakar menjawab, “Pulanglah kalian dan bersabarlah. Saya berharap kalian tidak
sampai sore sehingga Allah memberikan jalan keluar untuk kalian.”
Di
pagi hari mereka menanti-nantikannya. Ternya ada seribu onta terikat dengan
muatan diatasnya berisi gandum, minyak, dan tepung. Rombongan ;itu berhenti di
pintu rumah Utsman dan dibongkar di rumahnya. Para saudagar berdatangan. Utsman
keluar dari rumahnya dan bertanya, “Apa yang kalian inginkan?”
Mereka
menjawab, “Engkau mengetahui apa sebenarnya yang kami inginkan.” Orang-orang
itu adalah para saudagar yang ingin membeli harta Utsman.[1]
“Berapa
kalian memberikan laba kepadaku?”
Mereka
menjawab, ”Dua dirham.”
Utsman
berkata, “Saya telah diberi lebih dari itu.”
Mereka
menaikan tawaran dengan berkata, “Empat dirham!”
“Saya
diberikan lebih banyak lagi.”
Mereka
berkata, “Lima dirham.”
Ia
menjawab, “Saya diberikan lebih dari itu.”
Mereka
lalu berkata, “Di Madinah tak ada lagi saudagar selain kami. Lalu siapa
gerangan orang yang membermu (laba sebesar itu)?”
Utsman
menjawab, “Sesungguhnya Allah memberiku di setiap dirhamnya sepuluh dirham.
Apakah kalian mempunyai tawaran yang lebih dari itu?”
Mereka
mengatakan, “Tidak.”
“Sekarang
saya bersumpah dengan nama Allah, saya jadikan apa yang dibawa oleh khalifah daganganku
ini sebagai sedekah karena Allah Swt bagi orang-orang fakir dan miskin.”[2]
Pada
kesempatan lain, dikisahkan bahwa Utsman bin Affan mempunyai piutang atas
Thalhah bin Ubaidillah sebanyak 50 ribu dirham. Suatu hari Utsman keluar menuju
mesjid. Thalhah berkata, “Uangmu telah siap (di rumah), maka ambillah!”
Utsman
berkata, “Sekarang uang itu menjadi milikmu wahai Abu Muhammad, sebagai bantuan
atas kebaikan akhlakmu.”
1. Nasab Keturunan
dan Kepribadian Utsman bin Affan
Nama lengkapnya adalah Utsman
bin Affan bin Abi Al-Ash bin Umayyah bin Abdusy Syams bin Abdu Manaf bin Qushai
bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luwa’i bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
an-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar
bin Ma’addu bin Adnan.[3] Lahir pada tahun 576 M,
enam tahun setelah penyerangan Kabah oleh pasukan bergajah atau enam tahun
setelah kelahiran Rasulullah SAW. Utsman bin Affan masuk Islam pada usia 30
tahun atas ajakan Abu Bakar. Ia dijuluki dzun
nurain, karena menikahi dua putri Rasulullah SAW, secara berurutan setelah
yang satu meninggal, yakni Ruqayyah dan Ummu Kulsum.[4]
Utsman berasal dari
strata sosial dan ekonomi tinggi yang yang pertama-tama memluk Islam. Ia
memiliki kepribadian yang baik, bahkan sebelum memeluk Islam, Utsman terkenal
dengan kejujuran dan integrasinya. Rasulullah Saw berkata, “Orang yang paling
penuh kasih sayang dari umatku kepada umatku adalah Abu Bakar, yang paling
gagah berani membela agama Allah adalah Umar, dan yang paling jujur dalam
kerendahan-hatinya adalah Utsman.”
Mengenai sifat rendah
hati ini, Rasulullah Saw berkata, “Bukanlah pantas saya merasa rendah hati
terhadap seseorang yang bahkan melihat pun berendah hati terhadapnya?”
Kepribadian Utsman
benar-benar merupakan gambaran dari akhlak yang baik menurut Islam (akhlakul
karimah). Ia jujur, dermawan, dan sangat baik hati. Rasulullah Saw mencintai
Utsman karena akhlaknya, mungkin itulah alas an mengapa beliau mengizinkan dua
anaknya untuk menjadi istri Utsman. Yang pertama adalah Riqayyah.[5]
Perkawinannya berlangsung
sebelum Nabi Muhammad SAW diutus sebagai rasul, Ruqayyah meninggal pada saat
berlangsungnya perang Badar. Inilah yang menyababkan dia tidak ikut serta dalam
Perang Badar karena harus merawat istrinya. Rasulullah kemudian menikahkannya
dengan putrinya yang lain, yaitu Ummu Kulsum.[6]
Khalifah
Utsman bin Affan ikut berhijrah bersama istrinya ke Abesinia dan termasuk
muhajir pertama ke Yatsrib. Ia termasuk orang yang saleh ritual dan sosial.
Siang hari ia gunakan untuk shaum dan malamnya untuk sholat. Ia sangat gemar
membaca Al-Quran, sehingga Khalid Muh Khaid menulis untuk sholat dua rakaat
saja, Utsman menghabiskan semalaman karena banyaknya ayat Al-Quran yang dibaca.
Kesalehan sosialnya terbukti dan membeli telaga milik Yahudi seharga 12.000
dirham dan menghibahkan kepada kaum muslimin pada saat hijrah ke Ytsrib.
Mewakafkan tanah seharga 15.000 dinar untuk perluasan Mesjid Nabawi.
Menyerahkan 940 ekor unta, 60 ekor kuda, 10.000 dinar untuk keperluan Jaisyul
Usrah pada Perang Tabuk. Setiap hari Jumat, Utsman bin Affan membebaskan
seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan. Pada masa paceklik, masa
pemerintahan Abu Bakar, Utsman menjual kebutuhan sehari-hari dengan harga yang
sangat murah, bahkan membagi-bagikannya kepada kaum muslimin. Utsman termasuk
orang yang sangat penyayang, sehingga pernah suatu pagi, ia tidak tega
membangunkan pelayannya untuk mengambil air wudu, padahal ia sedang sakit dan
sudah udzur.[7]
2.
Proses
Pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan
Sebelum
meninggal, ‘Umar telah memanggil tiga calon penggantinya, yaitu Utsman, ‘Ali,
dan Sa’ad bin Abi Waqqash. Dalam pertemuan dengan mereka secara bergantian,
Umar berpesan agar pegantiannya tidak mengangkat karabat sebagai pejabat.
Khalifah
Umar membentuk sebuah komisi yang terdiri dari enam orang calon, dengan
perintah memilih salah seorang dari mereka untuk diangkat menjadi khalifah
baru. Mereka ialah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash, dan Abdullah Ar-Rahman bin
Auf. Disamping itu Abdullah bin Umar ditambahkan menjadi anggota, tetapi ia
hanya mempunyai hak pilih, dan tidak berhak dipilih.[8]
Mekanisme
pemilihan khalifah ditentukan sebagai berikut: Pertama, yang berhak menjadi khalifah
adalah yang dipilih anggota formatur dengan suara terbanyak. Kedua, apabila suara terbagi secara
berimbang, Abdullah bin Umar yang berhak menentukannya. Ketiga, apabila campur tangan Abdullah bin Umar tidak diterima,
calon yang dipilih oleh Abd Ar-Rahman bin Auf harus diangkat menjadi khalifah.
Kalau masih ada yang menentangnya, penentang tersebut hendaklah dibunuh.
Anggota
yang khawatir dengan tata tertib pemilihan tersebut adalah Ali. Ia khawatir Abd
Ar-Rahman yang mempunyai kedudukan strategis ketika pemilihan tidak bisa
berlaku adil karena Utsman dan Abd Ar-Rahman terdapat hubungan kekerabatan. Akhirnya,
Ali meminta Abd Ar-Rahman berjani untuk berlaku adil, tidak memihak, tidak
mengikuti kemauan sendiri, tidak mengistimewakan keluarga, dan tidak
menyulitkan umat. Setelah Abd Ar-Rahman berjanji, Ali menyetujuinya.[9]
Melalui
persaingan yang agak ketat dengan Ali, sidang Syura akhirnya memberi mandat
kekhalifahan kepada Utsman bin Affan. Masa pemerintahannya adalah yang
terpanjang dari semua khalifah di zaman para Khalifah Rasyidah, yaitu 12 tahun,
tetapi sejarah mencatat tidak seluruh masa kekuasaannya menjadi saat yang baik
dan sukses baginya. Para penulis sejarah membagi zaman pemerintahan Utsman
menjadi dua periode, yaitu enam tahun pertama merupakan masa kejayaan
pemerintahannya dan tahun terakhir merupakan masa pemerintahan yang buruk.[10]
Dia
dilantik menjadi khalifah tiga hari setelah disemayamkannya Umar bin Khaththab.
Diriwayatkan bahwa orang-orang pada tiga hari itu mendatangi Abdur Rahman bin
Auf meminta nasehat dan pendapatnya. Saat itu tidak ada seorang pun yang
mengubah pendapatnya tentang Utsman.
Tatkala
Abdur Rahaman duduk untuk membai’at Utsman, dia mengucapkan puji syukur ke
hadirat Allah. Dalam ucapannya itu dia berkata, sesungguhnya saya melihat
manusia sama-sama menolak kecuali kepada Utsman. Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa Abdur Rahman bin Auf berkata, Amma Ba’du. Wahai Ali, sesungguhnya saya
telah melihat bagaimana sikap orang-orang. Dan saya tidak melihat bahwa mereka
mengubah pendapatnya tentang Utsman. Maka janganlah engkau membuat sesuatu.
Kemudian dia mengambil tangan Utsman dan berkata, sesungguhnya kami membai’atmu
dengan Sunnah Allah., Sunnah Rasulullah dan Sunnah kedua khalifah setelah
Rasulullah. Lalu Abdur Rahman membai’atnya dan diikuti oleh kaum Muhajirin dan
Anshar.[11]
3.
Perluasan
Islam pada Masa Utsman bin Affan
Khalifah
Utsman memirantah imperium Muslim selama kira-kira 12 tahun. Selama
kekhalifahannya, imperium Arab meluas di Asia dan Afrika. Pada permulaan
pemerintahnya terjadi suatu pemberontakan oleh orang-orang Persia yang dihasut
oleh Yazdagrid. Khalifah memadamkan pemberontakan itu, kemudian diikuti oleh
penyerbuan jenderal-jenderal Arab ke Heart, Kabul, Ghazani, dan Asia Tengah.
Wilayah-wilayah ini di serbu dan ketua suku Afganistan, Balkh, Turkestan, dan
Koresan dipaksa untuk mengakui kedaulatan kekhalifahan dan harus menyebar upeti
kepada Khalifah.[12]
Dalam bidang sosial budaya, Utsman bin Affan telah telah membangun bendungan
besar untuk mencegah banjir dan mengatur pembagian air ke kota. Membangun
jalan, jembatan, mesjid, rumah penginapa para tamu dalam berbagai bentuk, serta
memperluas Masjid Nabi di Madinah.[13]
Kekhaifahan
Utsman patut diingat terutama karena membangun angkatan laut Arabaya. Sebagai
Gubernur Siria, Muawiyah harus menghadapi serangan-serangan angkatan laut
Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk memukul mundur
penyerbuan-penyerbuan, dia merasakan perlunya suatu angkatan laut. Oleh karena
itu dia membangun suatu angkatan laut, dan dengan bantuannya dia berhasil
melawan penyerbu-penyerbu Romawi.
Bangsa
Romawi juga menyerang Mesir dari laut, dan pada tahun 646 M bahkan mereka
menduduki Alexsandria. Namun, Amar bin Ash memukul mundur mereka dan merebut
kembali pelabuhan itu. Sekali lagi pada tahun 651 M Romawi menyerbu Mesir,
dengan satu arnada yang besar. Pengganti Amar sebagai Gubernur Mesir Abdullah,
mengerahkan suatu satuan angkatan laut dan mengalahkan Romawi di dalam satu
pertempuran laut. Dengan demikian, bangsa Arab menancapkan keunggualan mereka
di laut.[14]
Karya
monumental Utsman lain yang dipersembahkan kepada umat Islam ialah penyusunan kitab suci Al-Quran.
Penyusunan Al-Quran dimaksudkan untuk mengakhiri perbedaan-perbedaan serius
dalam bacaan Al-Quran.[15] Utsman memutuskan untuk
menghilangkan perbedaan dan menghimpunkan versi yang benar dari Kitab Suci
Al-Quran. Maka dia menyusun satu dewan yang diketahui oleh Zaid bin Tsabit.
Dewan ini menghimpun Kitab Suci yang autentik, dan salinan yang terdapat pada Hafsah,
salah seorang istri Nabi, banyak memberi pertolongan dalam
perhimpunannya.mereka membuat beberapa salinan dari Kitab Suci yang sudah
disusun itu. Salinan-salinan itu dikirimkan ke berbagai wilayah imperium,
sisanya dibakar sehingga keautentikannya Kitab Suci Al-Quran dapat dipelihara.[16]
4.
Nepotisme
pada Masa Utsman bin Affan
Kelemahan
dan nipotisme telah membawa khalifahan ke puncak yang dituduh sebagai orang
yang mementingkan diri sendiri dan suka intrik menjadi sekretaris utamanya,
segera timbul mosi tidak percaya dari rakyat. Begitu pula penempatan Muawiyah, Walid
bin Uqbah dan Abdullah bin Sa’ad masing-masing sebagai gubernur Suriah, Irak,
dan Mesir, sangat tidak disukai oleh umum. Ditambah lagi tuduhan-tuduhan keras
bahwa kerabat khalifah memperoleh harta pribadi dengan mengorbankan kekayaan
umum dan tanah negara. Hakam ayah Marwan mendapatkan tanah Fadah, Marwan
sendiri menyalahgunakan harta baitul mal, Muawiyah mengambil alih tanah negara
Suriah dan Khalifah mengizinkan Abdullah untuk mengambil seperlima dari harta
rampasan perang Tripoli untuk dirinya dan lain-lain.
Situasi
politik di akhir masa pemerintahan Utsman benar-benar semakin mencekam. Bahkan
juga berbagai usaha yang bertujuan baik dan mempunyai alasan kuat untuk
kemaslahatan umat disalahpahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat.[17]
5.
Pertentangan
dan Perpecahan Umat
Rasa
tidak puas terhadap Khalifah Utsman menjalar. Di Kufa dan Basrah rakyat bangkit
menentang Gubernur-gubernur yang diangkat oleh Khalifah Utsman. Hasutan menjadi
lebih keras lagi di Mesir, tempat Abdullah bin Saba mendakwahkan hak Ali yang
sah bagi kekhalifahan. Dia berkata bahwa Khalifah Utsman tidak berhak merampas
kekhalifahan. Abdullah bahkan memperkenalkan pemikiran Yahudi tentang Mesiah
yang menyatakan bahwa Ali akan datang sebagai Mahdi, seorang penebus bagi dunia
setelah kematiannya. Ali mempunyai pengikut paling banyak di Mesir, dan
Thalhah, Zubair mempunyai pengikut paling banyak di Kufa dan Basrah.[18] Pemberontakan berhasil
mengusir gubernur yang diangkat khalifah, lalu mereka yang terdiri dari 600
orang Mesir itu berarakan-arakan menuju ke Madinah. Para pemberotak dari Basrah
dan Khufah bertemu dan menggabungkan diri dengan kelompok dari Mesir.[19]
Namun
keadaan ini semua tidak lepas dari adanya penghianatan dan kalajengking berbisa
yang tidak dapat diatasi kecuali dengan dibunuh. Dalam keadaan seperti ini,
muncul penghiant yang dengki, anak ular
hitam Yahudi dan salah satu ekornya yang namanya dalam beberapa referensi
dipanggil Ibnu As-Sauda Abdillah bin Saba Al-Yahudi, dri Yahudi Shana. Ibunya
berkulit hitam ibnu As-Sauda menampakkan
keislamannya pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, akan tetapi dia
kemudian menyembunyikan penghianatannya, lalu secara diam-diam berusaha
memengaruhi orang-orang Arab Baduwi dan orang-orang yang baru masuk Islam dari
berbagai daerah, padahal sebelumnya Islam telah menyucikan hati mereka secara
sempurna dari pemikiran jahiliyyah itu.
Penghiantan
ini kemudian mencuci otak mereka secara besar-besaran, memperdayakan kebodohan
mereka dan ketidakpahaman mereka terhadap agama yang lurus ini, serta
ketidaktahuan mereka terhadap nilai-nilai Al-Quran, dan kecondongan mereka
terhadap berbagai bentuk penyimpangan. Penghianat Yahudi ini terus menyusul api fitnah dan
tidak pernah diam hingga terbunuhnya Utsman bin Affan di tangan sekelompok
penghianat yang mengikuti jejak Abdullah bin Saba dan dilatih olehnya untuk
memusuhi Islam dan kaum muslimin.[20] Pembunuhan Khalifah
Utsman terjadi pada hari Tasyriq pada tahun 35 H. disebutkan bahwa Khalifah
Utsman dibunuh pada hari Jum’at, tanggal 18 Dzul Hijjah. Dia dikuburkan pada
malam Sabtu, antara Magrib dan Isya. Saat dibunuh Khalifah Utsman berusia delapan puluh dua
tahun.[21]
B.
Khalifah
Ali bin Abi Thalib
Dia
adalah khlaifah keempat dari Khulafaur Rasyidin. Ayahnya Abu Thalib, untuk
meringankan beban Abu Thalib yang kala itu mempunyai anak yang lumayan banyak.
Rasulullah Saw mengasuh Ali. Selanjutnya, Ali tinggal bersama di rumah beliau
dan mendapatkan pengajaran langsung dari beliau. Kesederhanaan,
kerendah-hatian, ketenangan, dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber
dari Al-Qur’an dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa di
antara para sahabat Rasulullah Saw yang lainnya. Kedekatan Ali dengan keluarga
Rasulullah Saw semakin erat ketika ia menikah dengan putrid bungsu Rasulullah
Saw.[22]
Ketika
Rasulullah Saw masih hidup, Ali bin Abi Thalib telah memberikan saham terbesar
demi tersebarnya Islam. Di antara sumbangan terbesar itu adalah kesediaannya
menggantikan Rasulullah Saw, tidur di kamarnya untuk mengelabui para pengepung
yang ingin membunuh Rasulullah. Dengan resiko apa pun, termasuk kemungkinan
dibunuh, ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu
Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari, dan selanjutnya
meneruskan hijrah ke Madinah.
Itu
bukan satu-satunya bukti keberanian Ali. Ketika Perang Badar akan meletus, kaum
Quraisy mengeluarkan tiga jagoan perangnya, yaitu Utbah bin Rabiah, Syaibah bin
Rabiah, dan Walid bin Utbah. Dengan segala keberaniannya, Ali bin Abi Thalib,
Ubaidah bin Harits, dan Hamzah bin Abdul Muthalib, maju ke medan laga untuk
menerima tantangan perang tanding dari pihak Quraisy itu. Dan, tanpa kesulitan
yang berarti ia berhasil membunuh Walid bin Utbah, musuhnya. Hamzah juga
berhasil membunuh Syaibah. Sedangkan, Ubaidah terputus kakinya disambar senjata
Utbah. Ali dan Hamzah segera melompat menyerang Utbah, sehingga ia tewas di
tangan dua jagoan Islam itu. Adapun Ubaidah hanya mampu bertahan sekitar empat
atau lima hari setelah Perang Badar. Ia pun syahid di daerah Shafra.[23]
Pada
masa khalifah Abu BAkar, Umar, dan Utsman, ia terus menyertai tiga khalifah itu
meneruskan dakwah Rasulullah. Ketika Utsman bin Affan syahid di tangan para
pembunuhnya, kursi kekhalifahan kosong selama dua atu tiga hari.[24]
1.
Nasab
Keturunan dan Kepribadian Ali bin Abi Thalib
Nama
lengkap beliau, Ali bin Abi Thalib bin Abdi Manaf bin Abdul Muththalib bin
Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah Abdul Hasan dan Husain,
digelari Abu Turab, keponakan sekaligus menantu Rasulullah SAW dari puteri
beliau, Fatimah az-Zahra R.A.[25] Khalifah keempat adalah
Ali bin Abi Thalib. Ai adalah sepupu Nabi SAW yang telah ikut bersamanya sejak
bahaya kelaparan mengancam kota Mekah, demi untuk membantu keluarga pamannya
yang mempunyai banyak putra. Abbas, paman Nabi yang lain membantu Abi Thalib
dengan memelihara Ja’far, anak Abu Thalib yang lain.[26] Ali bin Abi Thalib R.A
masuk Islam saat beliau berusia tujuh tahun, ada yang mengatakan delapan tahun,
dan ada pula yang mengatakan sepuluh tahun. Dikatakan bahwa beliau adalah orang
pertama masuk Islam. Namun yang shaih adalah beliau merupakan bocah yang
pertama kali masuk Islam.[27] Ia menemani Nabi dalam
perjuangan menegakkan Islam, baik di Mekah maupun di Madinah, dan ia diambil
menantu oleh Nabi SAW dengan menikahkannya dengan Fatimah, salah seorang puteri
Rasulullah, dan dari sisi inilah keturunan NAbi SAW berkelanjutan.[28]
Khalifah
Ali sangat menonjol, baik dalam menggunakn pedang maupun dalam menggunakan
pena. Sebagai seorang ulama dan seoarang orator (ahli pidato), Ali merukan orang yang paling ulung pada waktu
itu. Kata-katanya menjadi buah mulut karena kedalaman pemikiran dan
kebijaksanaannya. Dia dikenal sebagai gerbang ilmu pengetahuan. Disebabkan oleh
ilmu, kebijaksanaan dan kecerdasannya, nasehatnya sangat dihargai oleh Khalifah
Abu Bakar dan Umar, dan ia menempati kedudukan sebagai penasehat utama di dalam
kekhalifahan mereka.
Ali
adalah seekor singa dalam keberaniannya maupun kedermawanan dan keluhuran
budinya. Sederhana, terus terang, tulus hati, dan lapang dada, adalah
sifat-sifat Ali sehingga dia merupakan perwujudan dari semua kebijakan manusia.[29]
2.
Proses
Pengangkatan Ali bin Abi Thalib
Pengukuhan
Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang khalifah sebelumnya.
Ali dibai’at di tengah-tengah suasana berkabung atas meninggalnya Utsman,
pertentangan dan kekacauan, serta kebingungan umat Islam Madinah. Sebab, kaum
pemberontak yang membunuh Utsman mendaulat Ali supaya bersedia dibai’at menjadi
khalifah. Setelah Utsman terbunuh, kaum pemberontak mendatangi para sahabat
senior satu persatu yang ada dikota Madinah, seperti Ali bin Abi
Thalid,Thalhah, Zubair, Saad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar bin
Khaththab agar bersedia menjadi khalifah, namun mereka menolak. Akan tetapi,
baik kaum pemberontak maupun kaum Anshar dan Muhajirin lebih menginginkan Ali
menjadi khalifah. Ia didatangi beberapa kali oleh kelompok-kelompok tersebut agar
bersedia dibai’at menjadi khalifah. Namun, Ali menolak. Sebab, ia menghendaki
agar urusan itu diselesaikan melalui musyawarah dan mendapat persetujuan dari
sahabat-sahabat senior terkemuka. Akan tetapi, setelah masyarakat mengemukakan
bahwa umat Islam perlu segera mempunyai pemimpin agar tidak terjadi kekacauan
yang lebih besar, akhirnya Ali bersedia dibai’at menjadi khalifah.[30]
Ia
dibai’at oleh mayoritas rakyat dari Muhajirin dan Anshar serta para tokoh
sahabat, seperti Thalhah dan Zubair, tetapi ada beberapa orang sahabat
senior,seperti Abdullah bin Umar bin Khaththab, Muhammad bin Maslamah, Saad bin
Abi Waqqas, Hasan bin Tsabit, dan Abdullah bin Salam yang waktu itu berada di
Madinah tidak mau ikut membai’at Ali.
Ibnu
Umar dan Saad misalnya bersedia berbai’at kalau seluruh rakyat sudah berbai’at.
Mengenai Thalhah dan Zubair diriwayatkan, mereka berbai’at secara terpaksa.
Riwayat lain mengatakan mereka bersedia membai’at jika nanti mereka diangkat
menjadi gubernur di Kufah dan Basrah. Akan tetapi, riwayat lain menyatakan
bahwa Thalahah dan Zubair bersama kaum Anshar dan Muhajirinlah yang meminta
kepada Ali agar bersedia dibai’at menjadi khalifah. Mereka menyatakan bahwa
mereka tidak punya pilihan lain, kecuali memilih Ali.[31]
Sebagai
seoarang khalifah, Ali meneruskan cita-cita Abu Bakar dan Umar. Dia mau
mengikuti dengan tepat prinsip-prinsip baitul mal. Dia memutuskan untuk
mengembalikan ke dalam pembendaharaan Negara semua tanah yang diambil alih oleh
bani Umayah dan lain-lainya pada masa kekhalifahan Usman. Khalifah Ali juga
bertekad untuk mengganti semua gubernur yang tidak disenangi oleh rakyat.[32]
3.
Kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib
Yang
pertama dilakukan Khalifah Ali adalah menarik kembali semua tanah yang telah
dibagikan Khalifah Utsman kepada kaum kerabatnya kepada kepemilikan negara dan
mengganti semua gubernur yang tidak disenangi rakyat, di antaranya Ibnu Amir
penguasa Bashrah diganti Utsman bin Hanif, Gubernur Mesir yang dijabat oelh
Abdullah diganti oleh Qays, Gubernur Suriah, Muawiyah juga diminta untuk
meletakkan jabatan, tetapi menolak, bahkan ia tidak mengakui kekhalifahan Ali.
Pemerintahan
Khalifah Ali dapat dikatakan sebagai pemerintahan yang tidak stabil karena
adanya pemberontakan dari sekelompok kaum muslim sendiri. Pemberontakan pertama
datang dari Thalhah dan Zubair diikuti oleh Siti Aiyah yang kemudian menjadi
perang Jamal. Dikatakan demikian karena Siti
Aisyah pada waktu itu menggunakan unta dalam perang melawan Ali.
Pemberontakan yang kedua datang dari Muawiyah, yang menolak meletakkan jabatan,
bahkan menempatkan dirinya setingkat dengan khalifah walaupun ia hanya sebagai
gubernur Suriah, yang berakhir dengan Perang Shiffin.[33]
4.
Pertentangan
dan Perpecahan Umat
Oposisi
terhadap khalifah secara terang-terangan dimulai oleh Aisyah, Thalhah, dan
Zubair. Meskipun masing-masing mempunyai alasan pribadi sehubungan dengan
penentangan terhadap Ali mereka sepakat menuntut khalifah segera menghukum para
pembunuh Utsman. Tuntutan yang sama juga diajukan oleh Muawiyah, bahkan ia
memanfaatkan pristiwa berdarah itu untuk menjatuhkan legalitas kekuasaan Ali,
dengan membangkitkan kemarahan rakyat dan manuduh Ali sebagai orang yang
mendalangi pembunuhan Utsman, jika ali tidak menemukan dan menghukum pembunuh
yang sesungguhnya.
Akan
tetapi, tuntutan mereka tidak mungkin dikabulkan oleh Ali. Pertama, karena
tugas untuk yang mendesak dilakukan dalam situasi kritis yang penuh intimidasi
seperti saat ini ialah memulihkan ketertiban dan mengosolidasikan kedudukan
kekhalifahan. Kedua, menghukum para pembunuh bukanlah perkara mudah, Khalifah
Utsman tidak dibunuh oleh hanya satu orang, melainkan banyak orang dari Mesir,
Irak, dan Arab secara langsung terlibat dalam perbuatan makar tersebut.[34]
Disinilah
awal mula terjadinya beberapa pemberontakan pada masa Khalifah Ali. Pertama, pemberontakan Thalhah dan
Zubair, Thalahah dan Zubair mula-mula menerima Ali sebagai khalifah. Belakangan
mereka tidak mengakuinya karena Ali tidak menyetujui tuntutan mereka bahwa dia
harus segera menghukum para pembunuh Khalifah Utsman.
Karena
Khalifah Ali tidak menerima tuntutan mereka, Thalhah dan Zubair menarik sumpah
setia mereka dan pergi menuju Basrah karena mengaharapakan mereka akan
memperoleh banyak pengikut dikota itu. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan
Aisyah yang sedang dalam perjalanan pulang dari ibadah haji. Ketika menerima
kabar tentang pembunuhan khalifah Ustman, dia sangat terkejut. Setelah dia
mendengar bahwa khalifah Ali tidak menyetujui menghukum para pembunuh itu, dia
bergabung dengan Thalhah dan Zubair dan kembali ke Mekah bersama mereka. Mereka
pergi dari Mekah ke Basrah dan menawan Gubernur Ibnu Hanif. Kelompok Ali
dikaalahkan, dan Basrah jatuh ke tangan Thalhah dan Zubair.[35] Khalifah Ali sebenarnya
ingin menghindari pertikaian dan mengajukan kompromi kepada Thalhah dan
kawan-kawan, tetapi tampaknya penyelesaian damai sulit dicapai. Oleh karena
itu, kontak senjata tidak dapat dielakkan lagi. Tahlahah dan Zubair terbunuh
ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah dikembalikan ke Madinah.
Peperangan ini terkenal dengan nama “perang Jamal” (Perang Unta), yang terjadi
pada tahun 36 H, karena dalam pertempuran tersebut Aisyah, istri Nabi SAW
mengendarai Unta. Dalam pertempuran tersebut sebanyak 20.000 kaum muslim gugur.[36]Kedua, pemberontakan Muawiyyah, ketua Bani Umayah, yaitu Muawiyah
bin Abu Sufyan, Gubernur Siria, mengharapkan kekhalifahan, dan memanfaatkan
keadaan yang ditumbulkan oleh pembunuh Utsman, banyak orang Bani Umayah yang
pergi ke Siria dan bergabung dengan Muawiyah sehingga pada waktu penobatan Ali
sebagai khalifah, Muawiyah telah memimpin perhimpunan keluarga-keluarga Umayah
yang berjumlah beribu-ribu. Lebih lagi Muawiyah menguasai seluruh sumber yang
ada di provinsi yang luas dan subur itu. Dia juga mengumpulkan orang-orang Arab
Siria sebagai pendukungnya. Orang-orang ini menganggap bahwa dengan mendukung
tujuan Muawiyah, mereka akan memajukan kepentingan mereka sendiri. Oleh karena
itu Muawiyah mempunyai cukup orang dan uang untuk memperebutkan kekhalifahan
Ali.[37] Maka dengan dikuasainya
Syiria oleh Muawiyah, yang secara terbuka menentang Ali, dan penolakan atas
perintah meletakkan jabatan gubernur, memaksa khalifah Ali untuk bertindak.
Pertempuran sesama muslim terjadi lagi, yaitu antara angkatan perang Ali dan pasukan
Muawiyah di kota tua Siffin, dekat sungai Eufrat, pada tahun 37 H. Khalifah Ali
mengerahkan 50.000 pasukan untuk menghadapi Muawiyah. Sebenarnya pihak Muawiyah
terdesak kalah, 7.000 pasukannya terbunuh.[38]
5.
Peristiwa
Tahkim pada Masa Ali bin Abi Thalib
Konflik
politik antara Ali Ibn Abi Thalib dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan diakhiri
dengan tahkim. Dari pihak Ali Ibn Abi Thalib diutus seorang ulama yang terkenal
sangat jujur dan tidak cerdik dalam politik, yaitu Abu Musa Al-Asy’ari.
Sebaliknya, dari pihak. Muawiyah Ibn Abi Sufyan diutus seorang yang terkenal
sangat cerdik dalam berpolitik yaitu Amr ibn Ash.
Dalam
tahkim tersebut, pihak Ali Ibn Abi Thalib dirugikan oleh pihak Muawiyah Ibn Abu
Sufyan karena kecerdikan Amr Ibn Ash yang dapat mengalahkan Abu Musa
Al-Asy’ari. Pendukung Ali Ibn Abi Thalib kemudian terpecah menjadi dua, yaitu
kelompok pertama adalah mereka yang secara terpaksa menghadapi hasil tahkim dan
mereka tetap setia kepada Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan kelompok yang kedua
adalah kelompok yang menolak tahkim dan kecewa terhadap kepemimpinan Ali Ibn
Abi Thalib. Mereka menyatakan diri keluar dari pendukung Ali Ibn Abi Thalib
yang kemudian melakukan gerakan perlawanan terhadap semua pihak yang terlibat
dalam tahkim, termasuk Ali Ibn Abi Thalib.[39]
Penyelesain
melalui kompromi dengan Muawiyah itu sebenarnya merupakan kegagalan bagi Ali.
Berbagai kerusuhan yang harus dihadapi Ali sejak penobatannya menjadi Khalifah
terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan Muawiyah.
Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperolah kedudukan Ali dan
memperkuat kekuasan Muawiyah. Pemberontakan-pemberontakan terjadi pula
dibasrah, Mesir, dan Persia untuk mendapatkan kemerdekaan.[40]
Semua
kekacauan yang terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib juga tidak lepas
dari campur tangan penghiant-penghianat pada masanya, mereka menghalalkan
segala cara dan dengan kelicikkan-kelicikan yang dibuatnya guna menghancurkan
umat Islam pada masa itu.
Para
penghianat yang dipilih oleh Ibnu As-Sauda Aabdullah bin Saba yang telah
menyulut api fitnah itu, tidak puas dengan hanya membunuh Utsman bin Affan,
melainkan mereka ingin membunuh islam itu sendiri dan melenyapkannya. Demikian
yang dihiaskan oleh Ibnu As-Sauda Al Yahudi, Abdullah bin Saba, sebagaimana dia
menghiaskan pemikiran itu kepada dirinya dan diwahyukan oleh setannya. Ketika
para penghianat itu menjadi penyebab terbunuhnya Utsman bin Affandan mereka
mengira bahwa islam akan berakhir dengan terbunuhnya,mereka kemudian
mengumumkan kepada kaum muslimin agar pembunuh Utsman harus diburu dan dihukum.
Mereka kemudian menangis dengan tangisan air mata buaya dan berduka cita atas
terbunuhnya Utsmanbin Affan.
Kemarin
baru saja mereka mengklaim bahwa Utsman adalah pemimpin yang zhalim, berpihak
kepada kerabatnya, dan menganggap pencalonan Ali bin Abi Thalib untuk
menjadikan khalifah. Tetapi sekarang mereka menunjukkan sikap percaya kepada
Ustman untuk membuat goncangan dan menyulut api fitnah. Padahal Utsman bin
Affan telah di zhalimi dan dibunuh secara zhalim dan dianiaya. Bagaimana dia
dibunuh, sedangkan dia adalah khalifah bagi kaum muslim? Mengapa pencarian
terhadap si pembunuh tidak dilakukan secepatnya setelah terbunuhnya? Dan,
kejahatan apa yang dilakukan Utsman bin Affan, hingga dia dibunuh?dia adalah orang
yang lembut dan penyayang kepada rakyatnya. Dia juga simpati kepada rakyatnya
dan sangat berbakti kepadaorang-orang beriman. Tetapi, mengapa khalifah yang
miskin ini dibunuh? Dan, bagaiman pembunuhnya bisa hidup dan berkeliaran bebas
hingga saat ini. Bagaimanapun dia harus mendapat hukuman.
Para
pengikut yahudi Ibnu As-Sauda, Abdullah bin Saba, mereka seoalah-olah bukan
pelaku penyebaran fitnah dan menuduh orang lain yang melakukan pembunuhan.
Mereka lalu melakukan penghianatan berikutnya, mengatur perencanaan makar dan
memperdayakan Islam dan kaum muslim. Mereka menyebarkan fitnah yang ditujukan
kepada khalifah baru, Ali bin Abi Thalib dan menghasut orang-orang agar
melakukan apa yang pernah dilakukan kepada Utsman, karena Ali dianggap tidak
membela Utsman dan membiarkan pembunuhnya.[41]
Ali
bin Abi Thalib dibunuh pada malam Jum’at, tanggal 17 Ramadhan tahun keempat
puluh Hijriyah. Penghianatan yang menyebabkan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib
ini merupakan penghianatan yang tiada duanya. Ali termasuk golongan yang
pertama masuk Islam. Dia telah melawan kemusyrikan, kekufuran, dan
pembangkangan orang-orang Yahudi, serta berperang menghadapi diktator yang
memerangi Islam.[42]
Sebelum Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh dia sudah mengetahui bahwa dia
akan mati syahid, dan sesuai dengan hadist Rasulullah SAW yang menerangkan
tentang bahwasanya Khalifah Ali akan mati syahid terbunuh.[43]
C.
Kemajuan
Peradaban Pada Masa Khulafaur Rasyidin
Masa
kekuasaan khulafaur rasyidin yang dimulai sejak Abu Bakar Ash-Shiddiq hingga
Ali bin Abi Thalib, merupakan masa kekuasaan khalifah Islam yang berhasil dalam
mengembangkan wilayah Islam lebih luas. Nabi Muhammad Saw yang telah meletakkan
dasar agama Islam di Arab, setelah beliau wafat, gagasan dan ide-idenya
diteruskan oleh para khulafaur rasyidin. Pengembangan agama Islam yang
dilakukan pemerintah khulafaur rasyidin dalam waktu yang relative singkat telah
membuahkan hasil yang gilang-gemilang. Dari hanya wilayah Arabia, ekspansi
kekuasan Islam menembus ke luar Arabia memasuki wilayah-wilayah Afrika, Syiria,
Persia, bahkan menembus ke Bazantium dan Hindia.[44]
Ekspansi
ke negeri-negeri yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, dalam waktu tidak lebih
dari setengah abad merupakan kemenangan menakjubkan dari suatu bangsa yang
sebelumnya tidak pernah memiliki pengalaman politik yang memadai.
Ada
beberapa factor yang mengakibatkan ekspansi itu demikian cepat, antara lain
sebagai berikut:[45]
1. Islam,
di samping merupakan ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, juga
Agama yang mementingkan soal pembentukan masyarakat.
2. Dalam
dada para sahabat Nabi Saw tertanam keyainan yang sangat kuat tentang kewajiban
menyerukan ajaran-ajaran Islam (dakwah) ke seluruh penjuru dunia. Disamping
itu, suku-suku bangsa Arab gemar berperang. Semangat dakwah dan kegemaran
berperang tersebut membentuk satu kesatuan yang terpadu dalam diri umat Islam.
3. Bizantium
dan Persia, dua kekuatan yang menguasai Timur Tengah pada waktu itu mulai
memasuki masa kemunduran dan kelemahan, baik karena sering terjadi peperangan
antara keduanya maupun karena persoalan-persoalan dalam negeri masing-masing.
4. Pertentangan
aliran agama di wilayah Bizanium mengakibatkan hiangnya kemerdekaan beragama
bagi rakyat. Rakyat tidak senang karena pihak kerajaan memaksakan alirannya
yang dianutnya. Mereka juga tidak senang karena pajak yang tinggi untuk biaya
peperangan untuk melawan Persia.
5. Islam
datang kedaerah-kedaerah yang dimasukinya dengan sikap simpatik dan toleran,
tidak memaksa rakyat untuk mengubah agamanya dan masuk Islam.
6. Bangsa
Sami di Syiria dan Palestina, dan bangsa Hami di Mesir memandang bangsa Arab
lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa, Bizantium, yang memerintah
mereka.
7. Mesir,
Syiria, dan Irak adalah daerah-daerah yang kaya. Kekayaan itu membantu penguasa
Islam untuk membiayai ekspansi ke daerah yang lebih jauh.
Pada
masa kekuasaan para khulafaur rasyidin, banyak kemajuan peradaban telah
dicapai. Di antaranya adalah munculnya gerakan pemikiran dalam Islam. Di antara
gerakan pemikiran yang menonjol pada masa khulafaur rasyidin adalah sebagai
berikut.
1. Menjaga
keutuhan Al-Qur’an Al-Karim dan mengumpukannya dalam bentuk mushaf pada masa
Abu Bakar.
2. Memberlakukan
mushaf standar pada masa Utsman bin Affan.
3. Keseriusan
mereka untuk mencari serta mengajarkan ilmu dan memerangi kebodohan berislam
para penduduk negeri. Oleh sebab itu, para shabat pada masa Utsman dikirim ke
berbagai pelosok untuk menyiarkan Islam. Mereka mengajarkan Al-Qur’an dan
As-Sunnah kepada banyak penduduk negeri yang sudah dibuka.
4. Sebagian
orang yang tidak senang kepada Islam, terutama dari pihak orientalis abad ke-19
banyak yang mempelajari fenomena futuha
al-islamiyah[46]
dan menafsirkannya dengan motif bendawi.
Mereka mengatakan bahwa futuhat adalah
perang dengan motif ekonomi, yaitu mencari dan mengeruk kekayaan negeri yang
ditundukan. Interpretasi ini tidak sesuai dengan kenyataan sejarah yang
berbicara bahwa berperangnya sahabat adalah karena iman yang bersemayamnya di
dada mereka.
5. Islam
pada masa awal tidak mengenal pemisahan antara dakwah dan negara, antara da’i
maupun panglima. Tidak dikenal orang yang berprofesi khusus sebagai da’i. para
khalifah adalah penguasa, imam sholat, mengadili orang yang berselisih, da’I,
dan juga panglima perang.[47]
Di
samping itu, dala hal peradaban juga terbentuk organisasi negara atau
lembaga-lembaga yang dimiliki pemerintahan kaum muslimin sebagai pendukung
kemaslahatan kaum muslimin. Organisasi negara tersebut telah dibina lebih
sempurna, telah dijadikan sebagai suatu nizam
yang mempunyai alat-alat perlengkapan dan lembaga-lembaga menurut ukuran
zamanya telah cukup baik.[48]
Dr.
Hasan Ibrahim dalam bukunya “Tarikh
Al-Islam As-Siyasi”, menjelasakan bahwa organisasi-organisasi atau
lembaga-lembaga negara yang ada pada masa khulafaur rasyidin, diantaranya
sebagai berikut.[49]
1. Lembaga
Politik
Termasuk dalam lembaga
politik khlaifah (jabatan kepala
negara), wizarah (kementerian
negara), dan kitabah (sekertaris
negara).
2. Lembaga
Tata Usaha Negara
Termasuk dalam urusan
lembaga tata usaha negara, Idaratul qalim
(pengelolaan pemerintah daerah) dan diwan
(pengurus departemen) seperti diwan
kharaj (kantor urusan keuangan), diwan
rasail (kantor urusan arsip), diwanul
barid (kantor urusan pos), diwanul
syurthah (kantor urusan kepolisian) dan departemen lainya.
3. Lembaga
Keuangan Negara
Termasuk dalam lembaga
keuangan negara adalah urusan-urusan keuangan dalam masalah ketentaraan, baik
angkatan perang maupun angkatan laut, serta perlengkapan dan persenjataanya.
4. Lembaga
Kehakiman Negara
Termasuk dalam lembaga kehakiman
negara, urusan-urusan mengenai Qadhi (pengadilan
negeri), Madhalim (pengadilan
banding), dan Hisabah (pengadilan
perkara yang bersifat lurus dan terkadang juga perkara pidana yang memerlukan
pengurusan segera).
Peristiwa-Peristiwa Penting Pada Masa
Khulafaur Rasyidin[50]
Tahun
|
Peristiwa
|
Masa Kekuasan
Khalifah &
Masa Berkuasa
|
11
H
|
Rasulullah
Saw wafat (Rabiul Awal)
|
Abu
Bakar Ash-Shidiq
632-634
M
|
12
H
|
Perang
Riddah
|
|
13
H
|
Perang
Yarmuk
|
|
13
H
|
Abu
Bakar Wafat (Jumadil Akhir)
|
|
14 H
|
Penaklukan
Damaskus
|
Umar
bin Khaththab
634-644
M
|
15 H
|
Perang
Qadisiyah
|
|
17 H
|
Penaklukan
Persia
|
|
20 H
|
Penaklukan
Mesir
|
|
21 H
|
Perang
Nahawand
|
|
23 H
|
Penaklukan
Khurasan, Persia
|
|
27 H
|
Penaklukan
Tarablusi dan Afrika
|
Utsman
bin Affan
644-656
M
|
28 H
|
Penaklukan
Cyprus
|
|
31 H
|
Perang
Dzatu Sawari
|
|
32 H
|
Khurasan
kembali ditaklukan
|
|
35 H
|
Utsman
wafat
|
|
36
H
|
Perang
Jamal
|
Ali bin
Abi Thalib
656-661
M
|
37
H
|
Perang
Siffin dan Tahkim
|
|
38
H
|
Perang
Nahawand
|
|
41
H
|
Ali bin
Abi Thalib wafat
|
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paparan di atas tentu memerlukan beberapa
kesimpulan untuk dapat menangkap inti dari pembahasannya, oleh karena itu
penulis menyimpulkan bahwa:
Terbentuknya khilafah Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib dimulai ketika wafatnya khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
khalifah Umar. Asas musyawarah merupakan landasan yang digunakan dalam
setiap pergantian khalifah sebagaimana yang telah diajarkan oleh Nabi. Namun
Nabi tidak menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin dan bagaimana tata cara
pemilihan setelahnya. Demikian juga pada pengangkatan khalifah Utsman dan
khalifah Ali, semuanya didahului oleh perselisihan dan pada akhirnya
terpilihnya mereka yang terpilih setelah melalui musyawarah dengan model yang
berbeda-beda.
Kebangkitan Islam dengan meluasnya wilayah
kekuasaan pada masa khalifah ar-rasyidah merupakan indikasi atas kuatnya
politik Islam saat itu. Melanjutkan perjuangan Umar membuat pembaruan dalam
sistem pemerintahannya. Utsman melakukan perluasan sebagaimana yang dilakukan
Umar dan membentuk angkatan laut pertama dalam Islam. Pada era Ali, politik
Islam lebih menfokuskan pada penyelesaian-penyelesaian urusan dalam negeri dari
pada melakukan perluasan wilayah.
Fitnah mulai terjadi saat Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib memimpin kekhalifahan. Tuduhan terhadap Utsman melakukan nepotisme
karena mengangkat kerabatnya pada jabatan tinggi negara. Ketika Utsman terbunuh
maka pertentangan antarkelompok pun tak terelakkan sehingga mengakibatkan
pecahnya peperangan dan pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin. Peperangan
saudara pada masa khalifah Ali ini pun terjadi dikarenakan adudomba yang sangat
licik dan keji yang dilakukan oleh kaum Yahudi.
B.
Kritik dan
saran
Kami
sebagai manusia yang ingin menjadi diri sendiri dan pribadi yang lebih baik
menyadari akan kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri kami sebagai manusia
biasa. Oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah
ini untuk memberikan sumbangsih berupa kritik dan saran bagi penulis demi
menjadi diri yang lebih baik dan demi penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat
bermanfaat bagi siapa saja. Amin.
[1]Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, (Cet. I; Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2008).
[3]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah, terj. Abu Ihsan
al-Atsari, Al-Bidayah Wan Nihayah Masa
Khulafa’ur Rasyidin, (Cet. III; Jakarta: Darul Haq, 2006).
[4]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008).
[6]Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa’ Sejarah Para Penguasa Islam,
(Cet. IV; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005).
[7]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[8]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Cet. III;
Jakarta: Amzah, 2013).
[10]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[11]As-Suyuthi, Tarikh Khulafa, terj. Samson Rahman, Tarikh Khulafa.
[12]Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Cet. IV;
Bandung: PT Remaja Rodakarya, 2005).
[13]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[14]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[15]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[17]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[18]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[19]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[20]Syikh Sa’ad Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat Al-Tarikh Al-Islami,
ter. Muhyiddin Mas Rida, Penghianat-Penghianat
dalam Sejarah Islam, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2009).
[21]Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sirah Amir Al-Muminin Utsman Ibn Affan
Syakhshiyatuh Wa A’shruh, (Beirut: Dar El-Marefah, 2006).
[25]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, terj. Abu Ihsan, Al-Bidayah.
[26]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[27]Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib, terj. Abu Ihsan, Al-Bidayah.
[28]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[29]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[30]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, hlm. 93.
[32]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[33]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[34]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[35]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[36]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[37]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[38]Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam.
[39]Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam.
[40]Mahmudunnasir, Islam Konsepsi.
[41]Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat, ter. Muhyiddin, Penghianat-Penghianat.
[42]Karim Al-Fiqi, Khiyanaat Hazzat, ter. Muhyiddin, Penghianat-Penghianat.
[43]Ali Muhammad Ash-Shalabi, Sirah Amir Al-Muminin Ali Ibn Abi Thalib
Syakhshiyatuh Wa A’shruh, (Beirut: Dar El-Marefah, 2006).
[45]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000).
[46]Futuhat
Al-Islamiyah, adalah
penaklukan-penaklukan negeri atau wilayah non Islam oleh pasukan kaum muslimin.
[47]Wahyu Ilahi dan Harjani Hefni, Pengantar Sejarah Dakwah, (Rahmat
Semesta dan Kencana, 2007).
[48]A. Hasymi, Dustur Da’wah menurut Alquran, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984).
[50]Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam sejak Zaman Nabi Adam Hingga
Abad XX, (Jakarta: Akbar, 2006).
(Sumber Gambar: https://www.google.co.id/search?q=PERADABAN+ISLAM+PADA+MASA+KHULAFAUR+RASYIDIN+III-IV&espv=2&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjptPXb8pXTAhVBM48KHd5FDV8Q_AUIBigB&biw=1366&bih=613#imgrc=YSrfs4BlvZeCaM:)
0 Comments