Pendekatan Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah

"PENDEKATAN M. QURAISH SHIHAB DALAM

TAFSIR AL-MISHBAH"

Studi Al-Qur’an


Disusun Oleh:
Muhammad Miftah Arief


Tafsir Al-Mishbah
(i)

2015



KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah Swt karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah tulisan berjudul Pendekatan M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Mishbah.”
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan  tulisan ini. Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar, oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga tulisan ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.

Batu,         2015

Penulis

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi tidak dibiarkan begitu saja. Dia memberi petunjuk berupa kitab-kitab samawi melalui para Nabi dan Rasul-Nya untuk dijadikan sebagai pegangan hidupnya. Allah SWT menganugerahkan akal pikiran kepada manusia sebagai kunci untuk memperoleh petunjuk terhadap segala hal.[1]
Di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang telah menganjurkan dan mendorong umat manusia agar mempergunakan akal pikirannya untuk menemukan rahasia-rahasia Allah yang ada di alam fana ini.[2] Dengan menggunakan akal pikiran diharapkan ilmu pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui dan masih tersembunyi akan dapat terkuak, yang pada akhirnya dapat dikembangkan guna kepentingan masyarakat luas.[3]
Tafsir adalah penjelasan al-Quran. Bagi orang asing, al-Qur-an perlu diperjelas supaya dapat dicerna, apakah itu dari tejemahan, atau penjelasan. Terjemahan atau penjelasan sendiri tergolong dalam tafsir. Di Indonesia khususnya, tidak semua masyarakat Islam dapat memahami ayat al-Quran secara langsung, perlu adanya terjemahan resmi dan standar, dalam hal ini, telah dilakukan dan distandarkan oleh Departemen Agama. Jauh dari itu, banyak para pemikir ke-Islaman di Indonesia, juga menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, seperti Hamka, Hasbi ash-Shiddiqi, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan disini.
Quraish Shihab adalah pemikir kontemporer yang masih hidup dan eksis, yang mengkidmatkan dirinya untuk Islam. Di antara usaha itu adalah dia ikut dalam tim penerjemah al-Quran Departemen Agama, selain memiliki al-Quran terjemahan pribadi. Dia juga menafsirkan al-Quran secara lengkap, tiga puluh juz, dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Nama tafsir Quraish Shihab itu adalah Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Tafsir ini terdiri dari lima belas volume, dan menafsirkan al-Quran secara lengkap, tiga puluh juz al-Quran.

Tafsir Quraish Shihab ini sangat berpengaruh di Indonesia. Bukan hanya menggunakan corak baru dalam penafsiran, yang berbeda dengan pendahulunya, beliau juga menyesuaikan dengan konteks ke-Indonesiaan. Sesuai dengan namanya, al-Mishbah yang berarti penerang, lampu, lentera, atau sumber cahaya. Penulis tafsir Quraish Shihab, berharap dengan tafsirnya ini masyarakat Indonesia akan tercerahkan, dan memiliki pandangan baru yang positif terhadap al-Quran dan Islam.
Tafsir al-Mishbah telah dicetak berulang kali, di antaranya dicetak oleh Penerbit Lentera Hati di Ciputat pada tahun 2009, dengan edisi lux dan dengan tampilan yang membuat pembaca tertarik untuk membacanya.
Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsir yang ditulis oleh Quraish Shihab ditujukan agar tafsir tersebut berfungsi serupa dengan makna Misbah yang berarti lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi sebagai penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Sehingga ia berharap tafsir yang ditulisnya dapat memberikan penerangan dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’an secara langsung karena kendala bahasa.
Tafsir al-Misbah adalah karya monumental Muhammad Quraish Shihab dan diterbitkan oleh Lentera Hati. Tafsir al-Misbah diselesaikan selama kurang lebih empat tahun oleh penulisnya. M. Quraish Shihab memulai menulis di Kairo, Mesir pada hari Jum’at 4 Rabi’ul Awal 1420 H/18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta Jum’at 8 Rajab 1423 H/5 September 2003.[4]
Niat awal menulisnya secara sederhana bahkan merencanakan tidak lebih dari tiga volume, namun kenikmatan ruhani justru lebih dirasakan ketika ia semakin mengkaji, membaca dan menulis tafsirnya hingga tanpa terasa karya ini mencapai lima belas volume. Satu hal yang membuat hati Quraish Shihab tergugah dan membulatkan tekad dalam penyusunan kitab tafsirnya adalah ketika di Mesir ia menerima salah satu surat yang ditulis oleh orang tak dikenal dan menyatakan bahwa: “Kami menunggu karya ilmiah pak Quraish yang lebih serius.”[5]
Berdasarkan pemaparan di atas maka pada makalah ini akan menjelaskan tentang latar belakang penulis tafsir dan sedikit isi kandungan yang berhubungan  di dalam Tafsir al-Mishbah.
B.     Rumusan Masalah
            1.      Bagaimana metodologi yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah?
            2.      Bagaiamana corak penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah?
            3.      Apa kekurangan dan kelebihan Tafsir al-Mishbah?
C.    Tujuan
            1.      Untuk mengetahui metode yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah.
            2.      Untuk mengetahui corak penafsiran yang digunakan dalam Tafsir al-Mishbah.
            3.      Untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan Tafsir al-Misbah.

BAB II
PEMBAHASAN

Prof. KH. Abdurrahman Sihab mempunyai cara tersendiri untuk mengenalkan putra-putrinya tentang Islam, yaitu beliau sering sekali mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat inilah beliau menyampaikan petuah-petuah keagamaannya. Banyak petuah yang kemudian oleh Quraish Shihab ditelaah sehingga beliau mengetahui petuah itu berasal dari al-Qur’an, Nabi, Sahabat atau pakar al-Qur’an yang sampai saat ini menjadi sesuatu yang membimbingnya.
Petuah-petuah tersebut menumbuhkan benih kecintaan terhadap tafsir di jiwanya. Maka ketika belajar di Universitas al-Azhar Mesir, dia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan melanjutkan studinya di jurusan tafsir, walaupun kesempatan emas dari berbagai jurusan di fakultas lain terbuka untuknya.[7]
Quraish Shihab sama seperti anak-anak yang lain, ia juga mengenyam pendidikan. Pendidikan dasarnya, ia selesaikan di Ujung Pandang, selanjutnya, Quraish Shihab belajar di pendidikan menengahnya di Malang. Tidak hanya itu, dia juga ‘nyantri’ di Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah.[8] Quraish Shihab berangkat ke Kairo Mesir pada tahun 1958, dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-Azhar. Selama sepuluh tahun lebih dia belajar di negeri pyramid itu. Ia belajar di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar dengan mengambil jurusan Tafsir-Hadis. Pada tahun 1967 ia lulus Sarjana setingkat S1 bergelar Lc dan dua tahun kemudian lulus S2 bergelar MA dengan tesis berjudul Al-I’jaz at-Tasyri li al-Qur’an al-Karim (Kemukjizatan al-Quranul Karim dari segi Hukum).[9]
Berdasarkan dari pemaparan diatas sudah bisa ditelaah bahwa memang tidak bisa dipungkiri kecinta Quraish Shihab terhadap al-Qur’an, hal ini bisa dilihat dari kecilnya beliau sudah dibumbui dengan ilmu-ilmu agama oleh seorang ayah yang juga termasuk ulama yang menguasai bidang tafsir, yang tentu saja hal tersebut menjadi menular ke Quraish Shihab, selain pendidikan dari ruang lingkup keluarga, juga bisa dilihat dari pendidikan beliau dari begron pondok pesantren yang ini tentunya menyebabkan lebih mengkokohkan diri seorang Quraish Shihab dalam bidang agama itu sendiri, ditambah lagi pada pendidikan beliau di perguruan tinggi yang mengambil jurusan Tafsir Hadis.
Kepulangannya ke Indonesia setelah membawa pulang gelar S2 ini, oleh ayahnya Quraish Shihab ditarik sebagai Dosen IAIN Alauddin Makasar, kemudian mendampingi ayahnya sebagai wakil rektor (1972-1980). Semasa mendampingi ayahnya yang berusia lanjut, ia menjabat sebagai Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (Kopertis) wilayah VII Indonesia Timur.
Pada tahun 1980, ia kembali ke Mesir untuk mengambil gelar doktor di almamaternya, Universitas al-Azhar. Dua tahun kemudian ia berhasil lulus doktor untuk bidang ilmu tafsir al-Qur’an dengan disertasinya yang berjudul Namz ad-Dural li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian Terhadap Kitab Durar (Rangkuman Mutiara) Karya al-Biqa’i), serta predikat Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syarif al-‘Ula (Summa Cum Laude prestasi istimewa).[10]
Pengabdiannya di bidang pendidikan mengantarkannya menjadi Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 1992-1998. Kiprahnya tak terbatas di lapangan akademis. Beliau menjabat sebagai sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (Pusat), 1985-1998; anggota MPR-RI 1982-2002; dan pada 1998; dipercaya menjadi Menteri Agama RI. Beliau juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif. Lebih dari 20 buku telah lahir dari tangannya.[11]
B.     Karya-karya M. Qurasih Shihab
Quraish Shihab dengan keilmuan yang dimilikinya telah menghasilkan banyak karya ilmiah berupa buku, artikel, maupun kumpulan artikel yang dihimpun menjadi buku.[12] Namun diantara sekian karya tersebut dalam makalah ini  penulis hanya mencantumkan beberapa karya dibidang ilmu Tafsir:
            Sebagai ulama yang produktif, Quraish Shihab memiliki banyak karya, sebagai berikut:
1.      Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang, IAIN Alauddin, 1984);
2.      Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998);
3.      Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999);
4.      Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999);
5.      Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999);
6.      Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
7.      Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Abdi Bangsa);
8.      Fatwa-fatwa (4 Jilid, Bandung: Mizan, 1999);
9.      Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987);
10.  Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987);
11.  Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI & Unesco, 1990);
12.  Kedudukan Wanita Dalam Islam (Departeman Agama);
13.  Membumikan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1994);
14.  Lentera Hati (Bandung: Mizan, 1994);
15.  Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
16.  Wawasan al-Qur'an (Bandung: Mizan, 1996);
17.  Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997);
18.  Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati, 1999);
19.  Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000);
20.  Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an (15 Jilid, Jakarta: Lentera Hati, 2003);
21.  Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
22.  Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan Di balik Setiap Fenomena (Jakarta: Lentera Hati, 2004);
23.  Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
24.  Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005);
25.  Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
26.  Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
27.  Wawasana al-Qur'an; Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera Hati, 2006);
28.  Asma' al-Husna; Dalam Perspektif al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
29.  Al-Lubab; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fatihah dan Juz 'Amma (Jakarta: Lentera Hati);
30.  40 Hadits Qudsi Pilihan (Jakarta: Lentera Hati);
31.  Berbisnis dengan Allah; Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia Akhirat (Jakarta: Lentera Hati);
32.  Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah Swt. (Jakarta: Lentera Hati);
33.  M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
34.  M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati);
35.  Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Jin dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
36.  Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Malaikat dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
37.  Seri yang Halus dan Tak Terlihat; Setan dalam al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati);
38.  Al-Qur'an dan Maknanya (Jakarta: Lentera Hati);
39.  Membumikan al-Qur'an Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati).
Karya-karya Quraish Shihab diatas merupakan hanya sebagian kecil yang bisa disebutkan di makalh ini dan tentunya masih banyak lagi karya-karya Quraish Shihab yang  tidak bisa disebuatkan satu persatu semuanya disini. Dari karya-karya Quraish Shihab yang disebutkan diatas itu merupakan suatu bukti bahawa keilmuan seorang mufasir Indonesia ini tidak bisa diragukan lagi keilmuannya.
C.    Faktor yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialis di Bidang Tafsir Al-Qur’an dan Pemikiran Tafsirnya
1.      Kondisi Sosial yang Mempengaruhi Quraish Shihab Memilih Spesialisasi di Bidang Tafsir al-Qur’an
Kondisi yang mempengaruhi Quraish Shihab sehingga beliau memilih spesialisasi di bidang tafsir al-Qur’an antara lain adalah: Pertama, kedudukan orang tuanya yang menyertai masa-masa awal kehidupannya, sehingga menumbuhkan kecintaan sang anak pada kajian al-Qur’an.[13] Kedua, faktor yang mempengaruhi pemikirannya adalah faktor pendidikan. Disamping orang tuanya yang ahli tafsir, sebagaimana disebutkan  di atas, faktor pendidikan Shihab juga banyak mempengaruhi terhadap pemikirannya di bidang tafsir. Setelah beliau mempelajari dasar-dasar agama dari orang tuanya, Shihab dikirim untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang sambil “nyantri” di pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyah, selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan tingginya di Mesir. Ketika di Mesir tepatnya di Universitas al-Azhar Shihab memasuki fakultas Ushuluddin Strata satu (S1) Jurusan Tafsir Hadits, selanjutnya Strata dua (S2) dan Strata tiga (S3) juga beliau selesaikan di Mesir pada Jurusan yang sama.[14]
2.      Pemikiran Quraish Shihab di Bidang Tafsir
Dalam Diskursus ‘Ulum al-Qur’an, tafsir menurut Quraish Shihab berfungsi sebagai anak kunci untuk membuka khazanah al-Qur’an, yang berarrti sebuah pintu tertutup dan sulit untuk dibuka tanpa kuncinya. Dengan demikian, alangkah penting dan tingginya kedudukan tafsir tersebut. Setidaknya ada tiga alasan yang ia kemukakan yang membuat dan menentukan tingginya (signifikasi) tafsir, yaitu:
a.       Bahwa bidang yang menjadi kajiannya adalah kalam Ilahi yang merupakan sumber segala ilmu keagamaan dan keutamaan.
b.      Tujuannya adalah untuk mendorong manusia berpegang teguh dengan al-Qur’an dalam usahanya memperoleh kebahagiaan sejati.
c.       Dilihat dari kebutuhan pun sangat nampak bahwa kesempurnaan mengenai bermacam-macam persoalan kehidupan  ini ilmu syari’at dan pengetahuan mengenai seluk beluk agama. Hal ini sangat tergantung pada ilmu pengetahuan tentang al-Qur’an.[15]
Penjelasan diatas dipertegas Quraish Shihab didalam bukunya yang berjudul “Lentera Al-Qur’an Kisah Dan Hikmah Kehidupan”, beliau mengambil sebuah kisah dan bisa diambil I’tibar dari kisah Rasulullah Saw tersebut tentang pentingnya menghayati kandungan al-Qur’an. Quraish Shihab memberi judul bab pada bukunya itu adalah Al-Qur’an Jamuan Tuhan.
Suatu malam Rasulullah Saw bangkit mengambil wudhu dan sholat dengan membaca al-Qur’an, sambil menangis sampai membasahi (ikat) pinggangnya. Selesai sholat, beliau duduk memuji Allah SWT, air matanya masih bercucuran sehingga membasahi pula lantai tempat duduknya. Selanjutnya tidak bisa Rasul terlambat ke mesjid untuk sholat (sebelum) subuh, maka kemudian shabat Nabi mendatanginya yaitu Bilal, pada waktu itu Rasulullah Saw dalam keadaan menangis. Maka bilal bertanya “Mengapa engkau menangis wahai Rasul? Bukankah Allah telah mengampuni dosamu?” tanya Bilal.[16]
Maka Rasulullah menjawab, “betapa aku tidak menangis. Semalam telah turun kepada ku wahyu:
QS. Ali Imran: 190-191.

Artinya:     Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata:) Ya Tuhan kami, tidaklah engkau menciptakan ini dengan sia-sia, maha suci Engkau, peliharalah kami dari siksa neraka.[17]
Rasul Saw kemudian berkata kepada Bilal, “Rugilah yang membacanya tapi tidak menghayati kandungannya.”[18]
Pemaparan Quraish Shihab tentang I’tibar kisah diatas sejalan dengan wahyu pertama turun yaitu Iqr’a, bila ditelaah lebih lanjut pengertian dari Iqr’a itu bukan hanya disuruh membaca saja. Tetapi didalmnya memiliki kandungan yaitu pikirkan, mencari tau, menyimpulakan, memahami dengan seksama dan detail. Ini artinya al-Qur’an itu memiliki makna yang dalam, pemahaman yang luas dalam kehidupan didunia, atau bisa dikatakan al-Qur’an merupakan sebuah petunjuk yang sangat luar biasa dalam mengarungi kehidupan didunia ini banyak d idalamnya yang bisa diambil sebuah pelajaran dan nasehat.
D.    Gambaran Umum Tafsir al-Misbah
Tafsir al-Qur’an adalah penjelasan tentang maksud firman-firman Allah sesuai kemampuan manusia. Kemampuan itu bertingkat-tingkat, sehingga apa yang dicerna atau diperoleh oleh seseorang penafsir dari al- Qur’an bertingkat-tingkat pula.
Karena itu, bila seorang penafsir membaca al-Qur’an maka maknanya dapat menjadi jelas dihadapannya. Tetapi bila ia membacanya sekali lagi dapat menemukan lagi makna-makna lain yang berbeda dengan makna sebelumnya. Demikian seterusnya, hingga boleh jadi ia dapat menemukan kata atau kalimat yang mempunyai makna bebeda-beda yang semuanya benar atau mungkin benar. “Ayat” al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lainnya, dan tidak mustahil jika kita mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat banyak dibandingkan apa yang kita lihat,” demikian lebih kurang tulis Abdullah Darraz dalam bukunya an-Naba’ al-‘Azhim.[19]
Pada awal abad ke-20 M, kemudian bermunculan beragam literatur tafsir yang mulai ditulis oleh kalangan Muslim Indonesia. Diantara nama yang memberikan sumbangsih besar kepada perkembangan tafsir di Indonesia di akhir abad ini adalah Muhammad Quraish Shihab, seorang cendikiawan muslim, mufassir kontemporer yang telah melahirkan beberapa karya tafsirnya seperti Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an (Tafsir Tematik), Tafsir surah-surah pendek, Tafsir al-Amanah (Tafsir Tahlili).[20]
Mengawali Millenium ketiga, M. Quraish Shihab kembali menunjukkan dirinya sebagai manusia langka di Indonesia. Hanya selang satu tahun sesudah ia melahirkan karyanya “yang tersembunyi” kini ia kembali menghidangkan sebuah karya besar yang berjudul “Tafsir al- Misbah, Pesan, Kesan, Keserasian al-Qur’an” kepada masyarakat pembacanya.[21] Buku ini ditulis M. quraish Shihab di Kairo, Mesir, pada hari jum’at 4 Rabi’ul awal 1420 H atau 18 Juni 1999 M dan selesai di Jakarta pada tanggal 8 Rajab 1423 H bertepatan dengan 5 September 2000 M yang diterbitkan oleh penerbit Lentera Hati di bawah pimpinan putrinya Najla Shihab.[22]
Sebagai Mufassir terkemuka di Indonesia dewasa ini, M. Quraish Shihab tidak menulis karya-karyanya berdasarkan selera dan keinginannya semata melainkan ia selalu berangkat dari kebutuhan masyarakat pembacanya. Ibarat sebuah perusahaan, ia senantiasa memproduksi barang-barang komoditasnya berdasarkan atas dan sesuai dengan analisis dan kebutuhan pasar. Ketika akan menulis tafsir al-Misbah ini dalam “analisis pasar” yang dilakukan ia melihat begitu dangkalnya pemahaman masyarakat terhadap kandungan al-Qur’an. Menurutnya, hal ini ditandai dengan banyaknya kaum Muslimin yang hanya membaca surah-surah tertentu seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, ar-Rahman dan lain-lain tanpa mengetahui kandungannya.[23] Bahkan banyak diantara mereka yang membaca surah-surah tersebut bukan karena terdorong oleh keinginan untuk mengetahui pesan-pesannya akan tetapi lebih terdorong oleh motivasi yang lain seperti membaca al-Waqi’ah untuk mempermudah datangnya rezeqi.
Disamping itu, sebagaimana pengamatan M. Quraish Shihab, pemahaman yang keliru tentang al-Qur’an tidak hanya terjadi dikalangan orang awam. Akan tetapi juga masih terjadi dikalangan terpelajar bahkan orang-orang yang berkecimpung dalam studi Islam sekali pun. Kekeliruan yang terjadi pada kelompok yang kedua ini biasanya karena melihat al- Qur’an berdasarkan metode Ilmiah pada umumnya.[24] Maka dari itu anggapan yang sring muncul bahwa al-Qur’an tidak sistematis di dalam menyajikan informasi-informasinya. Kiranya kedua bentuk inilah yang mendorong M. Quraish Shihab untuk menulis tafsir al-Misbah.
Karena itu di dalam karyanya ini, hal yang lebih diutamakan adalah penjelasan tentang tema pokok surah dan keserasian antara ayar-ayat dengan ayat yang lain dan atau antara surah dengan surah.
Para ulama yang menekuni Ilmu Munasabat al-Qur’an/keserasian hubungan bagian-bagian al-Qur’an, mengemukakan bahkan membuktikan keserasian dimaksud, paling tidak dalam enam hal:[25]
1.      Keserasian kata demi kata dalam satu surah.
2.      Keserasian kandungan ayat dengan fashilat yakni penutup ayat.
3.      Keserasian hubungan ayat dengan ayat berikutnya.
4.      Keserasian uraian awal (mukadimah) satu surah dengan penutupnya.
5.      Keserasian penutup dengan uraian awal (mukadimah) surah  sesudahnya.
6.      Keserasian tema surah dengan nama surah.
Tafsir al-Misbah adalah sebuah tafsir al-Qur’an lengkap 30 Juz pertama dalam kurun waktu 30 tahun terakhir yang ditulis oleh ahli tafsir terkemuka Indonesia: M. Quraish Shihab, yang terdiri dari 15 volume buku dengan mengulas tuntas ayat-ayat al-Qur’an. Tafsir al-Mishbah ini sebuah karya yang hebat yang beliau persembahkan pada masyarakat Indonesia dimana penjelasannya sangat lugas dan mudah dicerna, sehingga al-Qur’an dapat benar-benar berfungsi sebagai Petunjuk, Pemisah antara yang haq dan batil, serta jalan keluar setiap problema kehidupan yang dihadapi.
Adapun spesifikasi buku tersebut adalah:
1.      Tafsir al-Misbah Vol 1   surat al-Fatihah s/d al-Baqarah
2.      Tafsir al-Misbah Vol 2   surat ali-Imran s/d an-Nisa’
3.      Tafsir al-Misbah Vol 3   surat al-Maidah
4.      Tafsir al-Misbah Vol 4   surat al-An’am
5.      Tafsir al-Misbah Vol 5   surat al-A’raf s/d at-Taubah
6.      Tafsir al-Misbah Vol 6   surat Yunus s/d ar-Ra’d
7.      Tafsir al-Misbah Vol 7   surat Ibrahim s/d al-Isra’
8.      Tafsir al-Misbah Vol 8   surat al-Kahfi s/d al-Anbiya
9.      Tafsir al-Misbah Vol 9   surat al-Hajj s/d al-Furqan
10.  Tafsir al-Misbah Vol 10 surat asy-syu’ara s/d al-Ankabut
11.  Tafsir al-Misbah Vol 11 surat ar-rum s/d Yaasin
12.  Tafsir al-Misbah Vol 12 surat ash-Shaffat s/d az-Zukhruf
13.  Tafsir al-Misbah Vol 13 surat ad-Dukhan s/d al-Walqi’ah
14.  Tafsir al-Misbah Vol 14 surat al-Hadid s/d al-Mursalat
15.  Tafsir al-Misbah Vol 15 Juz ‘Amma
E.  Sistematika Penulisan, Metode, dan Corak Tafsir Al-Mishbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an)
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur’an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul dari pada pakar al-Qur’an yang lain. Dalam menulis tafsirnya, Shihab menyusun dengan susunan mushafi, yakni mulai dari surat al-Fatihah hingga surat al-Nas. Hal ini berbeda dengan penyusunan tafsir al-Qur’an yang ditulis sebelumnya. Pada tahun 1997, penerbit Pustaka Al-Hidayah menerbitkan karya tafsirnya yang berjudul “Tafsir al-Qur’an al-Karim”, yang menguraikan 24 surah al-Qur’an yang tersusun berdasakan turunnya ayat (nuzuly), kecuali surah al-Fatihah, Shihab tetap meletakkannnya pada awal pembahasan. Pada saat penulisan tafsir ini, Shihab menilai penulisan tafsir dengan susunan surat sebagaimana diturunkannya, dapat mengantarkan pembaca mengetahui sistematika petunjuk ilahi yang diberikan  kepada Nabi Muhammad dan umatnya.[26]
Dalam tafsir al-Misbah, M. Quraish Shihab menafsirkan al-Qur’an berdasarkan sumber-sumber sebagai berikut:
1.      Dengan penjelasan al-Qur’an sendiri, sebab menafsirkan al-Qur’an dengan dengan menggunakan al-Qur’an sendiri merupakan langkah penafsiran yang paling baik, hal ini mengingat kenyataan bahwa apa yang dijelaskan secara mujmal dalam suatu ayat bisa jadi dijelaskan secara panjang lebar pada ayat yang lain.
2.      Mengambil keterangan dari sunnah Nabi SAW. Karena sunnah merupakan sumber paling penting yang dibutuhkan Mufassir dalam memahami makna dan hukum yang terdapat dalam surah atau ayat.
3.      Mengambil keterangan dari sahabat karena mereka adalah saksi bagi kondisi turunnya wahyu al-Qur’an.
4.  Menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab, karena al-Qur’an adalah firman Allah yang di manifestikan dalam bahasa Arab.
5.   Menafsirkan maksud dari kalam dan tujuan syara’. Artinya, dalam menafsirkan al- Qur’an, M Quraish Shihab mendasarkan penafsirannya pada apa yang dikehendaki oleh syara’, seperti yang ditunjukkan oleh makna kalam.[27]
Dalam sekapur sirih volume 1 Quraish Shihab menuturkan bahwa apa yang dihidangkan di Tafsir Al Mishbah bukan sepenuhnya ijtihadnya sendiri. Namun merupakan gabungan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (w. 885 H/1480) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip dan menjadi bahan disertasi Quraish Shihab di Universitas al-Azhar, Kairo dua puluh tahun lalu. Tak terlewatkan pula karya tafsir Pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Tanthawi, Syeikh Mutawlli asy-Sya’rawi dan tidak ketinggalan Sayyid Quthb, Muhammad Thohir Ibn ‘Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’I serta beberapa pakar tafsir lain.[28]
1.      Sistematik Penulisan Tafsir al-Misbah
Dalam menulis tafsirnya, Quraish Shihab menyusun dengan susunan mushafi, yakni mulai dari surat al-Fatihah hingga surat an-Nas. Hal ini berbeda dengan penyusunan tafsir al-Qur’an yang ditulis sebelumnya. Pada tahun 1997, penerbit Pustaka Al-Hidayah menerbitkan karya tafsirnya yang berjudul “Tafsir al-Qur’an al-Karim”, yang menguraikan 24 surah al-Qur’an yang tersusun berdasakan turunnya ayat (nuzuly), kecuali surah al-Fatihah, Quraish Shihab tetap meletakkannnya pada awal pembahasan. Pada saat penulisan tafsir ini, Quraish Shihab menilai penulisan tafsir dengan susunan surat sebagaimana diturunkannya, dapat mengantarkan pembaca mengetahui sistematika petunjuk ilahi yang diberikan  kepada Nabi Muhammad dan umatnya.[29]
Dilihat dari isi tafsir al-Mishbah dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa Quraish Shihab mengklasifikasikannya setiap surah dengan beberapa kelompok, seperti surat al-Fatihah terdiri dari 2 kelompok; kelompok I terdiri dari ayat 1-4 sedangkan sisanya ada di kelompok II, bahkan surah al-Baqarah dikelompokkan menjadi 23 kelompok. Pembagian kelompok ini berdasarkan sub tema yang dibahas pada setiap surah. Shihab meyakini bahwa ayat-ayat dalam suatu surah tertentu berintegrasi dan saling menguatkan sehingga mengkrucut menjadi satu tema pembahasan.
Dalam penafsirannya, Quraish Shihab memperjelas makna-makna yang dikandung oleh satu ayat dengan  menunjukkan betapa serasi hubungan antar kata dan kalimat-kalimat yang satu dengan lainnya. Dia menafsirkan al-Qur’an menggunakan penyisipan-penyisipan kata dan atau kalimat. Quraish Shihab menganggap hal ini perlu dilakukan karena gaya bahasa al-Qur’an cenderung ijaz (penyingkatan) dari pada itnab (memperpanjang kata). Banyak sekali redaksi ayat-ayat al-Qur’an menggunakan apa yang dikenal ihtibak yakni menghapus satu kata atau kalimat karena telah ada pada redaksinya, kata atau kalimat yang dapat menunjuk kepadanya. Selain itu penggunaan bentuk kata-kata tertentu dalam al-Qur’an sering kali mengandung makna yang tidak dapat ditampung kecuali dengan penyisipan-penyisipan. Quraish Shihab menjelaskan penafsirannya dengan memisahkan terjemahan makna al-Qur’an dengan sisipan tafsirnya melalui penulisan terjemah maknanya dengan italic letter  (tulisan miring) dan sisipan maknanya atau maknanya dengan tulisan normal.[30] Namun sebelum menafsirkan, Quraish Shihab selalu memberikan prolog di awal pembahasan surah. Prolog itu berisi tentang jenis surah (makkiyah atau madaniyah), sejarah penurunan, jumlah ayat, tema pembahasan surah dan terkadang juga menjelaskan alasan penamaan surah terkait.
Berikut selanjutnya akan diberikan contoh dari sistematika penulisan, pada volume 4 yaitu berisikan dua surah yaitu al-A’raf dan al-Anfal. Tapi contoh yang diberikan hanya awal pembukaan dari surah al-A’raf saja.
Pada awal pembahasan tentang surah al-A’raf Quraish Shihab sedikit menerangkat jumlah ayat dan arti dari surah, (Surah al-A’raf terdiri dari 206 ayat, kata al-A’raf yang berarti “Tempat Tertinggi” diambil dari ayat 46). Selanjutnya diterangkan lebih detail (Surah al-A’raf adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad Saw berhijrah ke Mekkah. Ia terdiri dari 206 ayat, keseluruhannya turun di Mekkah. Ada sementara ulama mengecualikan ayat-ayat 163-170, tetapi pengecualian ini diniali lemah. Nama al-A’raf telah dikenal semenjak masa Nabi saw. Pakar hadist, an-Nasa’I, meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zaid ibn Tsabit berkata kepada Marwan ibn al-Hakam: “Mengapa saya anda membaca surah-surah pendek pada waktu magrib, sedangkan saya melihat Rasulullah saw. Membaca yang terpanjang dari dua surah yang panjang? “Marwan bertanya: “Apakah surah terpanjang dari dua yang pamjang?” Urwah menjawab: “al-A’raf”. Aisyah ra, juga meriwayatkan bahwa Rasul saw membaca surah al-A’raf ketika sholat magrib. Beliau membagai bacaannya dalam dua rakaat. (HR. an-Nasa’i). Penamaan surah ini dengan al-A’raf karena kata tersebut terdapat dalam surahnya dan ia merupakan kata satu-satunya dalam al-Qur’an. Surah ini ada juga yang memperkenalkannya dengan nama Alif Lam Shad karena ia merupakan ayatnya yang pertama. Kendati demikian, kita tidak dapat menganggap huruf-huruf tersebut atau selainnya yang terdapat pada awal sekian surah al-Qur’an sebagai nama-nama surah itu. Tidak diperoleh informasi akurat tentang masa turunnya surah ini; yang disepakati adalah bahwa ia turun di Mekkah, dan agaknya setelah berlalu sekian lama dari risalah Nabi Muhammad saw. Ini karena para ulama menyatakkan bahwa surah-surah yang pendeklah yang terlebih dahulu turun dalam priode mekkah itu. Kandungan surat ini merupakan princian dari sekian banyak persoalan yang diuraikan oleh surah al-An’am, khususnya menyangkut kisah beberapa nabi. Al-Biqa’I berpendapat bahwa tujuan utamanya adalah peringatan terhadap yang berpaling dari ajakan yang disampaikan oleh surah al-An’am, yakni ajakan kepada Tauhid, kebijakan dan kesetian pada janji, serta ancaman terhadap siksa duniawi dan ukhrawi. Bukti yang terkuat menyangkut tujuan tersebut tulis al-Biqa’I adalah nama surah ini “al-A’raf. Menurut al-Biqa’i, al-A’raf adalah tempat yang tinggi di surga. Memercayai al-A’raf mengantar seseorang berada di tempat yang tinggi itu, di mana ia dapat mengamati surga dan neraka dan mengetahui hakikat apa yang terdapat di sana).[31]
2.      Metode Penafsiran dalam Tafsir al-Mishbah
Jika melihat sistematika penulisan dari Tafsir al-Mishbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode yang dipakainya dalam menafsirkan adalah tafsir al-Misbah ini M. Quraish Shihab menggunakan metode Tahlili (urai).[32] Sebuah bentuk karya tafsir yang berusaha untuk mengungkap kandungan al-Qur’an dari berbagai aspeknya. Ayat-ayat didalam al-Qur’an selanjutnya memberikan penjelasan-penjelasan tentang kosakata makna global ayat; korelasi Asbabu al-Nuzul dan hal-hal yang dianggap dapat membantu untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an.[33]
Metode tahlili (analitis), dimana Baqir Shadr[34] menyebutkannya dengan metode tajzi’iy, yaitu suatu metode penafsiran dimana mufasirnya berusaha menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an dari berbagai seginya dengan memperhatikan runtutan ayat-ayat dan surat-surat al-Qur’an sebagaiman yang tercantum dalam mushaf Utsmani dengan menafsirkan ayat demi ayat kemudian surat demi surat dari awal surat al-Fatihah sampai akhir surat an-Nas.[35]
Menurut Quraih Shihab, metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani. Langkah-langkah yang dilakukan mufasir menerangkan munasabah baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun satu surat dengan surat yang lain, menjelaskan asbab al-Nuzul, menganalisi kosakata, memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menerangkan unsur fasahah, bayan, menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas khususnya ayat ahkam. Sebagai sandarannya mufassir mengambil manfa’at dari ayat lain, hadis Nabi, pendapat shabat atau tabi’in di samping ijtihad mufassir sendiri.[36]
Menyoroti lebih dalam tentang metode Tahlili, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa yang menjadi ciri metode ini bukan mentafsirkan al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhirnya (al-Fatihah sampai an-Nas), melainkan terletak cirinya pada pola dari pembahasan serta analisisnya. Dan pengertian metode ini sejalan dengan metode yang diterapkan Quraish Shihab pada Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Adapun kelebihan metode ini adalah, mempunyai ruang lingkup yang luas, memuat berbagai ide dari mufasir-mufasir yang mentafsirkan al-Qur’an.
Quraish Shihab memberikan arti kosakata dari setiap ayat kemudian menjelaskan makna ayat dilihat dari seluruh aspeknya, menguraikan asbab al-nuzul, memaparkan munasabah (persamaan) antar ayat bahkan antar surat. Namun dia tetap berpijak pada asumsi bahwa ayat-ayat yang ditafsirkan dalam terintegrasi dalam satu tema. Hal ini yang membedakan metode tahlili  yang digunakan Quraish Shihab dengan metode tahlili yang digunakan mufassir terdahulu, yang cenderung memaparkan seluruh ayat tanpa mengkategorisasikan dalam tema-tema tertentu.
Pemaparan diatas menjelaskan tentang metode tafsir al-Mishbah, maka selanjutnya disini akan diberikan sedikit contoh gambaran isi dari tafsir al-Mishbah. Hal ini agar bisa dilihat lebih jelas lagi apakah sejalan dengan pemaparan diatas dengan isi dari tafsir al-Mishbah.
Pada volume 1 tafsir al-Mishbah berisikan dua surah yaitu al-Fatihah dan al-Baqarah, contoh yang akan diberikan hanya sebagian dari surah al-Fatihah saja. Surah al-Fatihah ini dibagi Quraish Shihab menjadi 2 kelompok, kelompok pertama dari Basmalah sampai ayat ke 4 dan kelompok ke kedua dari ayat ke 5 sampai ke 7.
Ayat 1
"Dengan nama Allah Yang Rahman dan Rahim."
Ayat pertama Surat Al Fatihah lebih dikenal dengan sebutan lafadz Basmalah. Basmalah merupakan pesan pertama Allah kepada manusia yakni pesan agar manusia memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allah, sebagaimana wahyu pertama Allah kepada Nabi-Nya ‘Iqra’ Bismi Rabbika’.[37]
Dalam lafadz Basmalah terdapat huruf "ب" pada lafadz "بسم"  yang diterjemahkan “ dengan “, meski tidak terucap tetapi harus terlintas dalam benak kita ketika mengucap Basmalah terdapat artian “memulai”, sehingga Bismillah berarti “ saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan sebagai sebuah perintah dari Allah yang menyatakan “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allah“ (meskipun kalimat tersebut bukan dalam bentuk amar). Dengan menyisipkan kata “memulai” memiliki semangat menjadikan Allah sebagai pangkalan bertolak.[38]
Lafadz Ar-Rahman ar-Rahim terambil dari akar kata yang sama, yakni rahim yang berarti “peranakan”. Dengan menyebut rahim yang terukir dalam benak adalah “ibu dan anak” dan saat itu pula terbayang betapa besar kasih sayang yang diberikan ibu kepada anaknya. Meski demikian bukan berarti rahmat Allah sepadan dengan sifat rahmat seorang ibu, betapapun besarnya kasih sayang ibu, sebab rahmat Allah melampau segalanya.
Dengan kata ar-Rahman digambarkan bahwa Allah mencurahkan rahmat-Nya, sementara ar-Rahim dinyatakan bahwa Dia memiliki sifat rahmat yang melekat pada diri-Nya. Kata Ar-Rahman juga dipahami sebagai sifat Allah yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedang ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk, tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dan kafir. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan dinikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya.[39]
Ayat 2
“Segala puji hanya bagi Allah pemelihara seluruh alam.”
Dalam Basmalah terkandung pujian kepada Allah., antara lain dalam menampilkan kedua sifat-Nya, ar-Rahman dan ar-Rahim. Karena itu wajar jika pada ayat ini ditegaskan bahwa segala puji bagi Allah, apalagi karena Dia adalah Pemelihara seluruh alam. Memuji Allah swt, adalah luapan rasa syukur yang memenuhi jiwa seorang mukmin di kala mendengan nama-Nya disebut. Karena, keberadaan seseorang sejak semula di pentas bumi ini tidak lain kecuali limpahan nikmat Ilahi yang mengandung rasa syukur dan pujian.
Lafazd حمد yang didahului huruf alif dan lam dalam kaidah arabiah dinamai al-istighraq  yang berarti mencakup segala sesuatu. Karena itu, kalimat al-hamdulillah sering diterjemahkan dengan segala puji bagi Allah. 
Hamd atau pujian adalah ucapan yang ditujukan kepada yang dipuji atas sikap atau perbuatannya yang baik walaupun ia tidak memberi sesuatu kepada yang memuji.[40]
Sementara dalam kalimat الحمد لله, huruf lam yang mengikuti kata lafdzul jalalah mengindikasikan arti pengkhususan bagi-Nya. Dengan demikian segala pujian hanya wajar dipersembahkan kepada Allah SWT.
Kalimat Robbul 'aalamin, merupakan keterangan lebih lanjut tentang layaknya segala pujian hanya diperuntukkan kepada Allah. Betapa tidak, Dia adalah Robb dari seluruh alam. Dengan ada penegasan bahwa Allah adalah Rabbul A’lamin membuat manusia menjadi tenang sebab segala sesuatu kebutuhan manusia telah dipersiapkan Allah.[41]

"Ar-Rahman Ar-Rahim."
Pemeliharaan tidak dapat terlaksana dengan baik dan sempurna kecuali bila disertai dengan rahmat dan kasih sayang. Ayat ketiga ini tidak dapat dianggap sebagai pengulangan sebagian kandungan nayat pertama (Basmalah). Kalimat ar-Rahman dan ar-Rahim dalam ayat ketiga ini bertujuan menjelaskan bahwa pendidikan dan pemeliharaan Allah, sebagaimana disebutkan pada ayat kedua, sama sekali bukan untuk kepentingan Allah atau sesuatu pamrih seperti halnya seseorang atau perusahaan yang menyekolahkan karyawannya. Pendidikan dan pemeliharaan tersebut semata-mata karena rahmat dan kasih sayang Tuhan yang dicurahkan kepada makhluk-makhluk-Nya.[42]
Oleh karena itu, ayat ini sebagai penegasan dari sifat Allah yang rabbul’alamin. Pemeliharaan-Nya terhadap seluruh alam itu bukan atas dasar kesewenangan-wenangan semata, tetapi diliputi oleh rahmat dan kasih sayang. Dengan disebutkan sifat Ar-Rahman Ar-Rahim memberi kesan bahwa keabsolutan Allah bergabung dengan kesan rahmat dan kasih sayang. Ini mengantarkan pada keyakinan bahwa Allah Maha Agung lagi Maha Indah, Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.
Ayat 4
"Pemilik hari pembalasan."
Ada dua bacaan populer menyangkut ayat ini yaitu (ملك) Malik yang berarti Raja, dan (مالكِ) Maliki yang berarti  pemilik. Ayat keempat surah ini dapat dibaca dengan kedua bacaan itu, dan keduanya adalah bacaan Nabi saw. Berdasar riwayat-riwayat yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya (mutawatir).[43]
Sifat ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari kepemilikan dan kakuasaan. Karena itu kapemilikan dan kakuasaan yang dimaksud perlu ditegaskan. Maka Yaumuddin merupakan penegasan dari kepemilikan dan kekuasaan Allah. Keyakinan tentang adanya hari pembalasan memberi arti bagi hidup ini. Tanpa keyakinan itu, semua akan diukur disini dan sekarang yakni di dunia. Padahal banyak nilai-nilai yang tidak bisa diukur dengan disini dan sekarang. Adanya hari pembalasan juga memberikan ketenangan terhadap manusia, sebab Allah sebagai pemilik dan penguasa tunggal akan membalaskan setiap perbuatan. 
3.      Corak Tafsir al-Mishbah
Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab ini lebih cenderung bercorak sastra budaya dan kemasyarakatan (Adabul ijtima’i). Corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti. Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.[44]
Corak tafsir ini merupakan corak baru yang menarik pembaca dan menumbuhkan kecintaan kepada al-Qur’an serta memotifasi untuk menggali makna al-Qur’an.[45] Menurut Muhammad Husein al-Dzahabi, bahwa corak penafsiran ini terlepas dari kekurangannya berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemu’jizatan al-Qur’an, menjelaskan makna yang dituju oleh al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, membantu memecahkan segala problem yang dihadapi umat islam khususnya dan umat manusia pada umumnya melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an untuk mendapatkan keselamatan di dunia dan di akhirat, serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an dengan teori- teori ilmiah yang benar. Di dalam al-Qur’an juga berusaha menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah kitab suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhdap al-Qur’an dengan argument kuat yang mampu menangkis segala kebatilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.[46]
Untuk corak tafsir al-Mishbah ini akan diberikan contoh pada surah al-Furqan volume 9 dan kelompok 7. Pada kelompok 7 ini terdiri dari ayat 63-77, contoh yang akan dijelaskan pada contoh corak ini lebih tepatnya pada ayat yang berbunyi (ÙŠَمشُونَ عَلىَ الأَرضِ Ù‡َوناً).

“Dan hamba-hamba ar-Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan lemah lembut dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka berucap salam.”
Kata (هوناَ) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indifinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan. Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (ÙŠَمشُونَ عَلىَ الأَرضِ Ù‡َوناً) yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Dalam konteks cara jalan, Nabi saw. mengingatkan agar seseorang tidak berjalan dengan angkuh, membusungkan dada. Namun, ketika beliau melihat seseorang berjalan menuju arena perang dengan penuh semangat dan terkesan angkuh, beliau bersabda: “Sungguh cara jalan ini dibenci oleh Allah, kecuali dalam situasi (perang) ini.” (HR. Muslim).[47]
Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.
Penggalan ayat ini bukan berarti anjuran untuk berjalan perlahan atau larangan tergesa-gesa. Karena Nabi Muhammad saw, dilukiskan sebagai yang berjalan dengan gesit penuh semangat, bagaikan turun dari dataran tinggi.[48]
Penjabaran dari tafsir al-Mishbah yang sudah diterangkan diatas dari biografi pengarang, gambaran umum tafsir al-Mishbah, sistematik penulisan, metode dan corak pikir, memang sebenarnya penulis menyadari bahwa ini belum bisa mewakili dari isi tafsir al-Misbah itu sendiri, dikarenakan tafsir al-Misbah ini adalah suatu karangan yang sangat luar biasa, begitu juga pengarangnya yaitu Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab yang sangat luar biasa dan tidak diragukan lagi keilmuanya.
Penulis mencoba sedikit memberikan analisis dan menyimpulkan bahwa, dari keterangan di atas dapat dilihat metodologi tafsir al-Mishbah dari segi tertib dan sasaran ayat yang ditafsirkan, metode yang digunakan memang adalah metode tahlili. Yaitu adalah salah satu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Quraish Shihab memberikan arti kosakata dari setiap ayat kemudian menjelaskan makna ayat dilihat dari seluruh aspeknya, menguraikan sebab turunya, memaparkan antar ayat bahkan antar surat. Namun Qurais Shihab tetap berpijak pada asumsi bahwa ayat-ayat yang ditafsirkan terintegrasi dalam satu tema. Hal ini yang membedakan metode tahlili yang digunakan Quraish Shihab dengan metode Tahili yang digunakan mufassir terdahulu, yang cenderung memaparkan seluruh ayat tanpa mengkategorisasikan dalam tema-tema tertentu.
Adapun metodologi yang digunakan dalam tafsir al-Misbah, dilihat dari sumber penafsiran menurut penulis Quraish Shihab menggunakan metode al-iqtiran. Yaitu metode yang memadukan  antara sumber bi al-ma’thur dan bi al-ra’yi, yaitu cara menafsirkan al-Qur’an yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsir riwayah yang kuat dan sahih dengan sumber hasil ijtihad pikiran yang sehat.
Selanjutnya kalau dilihat dari cara penjelasan tafsir al-Mishbah, menurut penulis Quraish Shihab menggunakan metode muqarin, yakni suatu metode yang mengemukakan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang ditulis oleh sejumlah mufassir. Dalam hal ini Quraish Shihab begitu tampak dalam mengadopsi sejumlah pemikiran para mufassir sebelumnya, sebelum mengemukakan pendapatnya sendiri, atau terkadang dia hanya memilihkan pendapat ulama tertentu untuk diikuti oleh pembaca tanpa mengemukakan pemikirannya. Nama-nama yang seringkali disebut oleh Quraish Shihab dalam penafsirannya adalah Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i, Mahmud Shaltut, Sayyid Qutub, Syekh Muhammad al-Madani, Muhammad Hijazi, Ahmad Badawi, Muhammad Ali Sabuni, Muhammad Sayyid T{ant}awi, Mutawalli as-Sha’rawi dan lain-lain. Dari sekian nama, ulama’ yang paling sering disebut dan pendapatnya seringkali dikemukakan ole shihab adalah al-Biqa’i. Dia menilai ulama’ inilah yang paling berhasil dalam mengupayakan pembuktian terhadap keserasian hubungan-hubungan bagian al-Qur’an.[49]
Sedangkan penulis meliahat dalam keluasan penjelasan tafsir al-Mishbah, Quraish Shihab menguraikannya secara bertahap dengan penyampaian secara global (ijmali) terlebih dahulu, kemudian menguraikannya secara rinci atau tafsili. Penyampaian secara ijmali tampak terlihat pada saaat beliau menguraikan arti ayat-ayat al-Qur’an, perkata dan atau per kalimat sambil menyisipkan penjelasan diantara arti-arti kata sebagaimana pernah disebutkan di atas. Penjelasan secara rinci begitu tampak ketika setelah menjelakan ayat secara global, Quraish Shihab menjelaskan secara detail perkalimat dan bahkan memberikan makna dengan detail terhadap kata-kata yang dianggap perlu.
F.     Keunggulan Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an
Tafsir al-Misbah merupakan karya besar yang tidak asing lagi bagi kaum muslimin Indonesia, utamanya mereka yang menaruh minat besar pada bidang Tafsir. Kita patut berterima kasih pada penulis tafsir ini yang telah bersusah payah melahirkan al-Misbah sehingga mendorong kemajuan disiplin ilmu al-Qur’an di tanah air Indonesia. Penulis memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia makna ayat- ayat Allah SWT.
Sudah diketahui bersama bahwa tidak ada satu kitab tafsir pun yang sempurna dalam semua aspek baik metode, sistematika, atau yang lainnya yang mampu menampilkan pesan Allah secara lengkap. Umumnya kelebihan dan kekurangan kitab tafsir dalam suatu aspek akan menyebabkan kitab tafsir tersebut memiliki kekurangan pada aspek lainnya. Tafsir ini menggunakan corak sastra budaya yaitu membahas fenomena-fenomena kontemporer misalnya masalah ilmu pengetahuan, teknologi. Hal ini disebabkan penafsiran seorang mufassir sangat dipengaruhi oleh sudut pandang  keahlian dan kecenderungan masing-masing. Demikian halnya dengan kitab tafsir al-Misbah disamping memiliki kelebihan juga tidak bisa melepaskan diri dari kekurangan yang dikandungnya.
Penulis mencoba menganalisi kelebihan dari tafsir al-Mishbah, adapun kelebihan Tafsir al-Misbah ini sudah tidak bisa diragukan lagi dan dapat dipastikan banyak tersimpan kelebihan-kelibihannya diantaranya sebagai berikut yang penulis bisa analisa:
1.    Tafsir ini berbahasa Indonesia sehingga dapat memudahkan para pembaca dalam memahami isi al-Qur’an sebagai pedoman atau petunjuk bagi manusia. Memberi warna yang menarik dan khas serta sangat relevan untuk memperkaya khazanah pemahaman dan penghayatan kita terhadap rahasia makna-makna al-Qur’an.
2.    Sistematika dalam tafsir al-Misbah sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi islam khususnya, tetapi juga sangat penting dibaca oleh seluruh kalangan, baik akademis, santri, kyai, bahkan sampai kaum muallaf.
3.  Pengungkapan kembali tafsir ayat-ayat al-Qur’an yang telah ditafsirkan sebelumnya dalam menafsirkan suatu ayat, yang dimaksud Prof. Dr. H. Muhammad Quraish Shihab adalah untuk mengkorelasikan antara ayat yang sebelumnya dengan ayat yang akan ditafsirkan, sehingga pembaca akan mudah memahami isi kandungan suatu ayat dan kaitannya dengan ayat lain. Dengan demikian akan tercipta pemahaman yang utuh terhadap isi kandungan al-Qur’an.
4.     Dalam menafsirkan setiap ayat-ayat al-Qur’an M. Quraish Shihab mengungkapkan secara panjang lebar dan mengkaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat yaitu dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. Misalnya dalam QS 4/ an-Nisa’ ada ayat yang menjelaskan tentang poligami, karena masalah poligami ini sudah marak di masyarakat. Selanjutnya ayat yang menjelaskan tentang akal, agar manusia dapat membina akalnya dengan baik. Akal yang tidak dibina membuat manusia lupa akan dirinya, lupa akan adanya Allah sehingga banyak kerusuhan yang terjadi di dunian ini.
5.      Tafsir ini di dalam surahnya terdapat tujuan utama atau tema surah tersebut. Jadi pembaca akan dapat lebih mudah memahami isi dan kandungan al-Qur’an, karena sudah dijelasakan tujuan utama dari setiap surah.
G.    Kekurangan Tafsir al-Misbah
Bila berbica kekurangan dalam tafsir al-Mishbah ini sebenarnya penulis menyadari bahwa tidak pantas mencari dan menjastifikasi kekurangannya karena pengarang tafsir al-Mishbah ini keilmuannya serta karyanya itu sangat luar biasa yang tidak diragukan lagi. Tetapi harus diakui juga bahwa didunia ini tidak ada yang sempurna melainkan sang Pencipta saja yang maha sempurna.
Adapun analisis penulis yang bisa ditemukan dari kekurangan tafsir al-Misbah adalah:
1.      Penggunaan bahasa Indonesia dalam menafsirkan al-Qur’an menunjukkan bahwa buku tafsir al-Mishbah bersifat lokal yang hanya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Islam Indonesia saja. Sedang bagi orang non- Indonesia tetap akan mengalami kesulitan karena bahasa Indonesia bukan merupakan bahasa Internasional.
2. Dapat menimbulkan penafsiran tumpang tindih dan pengulangan-pengulangan yang dapat menimbulkan kejenuhan. Misaalnya kaitannya dengan surah sebelumnya atau ayat-ayat sebelumnya terjadi penafsiran yang sebelumnya sudah dijelaskan  secara menyeluruh di ayat yang berikutnya dijelaskan lagi.
3.  Di dalam menafsirkan suatu ayat pengarang tidak memberikan informasi tentang halaman dan nomer volume buku yang dinukil sehingga menyulitkan pembaca untuk mengetahui penjalasan tersebut secara lengkap dari sumber aslinya.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Tafsir al-Mishbah secara lengkap memiliki judul Tafsir Al Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, terdiri dari 30 juz dalam 15 volume. Ditulis oleh seorang ulama’ Nusantara ahli Tafsir bernama Muhammad Quraish Shihab, berasal dari Rappang, Sulawesi Selatan 16 Februari 1944.
1.    Melihat sistematika penulisan dari Tafsir al-Mishbah yang terperinci, maka dapat dikatakan bahwa metode yang dipakainya dalam menafsirkan adalah menggunakan metode tahlili (urai). Metode Tahlili adalah tafsir yang menyoroti ayat-ayat al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an Mushaf Utsmani. Langkah-langkah yang dilakukan mufasir menerangkan munasabah baik antara satu ayat dengan ayat lain maupun satu surat dengan surat yang lain, menjelaskan asbab al-Nuzul, menganalisi kosakata, memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya, menerangkan unsur fasahah, bayan, menjelaskan hukum yang dapat ditarik dari ayat yang dibahas khususnya ayat Ahkam. Sebagai sandarannya mufassir mengambil manfa’at dari ayat lain, hadis Nabi, pendapat shabat atau tabi’in di samping ijtihad mufassir sendiri. Contohnya dalam lafadz Basmalah terdapat huruf "ب" pada lafadz "بسم"  yang diterjemahkan “ dengan “, meski tidak terucap tetapi harus terlintas dalam benak kita ketika mengucap Basmalah terdapat artian “memulai”, sehingga Bismillah berarti “ saya atau kami memulai apa yang kami kerjakan ini dengan nama Allah”. Dengan demikian, kalimat tersebut bisa dikatakan sebagai sebuah pernyataan dari pengucap bahwa ia memulai pekerjaan atas nama Allah. Atau dapat juga diartikan sebagai sebuah perintah dari Allah yang menyatakan “Mulailah pekerjaanmu dengan nama Allah“ (meskipun kalimat tersebut bukan dalam bentuk amar). Dengan menyisipkan kata “memulai” memiliki semangat menjadikan Allah sebagai pangkalan bertolak.
2.  Sedangkan corak dalam tafsir al-Mishbah adalah sastra budaya dan kemasyarakatan (Adabul ijtima’i). Corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur’an secara teliti. Selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur’an tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. Contoh dari corak tafsir al-Mishbah adalah pada surah al-Furqan ayat 63 pada kata (هوناَ) haunan berarti lemah lembut dan halus. Patron kata yang di sini adalah mashdar/indifinite noun yang mengandung makna “kesempurnaan”. Dengan demikian, maknanya adalah penuh dengan kelemaha lembutan. Sifat hamba-hamba Allah itu, yang dilukiskan dengan (ÙŠَمشُونَ عَلىَ الأَرضِ Ù‡َوناً) yamsyuuna ‘ala al-ardhi haunan/berjalan di atas bumi dengan lemah lembut, dipahami oleh banyak ulama dalam arti cara jalan mereka tidak angkuh atau kasar. Kini, pada masa kesibukan dan kesemerawutan lalu lintas, kita dapat memasukkan dalam pengertian kata (هوناَ) haunan, disiplin lalu lintas dan penghormatan terhadap rambu-rambunya. Tidak ada yang melanggar dengan sengaja peraturan lalu lintas kecuali orang yang angkuh atau ingin menang sendiri hingga dengan cepat dan melecehkan kiri dan kanannya.
3.  Kelebihan yang ditemukan adalah, berbahasa Indonesia sehingga dapat memudahkan para pembaca dalam memahami isi al-Qur’an, sistematika dalam tafsir al-Misbah sangat mudah dipahami dan tidak hanya oleh mereka yang mengambil studi islam, tetapi dari berbagai kalangan, pengkorelasikan antara ayat yang sebelumnya dengan ayat yang akan ditafsirkan, sehingga pembaca akan mudah memahami isi kandungan suatu ayat dan kaitannya dengan ayat lain, menafsirkan setiap ayat-ayat secara panjang lebar dan mengkaitkan dengan fenomena yang terjadi dalam masyarakat yaitu dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada. Sedangkan kekuranagan yang ditemukan adalah, tafsir al-Mishbah menggunakan bahsa Indonesia sehingga bersifat lokal, menimbulkan penafsiran tumpang tindih dan pengulangan-pengulangan yang dapat menimbulkan kejenuhan, dalam menafsirkan suatu ayat pengarang tidak memberikan informasi tentang halaman dan nomer volume buku yang dinukil.



[1]Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005).
[2]Mohammad Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy: Memahami Al-Qur’an melalui Pendekatan Sains Modern, (Jogyakarta: Menara Kudus Jogja, 2004).
[3]Nor Ichwan, Tafsir ‘Ilmiy.
[4]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta; Lentera Hati, 2012) Vol. 15.
[5]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, hlm.
[6]M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara: Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Galeri Media Indonesia, 2010).
[7]M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2007).
[8]Hasan  Muarif Ambariy (Dewan Redaksi), Suplemen Ensiklopedi Islam. (Jakarta: Ichtiar Baru Von Hoeve, 2004).
[9]M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara, (Jakarta: Galeri Media Indonesia, 2010).
[10]M. Bibit Suprapto, Ensiklopedia Ulama Nusantara.
[11]M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran, (Cet. II; Bandung: Mizan, 2013).
[12]Muhamad Arifin Jahri, Studi Tafsir: Quraish Shohab dan Tafsir al-Mishbah http://studitafsir.blogspot.com/2012/11/quraish-shihab-dan-tafsir-al-mishbah.html, diakses pada 24 Maret 2015 jam 15.45 Wib.
[13]Fauzul Iman. dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan dan Kemasyarakatan, (Serang: Pusat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2004), Vol. 2.
[14]Fauzul Iman. dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan.
[15]Fauzul Iman. dkk, Al-Qalam Jurnal Keagamaan.
[16]Quraish Shihab, Lentera Al-Quran.
[17]QS. Ali Imran  (3): 190-191.
[18]Quraish Shihab, Lentera Al-Quran.
[19]Lihat Sekapur Sirih, M. Quraish Shihab,  Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta : Lentera Hati, 2012), Vol. 1.
[20]Islah Gusmian, Khasanah Tafsir Indonesia, (Bandung : Teraju, 2003),.
[21]Islah Gusmian, Khasanah Tafsir, hlm. 42.
[22]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 15.
[23]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 1.
[24]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 1.
[25]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,Vol. 1.
[26]Hasan  Muarif Ambariy, (Dewan Redaksi), Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Von Hoeve, 2004).
[27]Akhmad Arif Junaidi, Pembaharuan Metodologi Tafsir al-Qur’an, (Semarang: CV. Gunung Jati,2000).
[28]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[29]Hasan  Muarif, Suplemen Ensiklopedi.
[30]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[31] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2012) Vol. 4.
[32]Nasiruddin Baidan, Metode Penafsiran al-Qur’an (Kajian) Kritis Terhadap Ayat- Ayat Yang Beredaksi Mirip, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
[33]Abdul Hay al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i dan cara Penerapannya, terj. Rasihan Anwar, (Bandung, Pustaka Setia, 2002).
[34]Muhammad Baqir As-Sayyid Haidar Ibn Ismail Ash-Shadr, seorang sarjana, ulama, guru dan tokoh politik, lahir di Kazimain, Baghdad, Irak pada 25 DzulQaâdah 1353H/1 Maret 1935 M dari keluarga religius. Ia adalah sedikit dari tokoh-tokoh Islam yang mampu berbicara dengan fasihnya pemikiran-pemikiran Barat. Kesan apalogi yang selama ini melekat pada pemikir Islam, ia tepis dengan kejernihan dan kecerdasan pemikirannya. Ia begitu akrab dengan karya-karya pemikir Islam klasik maupun modern, tapi ia juga paham pemikiran-pemikiran Barat yang berkembang. Dalam karyanya yang terkenal yaitu Falsatuna dan Iqtishduna dengan fasihnya mengutarakan kritik-kritik terhadap pemikiran Barat seperti Karl Marx, Descartes, John Locke dan lain-lain. Biograpi Muhammad Baqir ash-Shadr, http://www.al-shia.org/html/id/shia/syiah-pishavar/03.htm, diakses pada tanggal 3 Mei 2015 jam 13.15 Wib.
[35]Mohammad Nor Ichwan, Memasuki Duma Al-Qur’an, (Semarang: Lubuk Raya, 2001).
[36]Imam  Musbikin, Mutiara Al-Qur’an,Khazanah Ilmu Tafsir dan al-Qur’an,  (Madiun: Jaya Star Nine, 2014).
[37]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[38]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[39]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[40]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[41]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[42]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[43]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1.
[44]Abdul Hay , Metode Tafsir Maudhu’I.
[45]Said Agil Husein al-Munawar, al-Qur’an Membangun Tradisi Keshalehan Hakiki, (Jakarta : ciputat pers, 2002).
[46]Abdul Hay,  Metode Tafsir Maudhu’i.
[47]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 9.
[48]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 9.
[49]Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. 1


(ii) https://www.google.co.id/search?q=Tafsir+al+misbah&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=0ahUKEwjPwsL79qPTAhXMPI8KHexZCX8Q_AUICygE#imgrc=gEwOMMTaCVtC_M:

Post a Comment

4 Comments

  1. Sasakali bakunjang k blog kawan nah,,, harau level tinggi berataan artikelnya...

    baealang k ada kita juaa laa, qurraqu.blogspot.com

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangn sakali ja dirancaki sanakai kada papa jua malah betarimakasih banar...
      Sambil belajar jua. Harusnya uln ni pang yang belajar lawan situ.....

      Delete
    2. han,, bisa banar meniggi diri,, haha.. umpati grup ttg blogger di ef'be sanak.. banyak infoh..

      Delete
    3. Oke sippp. apa nama grupnya?
      Pun sampian sdh lah mancobai masuk ke adsense sanak?

      Delete