FIQIH LINTAS AGAMA
Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis
(BOOK REVIEW)
Dosen Pengampu
Dr. H. M. Samsul Hady, M. Ag
Disusun Oleh
Muhammad Miftah Arief, S.Pd.I, M.Pd
Pada Tahun 2014
"Pendekatan Studi Islam"
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI.............................................................................................................ii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .....................................................................................................1
B. Tujuan
Penulisan ..................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqih Lintas Agama............................................................................ 4
B.
Dasar Fiqih Lintas Agama...................................................................................16
1.
Teologi Inklusif-Pluraslis.................................................................................16
C.
Topik dalam Fiqih Lintas Agama.........................................................................22
1.
Pijakan Keimanan Bagi Fiqih Lintas Agama...................................................22
2.
Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan
Inklusivisme Islam............25
a.
Mengucap Salam kepada non-Muslim.......................................................25
b.
Mengucapkan Selamat Natal dan Selamat Hari Raya
Agama-agama lain.28
c.
Do’a Bersama (Do’a Antaragama).............................................................30
3. Fiqih Menerima Agama Lain Membangun Sinergi Agama-agama................. 31
a. Kawin Beda Agama....................................................................................31
b. Waris Beda Agama..................................................................................... 37
4. Meretas Kerjasama Lintas Agama.................................................................... 37
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan............................................................................................................40
B.
Keritikdan Saran................................................................................................... 41
DAFTAR
PUSTAKA
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan
kepada Allah Swt karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah tulisan berjudul “Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.”
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penulisan ini, khususnya kepada
: Bapak Dr. H. M. Samsul Hady, M. Ag selaku dosen mata kuliah Pendekatan Studi Islam yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan
dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak
kekurangan yang mendasar pada tulisan ini. Oleh karena itu saya mengundang
pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga tulisan ini bisa
memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.
Batu, Desember 2014
Penulis
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebelum melakukan
analisis isi buku, perlu kiranya diketahui secara mendasar mengenai hal-hal
yang terkait dengan lahirnya buku tersebut, seperti nama penulis, penerbit,
tahun terbit dan yang terpenting adalah apa dan bagaimana konsep atau pemikiran
yang dikembangkan penulisnya serta maksud dan tujuan yang hendak dicapai oleh
hadirnya buku tersebut.
Judulnya “FIQIH
LINTAS AGAMA, Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis” adalah sebuah buku yang
terbit tahun 2004, kerjasama antara Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan
The Asia Foundation yang terdiri dari 273 halaman. Buku tersebut merupakan
hasil rangkaian pertemuan dan diskusi yang ditulis secara gotong royong oleh
tokoh-tokoh dan intelektual dari lembaga-lembaga seperti, Yayasan Haramain,
Lakpesdam-NU, P3M, LSAP-Muhammadiyah, Jaringan Islam Liberal, Ma’arif
Institute, Yayasan Pendidikan Madania, PPIM, PBB-UIN, dan Yayasan Paramadina.
Mereka menamakannya sebagai “Tim Penulis Paramadina.” Orang-orang yang terlibat
dalam penulisan buku ini yaitu: Zainun Kamal, Nurcholis Madjid, Masdar F.
Mas’udi, Komaruddin Hidayat, Budhy Munawwar-Rachman, Kautsar Azhari Noer,
Zuhairi Misrawi, Ahmad Gaus AF, dan sebagai editor, Mun’im A. Sirry.
Berbeda dengan
buku-buku yang terbit dari berbagai artikel yang dalam setiap topiknya akan
dapat dilihat nama penulisnya, maka dalam buku FLA kita tidak dapat melihat hal
tersebut. Dalam hal tersebut tim penulis ingin menunjukkan bahwa buku ini
merupakan hasil kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi alot yang mereka
kerjakan selama ini. Mungkin juga ini sebagai tanggung jawab bersama, karena
jika buku ini mendapat “sambutan hangat” dari para pembacanya, maka resiko akan
dihadapi dan ditanggung bersama.
Buku
Fiqh Lintas Agama di dalamnya dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama
berisi, “Pijakan Keimanan Bagi Fiqh Lintas Agama.” Pada bagian kedua, tema yang
diangkat adalah “Fiqh yang peka keragaman ritual meneguhkan inklusifisme
Islam.” Sebagai kesinambungan bagian pertama. Pada bagian ketiga, dimunculkan
tema “Fiqh yang menerima agama lain dan membangun sinergi agama-agama.” Sementara
bagian keempat sebagai bagian terakhir dari buku Fiqih Lintas Agama, diangkat
tema “Meretas kerjasama lintas agama.
B.
Tujuan
Penulisan
Munculnya
buku Fiqih Lintas Agama yang oleh sebagian orang disebut kontroversial, telah
menimbulkan berbagai komentar dan kritikan bagi pembacanya. Berbagai diskusi
dan seminar digelar untuk membedah buku Fiqih Lintas Agama tersebut. Pertanyaan
yang kemudian timbul: mengapa buku ini menjadi kontroversial dan menarik bagi
masyarakat muslim Indonesia. Salah satu yang menjadi jawabannya bahwa buku
Fiqih Lintas Agama telah menembus dan melintasi sekat-sekat agama yang hal ini
kontras dengan produk fiqih masa klasik. Kajian fiqih lintas agama telah
mengangkat ide-ide yang selama ini belum tersentuh atau terabaikan oleh kajian
Fiqih klasik khususnya dalam bidang hubungan antaragama dan antarkeyakinan.
Tanpa
harus menilai atau menjastifikasi suatu pendapat salah, atau bahkan sesat dalam
kaidah hukum. Setiap orang berhak berpendepat, berhak mempunyai ide. Dalam buku
yang berjudul Atas Nama Tuhan yang penulis ambil bahwa, seseorang yang
mempelajari hukum Islam akan mendapati sebuah pernyataan terkenal dari Abu
Hanifah, “Saya yakin bahwa pendapat saya benar, tapi saya mengetahui bahwa
pendapat saya mungkin salah. Saya juga yakin bahwa pendapat lawan saya salah,
tapi saya mengakui bahwa pendapat mereka mungkin benar.[1]
Beberapa
ide yang ada dalam Fiqih Lintas Agama yang dianggap penting akan dimunculkan
kembali dalam makalah ini. Dimunculkan bukan untuk mengulangi atau meringkas
buku Fiqih Lintas Agama, tetapi untuk menelaah dan mengetahui bagaimana
sebenarnya isi dari buku Fiqih Lintas Agama ini.
BAB
II
PEMBAHASAAN
A.
Pengertian
Fiqih Lintas Agama
Fiqih
itu ialah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syari’at Islam yang diambil dari
dalil-dalil yang terperinci. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu fikih merupakan suatu ilmu yang mendalami hukum Islam yang
diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah.
Kata
fiqih berasal dari bahasa Arab; fiqih, yang
secara etimologi mengandung makana: mengerti atau paham. Contohnya Firman Allah
Swt pada surah al-Isra’ Ayat 44:
تُسَبِّحُ لَهُ اْلسَمَاوَاتِ اْلسَّبْعُ وَالْأَرْضُ
وَمَنْ فِيْهّنَّ وَإِنْ مِّنْ شَيْءٍ إِلَّا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ
لَّاتَفْقَهُوْنَ تَسْبِيْحَهُمْ إِنَّهُ
كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا.
Artinya: Langit yang tujuh, bumi dan
semua yang ada di dalamnya, bertasbihlah kepada Allah. Dan tak ada satu pun
melainkan bertasbih kepada-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti (memahami)
tasbih mereka. Sesungguhnya Dia Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.[2]
Dengan demikian,
jika seseorang berkata: (saya
paham), maksudnya: ia mengerti tujuan perkataan seseorang. Akan tetapi,
sebagian ulama menjelaskan, mengerti atau paham yang dimaksud dalam kata fiqih
(sebagai bagian dari kata ushul fiqih), bukanlah sekedar paham terhadap hal-hal
yang dengan mudah dapat dimengerti, melainkan pemahaman yang mendalam.[3]
Lintas
agama adalah kumpulan faham-faham antar agama yang dicampurkan dengan tenggang
rasa, toleransi, keterbukaan ijtihad, nasionalisme, dan lain-lain, hingga
lahirlah faham-faham yang dikenal oleh kalangan masyarakat sebagai faham
Sekularisme, Liberalisme, Pluralisme, Inklusif, dan Sinkretisme.
Jadi
penulis sedikit menyimpulkan dari penjelasan diatas bahwa Fiqih Lintas Agama
ialah sebuah pemahaman baru yang mendalam, dengan paradigma baru, metode baru,
serta kaidah baru yang diambil dari sumber-sumber yang tidak terbatas, untuk
menampung pemahaman ke-Islaman, Kristen, yahudi, hindu, Budha, dan dari
bermacam-macam agama dan kepercayaan.[4]
Fiqih
klasik dianggap sakral dikalangan umat muslim, tanpa mereka sadari bahwa
kepatuhanya terhadap fiqih menjadi batasan bagi dirinya sendiri dan menjadikan
fiqih menjadi ilmu yang tidak terjamah secara mendasar. Diakui atau tidak
diakui fiqih sekarang ini mempunyai dilemma-dilema yang perlu dikritisi lebih
mendalam sehingga fiqih sebagai proses ijtihad dan dialektika antara doktrin
dan realitas dapat berkembang lagi atas zaman yang kontekstual berbeda sekali
dengan zaman dimana fiqih dikodifikasi. Diantara dilemma fiqih yang paling
serius adalah hubungan atau pembahasan yang melibatkan kalangan di luar
komunitasnya yaitu non muslimapapun agama dan aliran kepercayaanya. Dalam
tataran ini fiqih mengalami kelemahan. Dimensi keuniversalan fiqih dan
kelenturan fiqih seakan tersimpan atau mungkin hilang begitu saja.
Menurut
Jamal al-Banna didalam kata pengantar bukunya yang berjudul Manifesto Fiqih
Baru 3 tentng memahami paradigma fiqih moderat. Khazanah fiqih pada umumnya
ditulis pada abad ke-3 dan 4 Hijriah. Sedangkan kita hidup pada abad ke-15
hijriyah. Tentu saja ada rentang sejarah yang cukup lama, antara pembentukan
fiqih klasik dengan kenyataan umat Muslim kontemporer. Rentang waktu telah
melahirkan dinamika kontekstual yang sangat besar. Jadi menurutnya diperlukan
pemikiran besar untuk melahirkan fiqih baru yang lebih senyawa dan sejalan
dengan dinamika masyarakat kontemporer.[5]
Menurut
Mujiono Abdillah, hukum mempunyai bebrapa prinsip dalam menentukan hukum, salah
satunya prinsip keadaan, Ibn qayyim menyatakan bahwa “transformasi hukum Islam
itu selaras dengan transformasi keadaan”. Prinsif ini mengacu pada urgensi
keadaan sebagai kunci penyebab transpormasi hukum Islam.[6]
Keadaan
suatu masyarakat cukup kuat pengaruhnya dan memiliki daya transformative cukup kuat
dalam pembinaan hukum Islam. Bahkan menurut Muhammad Fathi Utsman “kondisi itu
lebih kuat pengaruhnya terhadap hukum dibandingkan pengaruh hukum terhadap
kondisi. Ini selaras dengan pendapat Georges Gurvitch yang mengatakan bahwa
“pada umumnyaperubahan hukum itu lebih cenderung disebabkan oleh factor kondisi
moralitas masyarakat.[7]
Asaf
A.A. Fyzee, mengatakan bahwa “Hukum harus berubah dan benar-benar berubah pada
saat masyarakat mengalami perkembangan dan perubahan. Ini mengandung arti bahwa
fiqih-istilah lain dari hukum Islam, harus berubah mengikuti perkembangan zaman
sehingga fiqih tidak boleh terpisah dari aspirasi masyarakat pada tempat dan
waktu tertentu.[8]
Selain
itu penulis menemukan sebuah rujukan dari buku Fiqih Maqashid Syariah yang
disusun oleh Yusuf Al-Qaradhawi, ia berpendapat bahwa didalam hukum ada sebuah
hikmah, jika hikmah jelas, dia cenderung untuk mengambil hikmah di dalam hukum.
Dia pun berpendapat bahwa kita bias menyebut maksud-maksud syariat dengan
hikmah syariat, yaitu tujuan luhur yang ada dibalik hukum. Hikmah terkadang
tampak dalam keadaan yang sangat jelas dan bisa diketahui dengan penelitian
biasa. Sebagaimana hikmah wanita dan laki-laki yang menerima harta warisan
dengan laki-laki dewasa dari harta peninggalan keluarga mereka yang meninggal.
Berbeda dengan tradisi Arab yang membatasi warisan kepada orang yang bias
mengangkat senjata maupun membela kabilah saja. Menurut orang Arab, orang
seperti itu sajalah yang berhak menerima harta warisan. Dengan demikian, mereka
tidak memeberikan harta warisan kepada wanita. Karena, wanita tidak bias perang
dan melindungi.[9]
Ada
beberapa istilah yang selalu dianggap musuh dalam fiqih klasik, yaitu “murtad”,
“musyrik” dan “kafir”. Sudah barang tentu fiqih akan memberikan “kartu merah”
sebagai peringatan keras dalam menghadapi kalangan tersebut.
Pernyataan-pernyataan tersebut membuat kesan yang kurang baik terhadap Islam,
Islam terkesan agama yang menebarkan permusuhan dan kekerasan. Pernyataan
tersebut membuat kita harus meninjau kembali fiqih klasik.Fiqih klasik perlu
perspektif baru terhadap fiqih baru, yaitu meletakan kembali menjadi produk
budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk komunitas tertentu
pula.[10]
Syek
Muhammad Mutawalli Sya’rawi mengatakan dalam renungkan Al-Qur’an yang
diterbitkan Tabloid Jum’at al-Liwa
al-Islamy, maka ibadah adalah apabila kamu mengikuti yang diperintah dan
menjauhi yang dilarang. Dan apabila tidak ada perintah dan larangan, maka itu
merupakan hal yang diperbolehkan. Bila suka dilakukan, bila tidak suka jangan
dilakukan. Apabila kehidupan secara direnungi, kita akan mendapatkan lima
persen dari yang bergerak masuk dalam wilayah perintah dan larangan. Sedangkan
sisanya dibolehkan.[11]
Menurut
Jamal al-Banna, para ulama fiqih selama ini tidak menempatkan kebebasan otentik
ini secara proporsional. Mereka tidak menelusuri ajaran ini secara lebih dalam
dan tuntas. Mereka tidak menghadirkan ajaran ini dalam dasar-dasar hukum fikih
yang empat: Al-Qur’an, hadis, ijma dan qiyas. Mereka hanya menganggap ajaran
ini sebagai penyempurnaan yang biasanya disebut terakhir. Sebelumnya mereka
menyebut ajaran istihsan, istishhab,
mashalih al-mursalah, syar,u man qablana, dan terakhir kebebasan otentik (al-bara’ah
al-ashliyah).[12]
Padahal,
cakupan ajaran kebebasan kebebasan otentik lebih luas ketimbang “hak-hak alami”
dan kaidah “tidak sanksi kecuali melalui teks.” Kebebasan otentik dapat
berperan banyak dalam fiqih Islam bila mereka menempatkannya secara
proporsional. Akan tetapi yang terjadi sebaliknya. Seorang Muslim harus
mengikuti kitab-kitab kuning untuk mengetahui, apakah yang dilakukan hala atau
haram.? Bila tidak menemukannya, mereka harus meminta fatwa.[13]
Di antara dilema fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan
dengan pembahasan yang melibatkan kalangan diluar komunitasnya, yaitu
non-muslim, apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih
mengalami kelemahan yang amat luar biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan
fiqih seakan-akan tersimpan di laci, atau mungkin hilang entah kemana. Fiqih,
secara implisit ataupun eksplisit, telah menebarkan kebencian dan kecurigaan
terhadap agama lain.[14]
Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali
sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk
komunitas tertentu pula. Selama ini, bila membaca kitab-kitab fiqih, maka fiqih
seakan-akan terlalu “dimanja” dan “disakralkan” oleh pembacanya, sehingga fiqih
menjadi ilmu yang tak terjamah secara lebih mendasar. Padahal, dari segi penamaannya
saja, fiqih berarti “pemahaman”. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman,
melainkan sebagai respons faqih (ahli fiqih) terhadap problem zamannya,
dalam perkembangannya saat ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika serius,
antara lain: mapannya paradigma klasik dan lambannya upaya pembaruan, sehingga
dengan mudah didapatkan adanya pengulangan-pengulangan yang tidak perlu, yang
pada akhirnya menyebabkan terjadinya kesenjangan.[15]
Oleh karena itu
diperlukan pisau pembedah guna mendorongkrak kesadaran kolektif para pengkaji
fiqih kontemporer agar secara produktif melakukan pembacaan ulang terhadap
fiqih klasik. Disatu sisi, fiqih merupakan khazanah yang menjadi kebanggaan
masyarakat muslim, tapi disisi lain fiqih menjadi hambatan dalam menyikapi
sebuah problematika kehidupan yang tidak disentuh oleh para ulama terdahulu.
Karena fiqih yang tersedia adalah fiqih yang tidak lagi menyemangati zaman ini,
dan bentuknya pun sangat sederhana. Sementara itu, problem kemanusiaan terus
bertambah dan pengetahuan mengalami kemajuan yang pesat maka pembuatan fiqih
menjadi solusi alternatif.
Oleh karena itu, fiqih baru mempunyai visi dan misi untuk memajukan
umat. Fiqih harus mempunyai landasan yang kuat di dalam Al-Qur’an dan sunnah,
tetapi di sisi lain harus mampu berinteraksi dengan dinamika kontemporer dan
kekinian.
Pembaruan fiqih harus segera dideklarasikan dengan cara memandukan
antara keinginan kuat dengan perangkat-perangkat modernitas yang ada. Harus
diakui, dengan spirit inilah negara-negara Barat mampu menghasilkan pembaruan.
Yang diperlukan dalam fiqih baru mempunyai beberapa karakter.[16] Pertama, fiqih baru mempunyai Al-Qur’an
sebagai pedoman utama dalam mengambil kesimpulan hukum. Namun, dalam menyikapi
Al-Qur’an, Jamal al-Banna berbeda dengan para ulama tafsir terdahulu. Menurtnya
bukan dia tidak akan menjadikan tafsir mereka sebagai sumber utama, karena
tidak ada keharusan untuk taklid buta terhadap karya mereka. Kedua, fiqih baru mempunyai perhatian
pada sunnah. Hanya saja, suannah yang dikodifikasi oleh ulama terdahulu pada
umumnya adalah sunnah yang masuk dalam katagori palsu. Ada yang mengatakan
jumlah hadis sebanyak satu juta. Imam Ibnu Hanbal meriwayatkan 25.000 hadis.
Dan Imam Bukhari dikatakan meriwayatkan 5.000 hingga 7.000 hadis. Imam Syaf’I
berkata bahwa sunnah merupakan kitab yang paling absah setelah Al-Qur’an. Namun
menurut Jamal al-Banna pendapat itu tidak dapat dibenarkan, karena Al-Qur’an
merupakan satu-satunya sumber kebenaran yang bersifat otoritatif. Sedangkan
sunnah masih menimbulkan pertentangan di kalangan ulama tentang kedudukannya.
Oleh Karena itu, diperlukan cara pandang tentang baru terhadap sunnah. Sejatinya
cara pandang tentang sunnah adalah dengan menggunakan paradigm Al-Qur’an, bukan
paradigma para perawi hadis.[17] Ketiga, fiqih baru mempunyai perhatian
terhadap hikmah. Di luar Al-Qur’an dan sunnah, sebenarnya Tuhan juga menurunkan
hikmah. Tuhan sendiri yang menunjuk sikap yang berhak mendapat hikmah. Hikamah
merupakan harta karun umat Muslim yang tersebar di dunia, dan tugas umat Muslim
untuk menggali dan menggunakan hikmah sebagai upaya untuk melakukan pembaruan
fiqih. Dalam hal ini, menyingkap hikmah sebagai upaya untuk melakukan pembaruan
fiqih, dan berarti pula menjadikan kemaslahatan sebagai landasan filoshofis
atas fiqih.[18]
Qadhawi mengajukan alternatife pemikiran agar fiqih direvormasi
menjadi fiqih realitas (fiqh al waqi’) dan fiqih prioritas (fiqih al
awlawiyah), yaitu fiqih yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem
kemanusiaan yang muncul ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini syariat tidak
bercorak vertikalistis, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan,
melainkan mencoba menambah merambah masalah kemanusiaan. Disini bisa dilihat
wajahnya yang statis, eksklusif, dan diskriminatif, menjaadi syariat yang
dinamis, inklusif dan egalitarianisti.[19]
Imam asyatibi memberikan sinaran baru terhadap syariat, menurutnya
agama tidak hanya memuat ajaran yang memuat aspek ritual dan peribadatan,
tetapi juga membawa nilai misi kemaslahatan bagi manusia. Dimensi kemanusiaan
inilah yang kurang diapreasi secara lebih mendalam oleh pengkaji fiqih. Sehingga
yang terjadi hanya perhatian terhadap ritual belaka.
Dalam memahami fiqih menjadi etika sosial dan kemaslahatan, Imam
Syatibi membagi kemaslahatan menjadi tiga tingkatan: pertama, kemaslahatan yang
bersifat primer (ad dharuriyah),
yaitu kemaslahatan yang pasti menjadi acuhan utama bagi implementasi syariat.[20]
Yang dimaksud yaitu perlunya melindungi agama (hifzh al din), melindungi
jiwa (hifzh nafs), melindungi keturunan (hifzh nasab), dan
melindungi harta (hifzh mal). Kemaslahatan primer tersebut merupakn inti
dari setiap ajaran agama.
Kedua, Kemaslahatan bersifat sekunder (al hajiyat), yaitu
kemaslahatan yang tidak menyebabkan ambruknya tatanan sosial dan hukum,
melainkan sebagai upaya untuk meringankan bagi pelaksanaan sebuah hukum. Misalnya
dalam hal ibadat, bahwa dalam menjalankan ibadat diberikan dispensasi (al ruksaha al mukhaffafah)
apabila dalam pelaksanaan mendapat kesulitan. Kemaslahatan skunder ini memberi
pesan bahwa dalam pelaksanaan peribadatan pun diberikan beberapa keringanan
dalam rangka memberikan kemaslahatan dan kenyamanan bagi pemeluknya, sehingga
bergama dan beribadah tidak merasa adanya kekerasan dan keterpaksaan.
Ketiga, kemaslahatan yang bersifat suplementer (al takhsiniyah),
yaiu kemaslahtan yang memberikan perhatian pada masalah estetika dan etiket. Misalnya
ajaran tentang berhias, kebersihan, shadaqah dan bantuan kemanusiaan. Kemaslahatan
ini menjadi penting dalam rangka menyempurnakan kemaslahatan primer dan
skunder.[21]
Ketiga kemaslahatan ini merupakan ruh yang terdapat dalam Islam,
antara satu dan yang lainya saling menyempurnakan. Imam Syatibi juga
menyebutkan bahwa kemaslahatan harus memperhatikan tradisi dan kesepakatan
harus memperhatikan tradisi dan kesepakatan kebanyakan masyarakat. Bahkan
kemaslahatan yang berkaitan dengan syariat dan masalah ketuhan pun harus
memperhatikan tradisi adat. Karena pada hakikatnya antara kemaslahatan duniawi
dan kemaslahatan ukrawi tidak bertentangan.[22]
Dengan demikian upaya mempersamakan dan mempersatukan dibawah
payung (satu tafsir) agama menjadi kontaproduktif, dan kemudian agama menjadi
relative ketika dijelmakan dalam praktik kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini
Ada bentuk relativisme yang dapat dijadikan dasar penghormatan atas yang lain.
Pertama, relativisme kultural, Islam sebagai sebuah ekspresi dan tatanilai
sendiri yang berbeda dengan yang lain. Kedua, epistimologi, kita dapat
mengetahui kebenaran adsolut.Artinya kebenaran yang kita yakini ternyata adalah
kebenaran sepihak.Ketiga, relativisme teologis.Islam adalah jalan kebenaran
diantara jalan kebenaran yang lain, artinya jalan kebenaran tidak harus melalui
“Islam”. Oleh karena itu Islam kemudian bediri sejajar dengan budaya yang ada.[23]
Persoalan yang masih menjadi perdebatan menarik dikalangan
pemerhati masalah-masalah kemanusiaan antara lain: fiqih hubungan hubungan
antar agama yang direkonstruksi, fiqih menyikapi hak minoritas dan fiqih
menyikapi kekerasan yang mengatasnamakn agama. Oleh karena itu perlu adanya
pembaharuan fiqih terutama dalam hal merajut kembali hubungan antar agama yang
sekian tahun ternodai. Ada tiga level yang dilakukan dalam pembaharuan fiqih.
Pertama, pembaharuan pada level metodelogi seperti halnya, interprestasi
terhadap teks-teks fiqih secara kontekstual, bermadzhab secara metodelogis dan
verivikasi antara ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu’).
Pembaharuan pada pada level ini tidak harus membabat habis akar-akar fiqih
klasik, melainkan melakukan kontekstualisasi dan verivikasi. Ibarat hutan
belantara khazanah fiqih adalah khazanah yang luas dan kaya, sehingga
diperlukan pembaharuan yang bersumber dari tradisi fiqih.[24]
Kedua, pembaharuan pada level etis. Khazanah fiqih yang terlanjur
berkembang di masyarakat adalah khazanah yang seakan-akan menyediakan sesuatu
yang baku dan siap saji. Akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik
dan legalistik.Disini perlu pembaharuan fiqih yang dapat menghadirkan fiqih
sebagai etika social. Fiqih tidak hanya membahas hukun halal-haram, melainkan
membahas panca jiwa fiqih (al kuliyat khamsah) yaitu: melindungi agama, akal,
jiwa, harta dan keturunan. Yang semangatnya memberikan perhatian bagi segenap
manusia, apapun agama, ras dan sukunya.
Level ketiga, pembaharuan pada level filosofis.Kita tahu bahwa selama
ini fiqih hanya menggunakan “wahyu” sebagai sumber, dimasa mendatang seharusnya
fiqih semestinya bisa menjadi teori-teori social modern sebagai rujukan dalam
mengambil sebuah hukum.Seperti halnya fiqih terhadap konsep kwarganegaraan dan
demokrasi.Agar fiqih dapat berinteraksi dengan konsep-konsep modern, sejatinya
harus membuka diri dan memahami konsep tersebut secara mendasar, tidak
imparsial. Fiqih tidak hadir sebagai konsep yang menafikan konsep lain,
melainkan fiqih dapat memberi ruh terhadap teori-teori modern.[25]
B.
Dasar
Fiqih Lintas Agama
Sebelum
kita membahas isi dari fiqih lintas agama lebih dalam, hendaknya kita
terlebihdahulu mengetahui dasar dari buku ini. Hal ini agar mempermudah dalam
memahami isinya. Dari analisis penuli, hasil membaca isi dari fiqih lintas
agama ini, maka menemukan sebuah kata kunci atau dasar dari terlahirnya sebuah
pemikiran tersebut, yaitu inklusifisme dan pluralisme.
1 1. Teologi
Inklusif-Pluralis
Dalam
kamus bahasa Indonesia arti dari kata teologi pengetahuan tentang Tuhan,
dasar-dasar kepercayaan kepada Tuhan dan agama berdasarkan pada kitab-kitab
suci. Selanjutnya dalam kamus filsafat disebutkan teologi secara sederhana
yaitu, suatu studi mengenai pertanyaan tentang Tuhan dan hubungannya dengan
dunia realitas. Kata teologi berasal dari kata theos yang artinya Tuhan dan logos
yang artinya ilmu atau pengetahuan.
Adapun
teologi menurut para ahli seperti menurut William L. Resse, teologi berasal
dari bahasa Inggris yaitu theologyada ialah
pemikiran tentang ketuhanan. Sedangkan menurut William Ockham, teologi adalah
disiplin ilmu yang membicarakan kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan
ilmu pengetahuan. Sedangkan di dalam The
New Oxford Illustrated Dictionary pengertian teologi dinyatakan sebagai
berikut: Science of religion, study of
God or gods, esp. of attributes and relations with man ect; yang berarti
ilmu agama, studi tentang Tuhan Yang Maha Esa atau Para Dewa, teristemewa
tentang atribut-Nya dan hubungannya dengan manusia, dan sebagainya.
Inklusifisme
dalam islam Perbedaan umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit,
bahasa, adat- istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan
fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah SWT.
Hal
ini tidak berarti kegiatan da’wah dalam Islam dihentikan. Malah sebaliknya,
seruan kepada Islam tetap menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslim sepanjang
hayatnya, namun dilakukan dengan penuh ”kebijaksanaan”, apalagi hal itu dilakukan
dalam rangka amar-ma’ruf dan nahi-munkar . Terhadap semua umat manusia, ajaran
agama juga memerintahkan untuk selalu berbuat baik dalam segala urusan. Bahkan
terhadap semua jenis makhluk lain dan lingkungan alam fisik di bumi ini pun,
agama sangat melarang umatnya untuk bertindak dhalim dan berbuat kerusakan.
Untuk meraih kepentingan bersama dan saling menguntungkan, Islam menganjurkan
kepada pemeluknya untuk membangun kerja sama yang harmonis.[26]
Dalam
ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok
yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka
hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi. Pluralisme
dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang
paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu
pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Pluralisme
Agama (Religious Pluralisme) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama.
Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan,
misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’
(mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara
pandang terhadap agama-agama yang ada.[27]
Jadi dasar
fiqih ini bukan aqidah Islam, melainkan teologi inklusif-pluralis. Sesuai
dengan penjelasan diatas bahwa Pluralisme berasal dari kata “plural” yang
berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan. Sedangkan
inklusif secara etimologi merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari bahasa
inggris “inclusive” yang memiliki
makna “termasuk di dalamnya”. Dalam hal ini, inklusifisme merupakan sikap yang
berpandangan bahwa diluar agama yang dipeluknya juga terdapat kebenaran dan
jalan keselamatan, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang di anutnya.
Inklusif pluralisme adalah sebuah asumsi yang meletakkan kebenaran
agama-agama sebagai kebenaran yang relatif dan menempatkan agama-agama pada posisi
setara, apapun jenis agama itu.
Pluralisme agama meyakini bahwa semua agama adalah jalan-jalan yang
sah menuju tuhan yang sama. Atau, paham ini menyatakan, bahwa agama adalah
persepsi manusia yang relatif terhadap tuhan yang mutlak, sehingga karena
kerelatifannnya maka seluruh agama tidak boleh mengklaim atau meyakini bahwa
agamanya yang lebih benar dari agama lain atau meyakini hanya agamanya yang
benar.[28]
QS. Al Ankabut, Ayat: 46
وَلاَ تُجَادِلُوْآ أَهْلَ
اْلكِتَبِ إِلَّا باِلَّتِى هِيَ أَحْسَنُ إِلَّا الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْهُمْ
وَقُوْلُوْآا ءَامَنَّا بِالَّذِيْ أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَأُنْزِلَ إِلَيْكُمْ
وَإِلَىهُنَاوَإِلَىهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُوْنَ.
Artinya:“Kamu janganlah
berbantah-bantahan dengan penganut kitab suci yang lain melainkan dengan suatu
(cara) yang lebih baik (misalnya; sopan, tenggang rasa), terkecuali terhadap
orang-orang yang zalim dari mereka. Dan katakanlah “kami beriman kepada dengan
ajaran (kitab suci) yang diturunkan kepada kamu.Tuhanmu dan tuhanku adalah satu,
dan kita (semua) pasrah (muslimun) kepadanya.”[29]
Inklusif
pluralis tidak hanya berkembang pada masa sekarang saja, namun inklusif
pluralis juga sudah ada pada zaman nabi
Muhammad Saw, sebagaimana diceritakan dalam Al-Qur’an: [30]
Al Maidah, Ayat: 43.
وَكَيْفَ يُحَكِمُوْنَكَ
وَعِنْدَهُمُ اْلتَوْرَاةُ فِيْهَا حُكْمُ اللهِ ثُمَّ يَتَوَلَّوْنَ مِنْ بَعْدِ
ذَالِكَ وَمَآ أُلىئِكَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ .
Artinya:
“Dan bagaimana mereka akan mengangkatmu menjadi hakim mereka
sedangkan mereka mempunyai taurat yang di dalamnya ada hukumAllah, nanti mereka
berpaling dari putusanmu setelah itu, sungguh mereka bukanlah orang yang
beriman.”[31]
Dari
ayat diatas diceritakan bahwa Allah menolak sikap kaum Yahudi ketika mendatangi
Nabi Muhammad Saw untuk memutuskan perkara mereka dengan hukum yang berasal
dari Al-Quran.Tapi bagaimana mereka (kaum Yahudi) meminta keputusan kepadamu
(Muhammad), sedangkan mereka mempunyai kitab sendiri yang bernama Taurat, di
dalamnya ada hukum-hukum Allah.Jadi pluralisme beragama sudah ada sejak masa
Nabi.
Dalam
menajamkan komitmen toleransi dan pluralism fiqih, diperlukan hermeneutika yang
setidaknya dapat melakukan perubahan yang sangat mendasar dalam tradisi fiqih
klasik. Pertama, mengimani teks sebagai produk budaya. Teks dan budaya adalah
dua mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan, jadi tatkala berbicara tentang
teks bearti berbicara tentang budaya, dan begitu juga sebaliknya. Karenanya
perlu dilakukan dekonstruksi keyakinan teologis dari eksistensi teks sebagai
wahyu tuhan, menjadi wahyu yang dibentuk dan disempurnakan oleh budaya.kedua,
mengimani teks sebagai wahyu progresif, sehingga tidak lagi menjadi idiologis
dan dijadikan alat justifikasi kekuasaan politik. Apabila terjadi pertentangan
antara teks dengan problem kemanusiaan, maka dengan sendirinya teks tidak dapat
digunakan.Ketiga, mengimani adanya paradigma emansipatoris yang sejalan dengan
komitmen wahyu, seperti al quran sebagai teks terbuka, kesetaraan, kemanusiaan,
pluralism, pembebasan, keadilan jender, tidak diskriminatif.[32]
Menurut
Nurcholish Madjid, dengan demikian, tidak bearti bahwa agama yang satu tidak
dapat diperbandingkan dengan yang lain. Maksudnya setiap agama itu partikular
tidak singular. Setiap agama itu mempunyai keunikan, tetapi tidak eksklusif.
Dengan
demikian dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa, artinya setiap agama mempunyai
partikulasi dan kekhasan sendiri-sendiri dan tidak dapat begitu saja
disamaratakan dengan yang lain. Namun itu tidak berarti tidak ada agama yang
begitu singular dan unik, sehingga tidak ada bandinganya. Dengan tetap
menghormati kekhasan masing-masing agama, kita seharusnya mengatakan bahwa
semua agama pada dataran yang sama. Ada perbedaan namun they are different
in degree, but not in kind. Berbeda dalam banyak hal tetapi tidak dalam
hakikat.
Selain
itu menurut Nurcholish Madjid, umat beragama harus menyadari bahwa sumber
terjadinya konflik antar agama sebenarnya bukan dari ajaran atau norma-norma
agama, melainkan dari sikap keberagaman yang kurang dewasa dan tidak sanggup
merespon kondisi zaman yang semakin plural. Tidak satu agamapun yang yang
melegitimasi tindak kekerasan dan kekejaman terhadap umat beragama lain. Semua
agama megajarkan agar manusia bersedia menolong sesama dan mencintainya sebagai
wujud dari kecintaan pada tuhan.[33]
Setidaknya
ada dua hal penting yang seharusnya dilakukan umat beragama untuk melakukan
dialog konstruktifis.
1.
Melakukan pemikiran kembali terhadap
konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju suatu era
pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi social.
2.
Melakukan
reformasi dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju kritisme radikal dan
pemikiran teologis yang inklusif, terbuka, dan pluralis dan bersedia menerima
umat beragama lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman
keagamaan kita.
Salah
satu prasyarat terwujudnya masyarakat modern yang demokratis adalah terwujudnya
masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta
mewujudkanya sebagai suatu keniscayaan. Masyarakat yang majemukan ini tentu
mempunyai budaya dan aspirasi yang beranekagam, tetapi seharusnya mereke
memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis
atau kelompok social dengan lainya. Akan tetapi kadang-kadang perbedaan ini
menimbulkan konflik antar mereka. Maka sebagai upaya untuk mengatasi masalah
ini dimunculkan konsep atau paham kemajemukan pluralisme.
C.
Topik
dalam Fiqih Lintas Agama
1 1. Pijakan Keimanan
Bagi Fiqih Lintas Agama
Bagi umat beragama, keimanan merupakan masalah fundamental dan
asasi. Fundamental karena setiap umat beragama harus memiliki keimanan, dan
asasi karena ia menjadi dasar keberagamaan. Sedemikian urgennya masalah
keimanan sehingga ia menjadi awal bagi setiap orang yang hendak menganut suatu
agama.[34]
Penulis
memualai masuk kedalam bagian Fiqih Lintas Agama dengan yang berkaitan dengan
paham keimanan pluralis sebagaimana yang tertera dalam buku Fiqih Lintas Agama.
Dari masalah tersebut akan berlanjut kepada beberapa peristilahan yang banyak
disebutkan dalam buku ini seperti istilah din dan syir’ah, ajaran kehanifan (hanafiyyah), makna Islam, ahli kitab,
dan kalimatun sawa’. Terdapat beberapa pendapat atau pandangan utama dalam buku
Fiqih Lintas Agama yang akan menjadi pokok pembahasan kita, antara lain:
1. Teologi
pluralis sangat diperlukan untuk dijadikan pijakan dalam membangun dan menjaga
hubungan harmonis antaragama. Tetapi teologi pluralis dalam arti ini adalah
teologi teoritis dan karena itu ia membutuhkan sebuah teologi praktis yang
merupakan pedoman untuk mempraktikkannya dalam situasi konkrit hubungan antar agama.
Teologi pluralis membutuhkan fiqh pluralis. Fiqh hubungan antaragama yang
sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqh pluralis. Fiqh ekslusivis hanya
sesuai dengan teologi eksklusivis.[35]
2. Sementara
din atau inti agama itu sama, kepada setiap golongan dari kalangan umat manusia
Allah menetapkan syir’ah (atau
syari’ah, yakni: jalan) dan minhaj
(cara) yang berbeda-beda, sebab Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu
dan sama dalam segala hal.[36]
Inti agama (Arab: din) dari seluruh rasul adalah sama (QS.
42:13), dan umat serta agama mereka itu seluruhnya adalah umat serta agama yang
tunggal (QS. 21:92; 23:52). Kesamaan dan kesatuan semua agama para nabi itu
adalah satu daudara lain ibu, namun agama mereka satu dan sama.
Sementara din atau inti agama itu sama, kepada setiap
golongan dari kalangan umat manusia Allah menetapkan syir’ah (atau
syari’ah, yakni, jalan) dan minhaj (cara) yang berbeda-beda, sebab
Allah tidak menghendaki umat manusia itu satu dan sama semua dalam segala hal.
Allah menghendaki agar mereka saling berlomba-lomba menuju kepada berbagai
kebaikan. Seluruh umat manusia akan kembali kepada Allah dan kelak Dialah yang
akan membeberkan hakikat perbedaan antara manusia itu (QS. 5:48).
Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa untuk setiap umat telah ditetapkan
Allah upacara-upacara keagamaan mereka yang harus mereka laksanakan. Berkaitan
dengan ini adalah keterangan dalam al-Qur’an bahwa setiap golongan atau umat
mempunyai wihjah (tempat mengarahkan diri), yang dilambangkan dalam konsep
tentang tempat suci seperti Makkah dengan Masjidil Haram dan Ka’bahnya untuk
kaum muslim. Umat manusia tdak perlu mempersoalkan adanya wihjah untuk
masing-masing golongan itu, dan yang penting ialah semuanya berlomba-lomba
menuju berbagai kebaikan. Di manapun manusia berada, Allah akan mengumpulkan
mereka semua menjadi satu (jami’an).
Penjelasan tersebut menegaskan prinsip-prinsip hubungan antar agama
yang dapat diturunkan dari al-Qur’an, yang menegaskan adanya pluralitas agama.
3. Perkataan
hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan benar dengan titik inti pandangan
Ketuhanan yang maha Esa atau tawhid; sedangkan perkataan muslim menunjukkan
pengertian sikap tunduk (din) dan
pasrah total hanya kepada kemurnian, kesucian dan kebenaranan itu, yang di atas
segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa (Islam).[37]
Kisah Nabi Ibrahim di atas mengantarkan kita pada pokok ajarannya,
yang sekarang dikenal dengan istilah tradisi agama Ibrahim. Menurut al-Qur’an,
Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Kristen, melainkan seorang yang hanif
dan muslim. Dua istilah hanif dan muslim itu menunjukkan kepada
pengertian “generik,” yaitu ajaran yang belum tertundukkan oleh ruang dan waktu
(sejarah) yang dapat menyebabkan hilangnya kemurnian serta memunculkan sifat
sektarian.
Perkataan hanif menunjukkan kepada yang murni, suci dan
benar dengan titik inti pandangan Ketuhanan yang Maha Esa atau tauhid.
sedangkan perkataan “muslim” menunjukkan kepada pengertian sikap tunduk (din)
dan pasrah total hanya kepada kemurnian, kesucian dan kebenaran itu, yang di
atas segalanya ialah tunduk dan pasrah total kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kedua
pengertian itu merupakan hakikat kemanusiaan yang paling asasi dan abadi,
sebagai kelanjutan atau konsekuensi adanya perjanjian primodial antara manusia
dan Tuhan untuk menghamba kepada-Nya, dan berbuat kebaikan yang bakal
menghantarkan kembali kepada penciptanya itu.
Dalam rangkaian seruan untuk menerima agama yang hanif, yang
merupakan fitrah manusia, diingatkan agar manusia memiliki semangat kembali
kepada-Nya, bertakwa kepada-Nya, menegakkan sembahyang, dan janganlah tergolong
kaum musyrik, yaitu mereka yang memecah belah agama mereka, lalu menjadi
berkelompok-kelompok, setiap golongan membanggakan apa yang ada pada mereka
(akibatnya, antara lain merasa paling benar). Maka, sementara agama kehanifan
yang menurut al-Qur’an memiliki sifat utama pandangan yang serba inklusivistik,
sistem keagamaan sektarian dan komunalistik memiliki sifat utama pandangan
serba eksklusivistik yang sering muncul dalam keagamaan kultus.[38]
Maka kembali kepada ajaran Ibrahim, sebutan sebagai “Bapak para
nabi” adalah justru karena secara geneologis menjadi nenek moyang para Nabi
Timur Tengah, termasuk Nabi Muhammad s.a.w. akan tetapi sebutan itu juga merupakan
perlambang bahwa agama yang diajarkan, yaitu kehanifan dan kemusliman sebagai
agama dan fitri, merupakan induk semua agama dimana saja. Kehanifan dan
kemusliman adalah agama semua nabi dan rasul yang telah diutus Tuhan kepada
setiap umat. Jika wujud lahiriahnya berbeda-beda, maka perbedaan itu di
akibatkan ketetapan syir’ah dan minhaj yang berlainan untuk setiap kelompok
dalam kurun waktu tertentu. Adanya perbedaan tersebut tidak perlu merisaukan
manusia, sebab yang penting ialah bagaimana masing-masing berlomba-lomba dalam
barbagi kebaikan. Hanya Allah yang punya hak untuk menjelaskan perbedaan itu
kelak.
Hakikat makna hanif dan muslim begitu mendasar, sehingga wajar jika
al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah tidak akan menerima pandangan hidup selain
ajaran sikap pasrah dan tunduk patuh kepada-Nya sebagaimana diajarkan oleh
semua nabi dan rasul. Lebih jauh lagi, sesungguhnya semua penghuni seluruh
jagad raya ini tunduk patuh kepada Allah, Sang Maha Pencipta. Maka barang siapa
menganut suatu pandangan hidup selain tunduk patuh kepada Allah, yaitu al-islam
ia dengan sendirinya akan tertolak, karena menyalahi hukum alam yang paling
hakiki itu.
4. Sekalipun
para nabi mengajarkan pandangan hidup yang disebut al-islam tidaklah berarti bahwa mereka dan kaumnya menyebut secara
harfiah ajaran mereka al-islam dan
mereka sendiri sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan
dalam bahasa Arab.[39]
Dari sudut pandang kaum Muslim, agama alam semesta ialah al-islam,
sikap pasrah yang total kepada Sang Maha Pencipta. Kitab Suci memberikan
berbagai ilustrasi tentang ketundukan, ketaatan dan kepasrahan alam semesta
kepada Tuhan.
Dari segi tasrif, perkataan islam adalah masdar dari kata
kerja aslama-yuslimu, sama halnya dengan perkataan iman yang
merupakan masdar dari kata kerja amana-yu’minu yang artinya mempercayai
atau memasrahkan diri atau bersikap pasrah.
Manusia disebut sebagai puncak ciptaan Tuhan karena ia mampu
mengenali benar dan salah, baik-buruk dan berkebebasan untuk menerima atau
menolaknya. Meskipun begitu, Islam menuntut manusia untuk tidak melupakan
hakikat dirinya sebagai hamba Allah yang harus taat dan pasrah kepada-Nya.
Bahkan tugas kekhalifahan itu pun harus dijalankan dalam rangkaian kesatuan
dengan tugas pengabdian. Manusia diwajibkan mematuhi hukum-hukum yang telah
ditetapkan untuk alam semesta, yaitu hukum ketundukan dan kepasrahan. Jika
tidak, berarti manusia menentang hukum alam semesta, yang juga berarti tidak
hidup sejalan dengan sesama ciptaan Allah.
Pada setiap pribadi manusia, wujud bimbingan Ilahi itu dimulai
dengan.adanya perjanjian primodial (terjadi sebelum lahir ke bumi) dalam suatu
kesaksian dan pengakuan oleh manusia bahwa Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Akibat
adanya perjanjian primodial, dalam diri manusia terdapat bibit kesucian dan
kebaikan yang muncul sejak dari penciptaan asal yang suci (fitrah). Akan
tetapi, sekalipun setiap pribadi manusia dilahirkan dalam fitrah yang suci,
tidak selamanya manusia memiliki sensitivitas fitrah yang diperlukan untuk
menangkap kebenaran. Meskipun manusia dapat menggunakan akal untuk bertahan
pada fitrah, tidak semua kebenaran dan kebaikan hakiki dapat ditangkapnya. Akal
merupakan perlengkapan hidup manusia sebagai anugerah yang amat penting dari
Tuhan. Manusia diperintahkan untuk menggunakan akalnya, karena dengan itu ia
dapat rintisan jalan ke arah kebenaran dan kebaikan.
Sebagaimana dari pengertian islam itu sendiri yaitu sikap tunduk
dan taat kepada Tuhan. Ajaran islam universal inilah yang merupakan
satu-satunya ajaran ketundukan atau din yang dibenarkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.
Di sini perlu digaris bawahi bahwa sekalipun para nabi mengajarkan
pandangan hidup yang disebut al-islam, tidaklah berarti bahwa mereka dan
kaumnya menyebut secara harfiyah ajaran mereka al-islam dan mereka sendiri
sebagai orang-orang muslim. Sebab semua itu adalah peristilahan dalam
bahasa arab, sementara para nabi dan rasul sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an dibangkitkan Allah dengan menggunakan bahasa kaumnya masing-masing.
Oleh karena itu penyebutan para nabi dan rasul beserta para pengikut mereka
sebagai orang-orang muslim dan ajaran atau agama mereka sebagai
al-islam dalam arti generik tetap benar dan dibenarkan, hanya saja sedikit
melibatkan masalah kebahasaan.[40]
5. Ahl
al-kitab dapat dipahami sebagai petunjuk tentang kesinambungan tradisi
agama-agama Ibrahim. Ahli kitab secara harfiah berarti “yang mempunyai kitab”
ialah konsep yang memberikan pengakuan tertentu kepada para penganut agama
diluar Islam yang memiliki kitab suci.[41]
Sehubungan dengan pandangan mengenai titik temu agama-agama, konsep
islam mengenai ahl al-Kitabdapat dipahami sebagai petunjuk tentang
kesinambungan tradisi agama-agama Ibrahim. Ahli kitab ialah konsep yang memberi
pengakuan tertentu kepada para penganut agama di luar islam yang memiliki kitab
suci. Sikap ini tidaklah bermaksud memandang semua agama sama. Suatu hal yang
mustahil, mengingat agama-agama yang ada berbeda-beda dalam banyak hal yang
prinsipal. Akan tetapi, sikap islam ini bermaksud memberi pengakuan sebatas hak
masing-masing untuk bereksistensi dengan kebebasan menjalankan agama mereka
masing-masing.[42]
Sebutan Ahli Kitab dengan sendirinya tertuju kepada golongan bukan
muslim, dan tidak ditujukan kepada kaum muslim sendiri meskipun mereka ini juga
menganut kitab suci yaitu al-Qur’an. Ahli kitab tidak tergolong kaum muslim,
karena mereka tidak mengakui atau bahkan menentang kenabian dan kerasulan Nabi
Muhammad serta ajaran yang beliau sampaikan. Oleh karena itu dalam terminologi
al-Qur’an mereka disebut kafir yakni menentang atau menolak ajaran yang dibawa
Nabi Muhammad SAW.
Umat Yahudi dan Nasrani mempunyai kedudukan yang khusus dalam
pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim
(Islam). Dengan kata lain, umat islam mempercayai bahwa agama mereka adalah
kelanjutan dan penyempurnaan dari dua agama tersebut. Inti ajaran yang di
sampaikan Allah kepada nabi Muhammad adalah sama dengan inti ajaran yang
disampaikan kepada semua nabi. Oleh karena itu sesungguhnya seluruh umat
pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal.[43]
Terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang sangat positif dan simpatik
kepada kaum ahli kitab, sementara tafsiran menyatakan bahwa karena sikap
penerimaan mereka terhadap kebenaran tersebut, mereka bukan lagi kaum Ahli
Kitab, melainkan sudah menjadi kaum Muslim. akan tetapi karena dalam ayat-ayat
itu tidak disebutkan bahwa mereka beriman kepada Rasulullah Muhammad SAW,
meskipun mereka percaya kepada Allah dan hari kemudian sebagaimana agama-agama
mereka sendiri sudah mengajarkan, mereka secara langsung ataupun tidak langsung
termasuk yang menentang nabi atau bukan golongan Muslim. tetapi, bagaimanapun
oleh karena sikap positif mereka kepada Nabi dan kaum beriman, kaum muslim
dipesan untuk juga tetap bersikap positif dan adil selama mereka tidak memusuhi
dan tidak pula merampas harta kaum beriman itu.
Maka, meskipun al-Qur’an melarang kaum beriman untuk bertengkar
atau berdebat dengan kaum ahli kitab khususnya berkenaan dengan masalah agama,
kaum beriman dibenarkan untuk membalas setimpal terhadap mereka yang telah
berbuat zalim.[44]
6. Ahli
kitab bukan hanya Yahudi dan Nasrani saja, tetapi Hindu, Budha, Majusi dan
sebagainya juga termasuk ahli kitab.[45]
Setelah kita melihat adanya konsepsi Ahli Kitab yang inklusif di
atas, terdapat beberapa perbedaan pendapat di kalangan para ulama, apakah ada
ahli kitab diluar kaum Yahudi dan Nasrani. Imam syafi’i menganggap bahwa
istilah Ahli Kitab hanyalah untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan
Israel, bukan bangsa-bangsa lain. Tetapi pendapat ini dibantah oleh Imam Abu
Hanifah yang menganggap bahwa siapapun yang mempercayai seorang nabi yang
pernah di turunkan Allah maka ia adalah ahli kitab. Al-Qur’an sendiri menyebut
kaum Yahudi dan Nasrani sebagai yang jelas-jelas ahli kitab. Akan tetapi
Al-Qur’an juga menyebutkan beberapa kelompok agama lain, yaitu kaum majusi dan
sabi’in.[46]
Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama, apakah Ahli Kitab
termasuk musyrik atau tidak. Fahrurrazi, seorang penulis Tafsir al-Kabir misalnya
secara tegas menyebut mereka itu sebagai musyrik, sehingga status hukum
tertentu yang berlaku bagi mereka sama dengan yang diterapkan pada kaum
musyrik. Akan tetapi sebagian besar ulama tidak berpendapat demikian.Namun ibn
taimiyah menolak pandangan itu dengan argumen sebagai berikut: sesungguhnya
ahli kitab tidaklah termasuk ke dalam kaum musyrik. Menjadikan (memandang) ahli
kitab bukan kaum musyrik dengan dalil firman Allah QS. 22: 17.[47]
7. Bahwa
dalam pengertian yang benar tentang Tuhan, masalah nama bukanlah hal yang
asasi; yang asasi ialah pengertiannya.[48]
Meskipun para pemeluk kitab suci: al-qur’an, taurat dan injil
menyadari beberapa perbedaan di antara mereka, al-qur,an dan didukung oleh
kajian keagamaan modern lebih banyak memandang adanya titik-titik persamaan
dibandingkan titik-titik perbedaannya. Maka pada prinsipnya kitab-kitab suci
tersebut tidak boleh di konfrontasikan, tetapi justru harus dicari dan dihayati
dasar-dasar pertemuannya.[49]
Al-Qur’an seperti sudah di katakan di atas, melarang orang islam
berdebat dengan para penganut kitab suci, kecuali dengan cara yang lebih baik
atau sopan. Kaum muslim diperintahkan untuk menyatakan kepada ahli kitab bahwa
mereka beriman kepada ajaran yang diturunkan kepada ahli kitab, dan bahwa tuhan
mereka dan tuhan ahli kitab adaah samayaitu tuhan yang maha esa, dan semuanya
adalah orang-orang yang pasrah kepada tuhan yang maha esa. Segi persamaan yang
sangat asasi antara semua kitab suci adalah ajaran ketuhanan Yang Maha Esa.[50]
Perbedaan tentang konsep sesembahan ini tetap ditegaskan al-qur’an.
Hal itu menunjukkan bahwa dalam pengertian yang benar tentang tuhan, masalah
nama bukanlah hal yang asasi, yang asasi ialah pengertiannya. Atas dasar
persamaan tersebut, al-Qur,an memuat perintah Allah kepada Nabi saw agar
berseru kepada semua penganut kitab suci untuk berkumpul dalam titik
kesamaan yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bahkan kepada kaum yahudi dan kaum nasrani pun diserukan untuk mentaati
ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak
menjalankan ajaran yang diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang
dzalim, dan orang-orang fasik.[51]
Hal
diatas adalah sebuah ringkasan pijakan Keimanan bagi buku Fiqih Lintas Agama
dari bagian pertama isi buku. Yang penulis simpulkan dari halaman 17 sampai 57.
Hal ini sangat penting dipahami terlebih dahulu, karena dari sebuah konsep itu
akan mempermudah kita dalam memahami isi selanjutnya.
2 2. Fiqih yang Peka Keragaman Ritual Meneguhkan Inklusivisme Islam.
Selanjutnya kita memasuki bagian
kedua dari isi buku Fiqih Lintas Agama, disini Konteks
hukum dari pijakan buku Fiqih lintas Agama akan lebih terasa karena produk dari
teologi inklusif-pluralis ada dalam bagian ini.
a.
Mengucapkan Salam kepada non-Muslim.
Sering kali dijumpai pertanyaan,
bagaimanakah hukumnya mengucapkan salam kepada non muslim? Hukum suatu masalah
baru bisa ditetapkan apabila diketahui konteks dan situasinya, yang dengan
demikian diketahui kemaslahatan dan kemadharatanya.Bukan hukum ditetapkan terlebih
dahulu dan kemudian hukum itu ditetapkan kepada semua peristiwa. Hukum harus
tunduk kepada kemaslahatan dan hikmah. Tidak boleh kebalikan, kemaslahatan
harus tunduk kepada hukum. Disini kemaslahatan adalah tujuan syariah, sedangkan
hukum adalah cara atau jalan untuk mencapai tujuan itu.[52]
Sangat ironis Islam disebut sebagai
agama salam(keselamatan, kedamaian, kesejahteraan), karena penetapan
hukum dan normanya yang kaku dan eksklusif berubah menjadi sumber kebencian dan
permusuhan.
Al-salam (salam) adalah
pemberitahuan tentang keamanan dan kedamaian karena adat (kebiasaan) antara
pihak-pihak yang berperang adalah bahwa satu pihak tidak saling mengucapkan
salam kepada pihak lain. Adat jahiliyah adalah jika mereka saling mengucapkan
salam, mereka tidak saling memerangi. Karena alasan ini, tidak boleh bagi orang
muslim mengumpat siapa yang mengucapkan salam kepadanya dan tidak boleh pula
bangkit untuk melukainya karena perbuatan seperti itu mengingkari apa yang
diberikannya dan keamanan yang diberitahukannya.[53]
Mengucapkan salam adalah perbuatan menanam kasih sayang dan cinta
dalam kalbu. Kesedihan, perlawanan dan penolakan yang mungkin ada dalam kalbu
orang-orang yang di cintai akan hilang lenyap dengan ucapan selamat. Buruk
sangka dan saling mencurigai yang mungkin ada dalam kalbu musuh akan berbalik
menjadi kepercayaan dengan ucapan selamat.[54]
Makna zahir ungkapan “siapa yang engkau kenal dan siapa yang tidak engkau
kenal”. Dalam hadits ini menunjukkan keumuman pada seluruh manusia, baik yang
beriman maupun yang kafir, baik yang mengadakan perjanjian damai maupun yang
berperang, karena makna zahir ini menunjukkan bahwa salam adalah milik Allah,
bukan untuk pemenuhan hak pengenalan.[55]
Sekelompok lain berpendapat bahwa keumuman ini dikhususkan bagi
orang-orang muslim. Maka seorang Muslim tidak boleh memulai mengucapkan salam
kepada orang kafir karena larangan Nabi SAW melalui sabdanya: “ jangan kamu
memulai (mengucapkan) salam kepada orang-orang yahudi dan nasrani. Jika kamu
menjumpai salah seorang dari mereka di jalan, desakkah dia ke pinggir.” Hadis
ini diriwayatkan oleh al-bukhari.[56]
Sebagian lain berpendapat bahwa keumuman ini muncul pertama kali
untuk kemaslahatan kerukunan, kesatuan, dan saling kasih sayang, tetapi
kemudian datang larangan mengucapkan salam kepada orang-orang kafir. Maka
keumuman ini dihapus.[57]
Pada suatu hadis dari Abu Hurairah
dijelaskan watak Islam yang menekankan kedamaian, kelemahan dan kelembutan yang
ditandai dengan Nabi Muhammad memulai surat yang dikirimkan kepada raja Negus
(Najasyi) dengan mengucapkan salam. Selain itu fatwa larangan mengucapkan salam
kepada non muslim ternyata tidak disetujui oleh semua ulama. Peristiwa yang
terjadi di suatu seminar agama-agama di kota kecil di Jawa Tengah, ketika
seorang ulama besar mengucapkan salam kepada para peserta seminar yang semuanya
adalah seorang Kristen. Ulama mengucapkan salam kepada peserta seminar untuk
kemaslahatan, yaitu persaudaraan, kehangatan, dan persahabatan.
Oleh karena itu penetapan hukum
mengucapkan salam kepada orang-orang non muslim harus berdasar kepada
kemaslahatan dan hikmah. Di Indonesia banyak orang muslim dan non muslim
bersahabat, atau paling tidak, tidak bermusuhan. Dalam konteks seperti itu,
bertolah dari kemaslahatan dan hikmah mengucapkan salam kepada orang-orang non
muslim tidaklah dilarang atau diperbolehkan.[58]
b.
Mengucapkan “Selamat Natal” dan Selamat Hari Raya Agama-agama Lain.
Kebiasaan mengucapkan “selamat natal” di indonesia sebagaimana di
negara-negara lain, dilakukan bukan hanya oleh orang-orang kristen, tetapi juga
oleh orang-orang non-kristen, termasuk kaum muslim. banyak ulama berpendapat
bahwa mengucapkan “selamat natal” dilarang oleh ajaran islam. Di antara alasan
larangan ini adalah bahwa mengucapkan “selamat natal” berarti membenarkan
ajaran kristen. Alasan lain: bid’ah. Alasan lain menyerupai orang-orang kafir.
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa majelis ulama indonesia (MUI)
juga mengeluarkan fatwa yang mengharamkan umat islam mengucapkan “selamat
natal” dengan alasan teologis di atas.[59]
Pendapat Quraish Shihab ini tidak mudah dipahami. Beliau mengatakan
bahwa mengucapkan dan membaca Selamat Natal tidak dilarang, dan mengucapkan
selamat kepada siapa saja tidaklah keliru, tetapi ucapan selamat natal yang
beliau maksud adalah ucapan selamat natal yang di ucapkan Nabi Isa. Selamat
dengan tanda petik disini dapat di artikan ucapan atau kata selamat. Apabila
ini yang dimaksud selamat, maka mengucapkan ucapan selamat natal dan
ucapan-ucapan lain yang menggunakan kata selamat tidak di larang.[60]
Berkaitan dengan pendapat ini, sebuah pertanyaan akan muncul.
Apakah yang tidak dilarang menurut pendapat ini adalah membaca ayat Al-Qur’an
(QS. 19:33) yang bermakna selamat natal atau mengucapkan ucapan selamat natal
dengan memahami dan memahami ayat al-Qur’an (QS. 19:33) Yang mengabadikan
ucapan nabi Isa ? jawaban yang paling tepat adalah: yang tidak dilarang menurut
pendapat ini adalah mengucapkan ucapan selamat natal dengan memahami dan
menghayati ayat al-Qur’an (QS. 19.33) yang mengabadikan ucapan nabi Isa.
Apakah orang-orang Muslim yang mengucapkan ucapan selamat natal
memahami dan menghayati ucapan itu? apabila tidak, apabila tidak, mengucapkan
ucapan selamat natal tidak dilarang. Apakah ucapan selamat natal bagi
orang-orang muslim tidak lebih dari sekedar ucapan selamat untuk pergaulan dan
persaudaraan seperti selamat pagi, selamat siang, selamat sore, dan selamat
ulang tahun tanpa dihayati? Apabila ya, mengucapkan selamat natal tidak
dilarang. Apakah ucapan selamat natal membuat orang-orang muslim yang
mengucapkannya percaya pada ajaran kristen tentang Isa al-Masih? Apabila tidak,
mengucapkan ucapan selamat natal tidak di larang.[61]
c.
Doa Bersama (Doa Antaragama)
Doa dalam islam adalah seruan, permintaan, dan permohonan
pertolongan dan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’alasupaya supaya
terhindar dari bahaya dan mendapatkan manfaat.[62]
Do’a bersama pernah dilakuakn di Mesir, negara ini merupakan salah
satu negara yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Sejak awal 1990-an
orang-orang Muslim dan orang-orang Kristen yang bergabung dalam persaudaraan
keagamaan (al-Ikha al-Dini), sebuah
asosiasi persaudaraan keagamaan IslamiKristen di Kario, sering mengadakan
pertemuan untuk berdo’a, baik dengan ekspresi bebas wakil-wakil dari
masing-masing agama maupun dengan membaca sebuah teks bersama untuk semua
peserta.[63]
Doa bukan hanya milik islam, tetapi juga milik agama-agama lain.
Dapat dikatakan bahwa doa adalah fenomena umum yang dapat ditemukan dalam semua
agama. Dewasa ini kelompok-kelompok dari tradisi-tradisi keagamaan yang
berbeda, seperti di kemukakan di atas, sering mengadakan acara doa bersama.
Perbedaan tradisi-tradisi keagamaan tidak menghalangi mereka untuk mengadakan
doa bersama. Doa bersama, sebenarnya adalah suatu bentuk perjumpaan dan dialog
antara kelompok-kelompok dari tradisi-tradisi keagamaan yang berbeda. Oleh
sebab itu, doa bersama dapat disebut doa antar iman atau doa antar agama.
Menurut Nicholas Jonathan Woly, seorang sarjana teologi dari
protestan Indonesia, doa dapat di klasifikasikan ke dalam empat tipe.[64]
1.
Adalah
do’a yang dilakukan ketika para pengikut dari suatu kelompok keagamaan atau
anggota manapun dari kelompok itu berdoa untuk orang-orang yang menjadi anggota
komunitas iman atau agama lain.
2.
Do’a
ketika seorang individu atau suatu kelompok keagamaan meminta doa untuknya atau
untuk mereka sendiri dari orang-orang lain yang bukan dari iman yang sama atau
agama yang sama.
3.
Do’a yang dilakukan ketika pada suatu
peristiwa yang dihadiri oleh para penganut agama-agama yang berbeda, satu orang
memimpin mereka semua dalam melakukan doa itu.
4.
Do’a
pada suatu peristiwa atau pertemuan yang dipimpin oleh para wakil dari
masing-masing agama yang para anggotanya hadir dalam pertemuan itu dengan cara
mereka masing-masing.
3 3. Fiqih Menerima Agama Lain Membangun Sinergi Agama-Agama
Berbagai persoalan yang diperbincangkan dalam bagian terdahulu
memperlihatkan betapa fiqih dapat dijadikan instrumen untuk membuka kerangka
kerjasama antar agama. Isu-isu yang sementara ini di tengarai menjadi kendala
hubungan antar agama, seperti kecenderungan menomor duakan pemeluk agama lain,
ternyata tidak berpijak di atas prinsip-prinsip keagamaan yang kokoh, sehingga
dapat di dekonstruksi dengan menghadirkan kembali wajah fiqih yang lebih
humanis.
a.
Kawin Beda Agama
Dalam banyak kasus di masyarakat kita masih muncul resistensi yang
begitu besar terhadap kawin beda agama. Umumnya, dalam persoalan halal dan
haramnya kawin antar umat beragama, para ulama selalu berpegang pada ayat-ayat
al-Qur’an seperti yang dikutip dibawah ini:
Nikah beda
agama dibolehkan antara muslimah dengan ahli kitab karena ahli kitab bukanlah
termasuk pelaku syirik sebagaimana ditegaskan.[65]
Q.S. Al-Baqarah Ayat: 221.
وَلاَتَنْكِحُوْا
اْلمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَنَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌمِّنْ مُّشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلاَتُنْكِحُوْا الْمُشْرِكِيْنَ حَتَّى يَؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مَّنْ مُشْرِكٍ وُلُوْ أَعْجَبَكُمْ أُلَىئِكَ
يَدْعُوْنَ إِلَى الْنَّارِ وَاللهُ يَدْعُوآ إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيّنُ ءَايَاتِهِ
لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَرُوْنَ .
Artinya:“Janganlah kamu menikah
dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Juga
janganlah menikahkan (perempuanmu) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka
beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada seorang laki-laki
musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka kaum musyrik akan membawa ke dalam
api neraka.[66]
Ayat berikutnya yang artinya adalah:
“Hai orang-orang yang beriman! Jika perempuan-perempuan beriman
datang berhijrah kepadamu, ujilah mereka; Allah mengetahui keimanan mereka;
bila sudah kamu pastikan mereka perempuan-perempaun beriman, janganlah
kembalikan mereka kepada kaum kafir, mereka kaum mukmin wanita tidaklah halal
sebagai istri bagi mereka kaum kafir, dan mereka kaum kafir pun tidak halal
sebagai suami bagi mereka kaum mukmin wanita. Dan berikanlah kepada mereka kaum
kafir apa maskawin yang telah mereka bayar. Kemudian, tiada salah kamu menikah
dengan mereka kaum mukmin wanita, asal kamu bayar mas kawin mereka. Dan
janganlah kamu berpegang kepada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan
kafir, dan hendaklah kamu minta mas kawin yang telah kamu bayarkan, dan biarlah
mereka orang-orang kafir meminta apa yang telah mereka bayarkan maskawin dari
perempuan yang datang kepadamu. Itulah ketentuan Allah, Ia memberikan keputusan
yang adil antara kamu. Dan Allah Maha Tahu, Maha Bijaksana” (QS. 60: 10).
Memang, bila membaca ayat ini secara literal akan di dapatkan
kesimpulan yang bersifat serta merta, bahwa menikahi non-muslim hukumnya haram.
Cara pandang seperti ini dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih
beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim,
termasuk di antaranya kristen dan yahudi. Namun, pertanyaan yang perlu
dikemukakan adalah apakah non-muslim (kristen dan yahudi) termasuk dalam
kategori musyrik? Kalau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan musyrik dalam
al-Qur’an?
Sebagian ulama, sebagaimana di akui imam al-Razi, berpandangan
bahwa dalam beberapa ayat di dalam al-Qur’an menyebut kristen dan yahudi
sebagai musyrik. Kategori musyrik dalam kedua agama samawi tersebut dikarenakan
orang-orang yahudi menganggap Uzair sebagai anak Tuhan, sedang orang-orang
kristen menganggap al-Masih sebagai anak Tuhan, sebagaimana akan di ulas nanti.
Dalam sebuah hadits juga dijelaskan bahwa Rasulullah SAW telah menyuruh salah
seorang pemimpin / gubernur bila bertemu dengan sejumlah orang-orang musyrik
hendaklah mengajak mereka agar masuk islam. Bila mereka mau masuk islam, maka terimalah.
Dan jika tidak, maka suruhlah mereka membayar jizyah dan menandatangani akad
dzimmah.
Namun, pandangan ini tidak serta merta bisa dijadikan pegangan,
karena dalam ayat lain ditemukan
paradigma lain tentang musyrik. Mari kita lihat bagaimana al-Qur’an secara
cermat dan jelas membedakan pengertian antara kaum musyrik dan ahli kitab.
Dalam surat al-Baqarah, 2:105, Allah berfirman artinya: “Orang-orang kafir dari
ahli kitab dan orang-orang kafir musyrik tidak menginginkan diturunkannya suatu
kebaikan kepadamu dari Tuhanmu...” Dalam surat al-Bayyinah, 98:1, Allah juga
menyebutkan “Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang kafir musyrik
tak akan melepaskan kepercayaan mereka sampai datang kepada mereka bukti yang
nyata.[67]
Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Qur’an memakai
kata penghubung “dan” (al-Qur’an: waw) antara kata kafir ahli kitab dan
kafir musyrik. Ini berarti bahwa kedua kata ahli kitab dan musyrik itu
mempunyai arti dan makna yang berbeda. Sebelum menjelaskan perbedaan makna
antara kedua kata itu, perlu kiranya disini diberikan terlebih dahulu beberapa
catatan keterangan tentang makna kafir.
Kata kafir (kufr) dari segi bahasa berarti menutupi,
istilah-istilah kafir (kufr) yang terulang sebanyak 525 kali dalam
al-Qur’an, semuanya dirujukkan kepada arti “menutupi”, yaitu menutup-nutupi
nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai sumber
kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang di sampaikan
melalui rasul-rasul-Nya.[68]
Seperti keimanan yang dimiliki oleh setiap orang beriman tidak sama
tingkatannya antara satu dengan yang lainnya, demikian juga kekafiran. Karena
itu ada beberapa jenis kekafiran yang disebutkan al-Qur’an, di antaranya:
a.
Kafir
(kufr) ingkar, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi
Tuhan, rasul-rasul-Nya dan seluruh ajaran yang mereka bawa.
b.
Kafir
(kufr) juhud, yakni kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran
Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang di ingkari itu adalah kebenaran.
c.
Kafir
munafik, yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, rasul dan ajaran-ajarannya dengan
lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan iman dan menyembunyikan
kekafiran.
d.
Kafir
syirik, berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu, selain
dari-Nya, sebagai sembahan, obyek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan
harapan dan dambaan, syirik di golongkan sebagai kekafiran sebab perbuatan itu
mengingkari kekuasaan Tuhan, juga mengingkari nabi-nabi dan wahyu-Nya.
e.
Kafir
nikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat itu pada
hal-hal yang tidak diridhai-Nya. Orang-orang muslim pun dapat masuk dalam
kategori ini.
f.
Kafir
murtad, yakni kembali menjadi kafir sesudah beriman atau keluar dari islam.
g.
Kafir
ahli kitab, yakni non muslim yang percaya kepada nabi dan kitab suci yang
diwahyukan Tuhan melalui nabi kepada mereka.
Hukum perkawinan lintas agama menurut empat mazhab, disini akan
diuraikan pendapat-pendapat tersebut. Sebagaimana diuraikan pada pembahasan
terdahulu, bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam
dengan seorang laki-laki non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka
jumhur ulama sepakat menyatakan hukum perkawinan tersebut haram, tidak sah.
Akan tetapi apabila perkawinan tersebut antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita non-muslim baik ahlul kitab atau musyrik, maka para ulama berbeda
pendapat mengenai siapa yang disebut perempuan musyrik dan ahlul kitab
tersebut.[69]
1.
Mazhab
Hanafi
Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim
dengan wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan
mengawini wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut
meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab
tersebut memiliki kitab samawi.
Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa
saja yang mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT,
termasuk juga orang yang percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang
yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh
dikawini. Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini,
perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh
tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar,
sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih,
alasan mereka adalah karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman
arak dan menghalalkan daging babi.
2.
Mazhab
Maliki
Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai
dua pendapat yaitu: pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik
dzimmiyah (Wanita-wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang
tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah
lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya
haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara
mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Sad al Zariah
(menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan
yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkan.
3.
Mazhab
Syafi’i
Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh
menikahi wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab
menurut mazhab Syafi’I adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang
bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut
Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan mazhab ini adalah : Pertama, karena
Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.
Kedua, Lafal min qoblikum
(umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua kelompok
golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel. Menurut mazhab ini yang termasuk
Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama tersebut sejak
semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum
Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani
sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab,
karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.
4.
Mazhab
Hambali
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda
agama ini, mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek
menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan
beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i.
Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan
Nasrani dari Bangsa Israel saja, tapi menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut
Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi, ada beberapa syarat harus dipenuhi dalam
melakukan perkawinan beda agama dan kebolehan ini harus memenuhi beberapa
syarat tersebut, yaitu:
1.
Terlebih
dahulu harus menyakini keberadaan perempuan tersebut sebagai ahli kitab. Dalam
artian, bahwa perempuan tersebut benar-benar percaya dengan agama samawai
seperti Yahudi dan Nasrani. Secara umum, perempuan tersebut percaya kepada
Allah, ajaran-ajaran-Nya dan hari akhirat. Lebih dari itu, ia tidak atheis dan
tidak murtad dari agamanya, dan tidak mempercayai agama yang tidak mempunyai
keterkaitan yang jelas dengan langit.
2.
Perempuan
ahli kitab ini harus menjaga kesuciannya dan kehormatannya (afifab wa muhshanab).
3.
Hendaknya
tidak menikahi perempuan ahli kitab yang berasal dari keluarga yang memusuhi
dan memerangi kaum muslimin.
4.
Hendaknya
di balik pernikahan dengan perempuan ahli kitab tidak mengakibatkan fitnah dan
bahaya yang terjadi atau dibenarkan.[70]
Kekhawatiran Amirul Mukminin Umar bin Khatab dalam suatu kisah yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Hasan dalam kitabnya al-Atsar bahwa telah sampai kepadanya suatu kabar tentang
menikahnya seorang sahabat yang terhormat, Hudzaifah bin Al-Yaman, dengan
seorang perempuan Yahudi sedangkan sahabat tersebuat berada di Madain. Lalu
Umar menulis surat kepadanya: “Aku berharap dengan sungguh-sungguh kepadamu
agar tidak meletakkan kitabku ini hingga engkau melepaskan (istrimu).
Sesungguhnya, aku khawatir kaum muslimin akan mengikuti jejakmu, kemudian
mereka memilih perempuan-perempuan ahlu
dzimmah karena kecantikan mereka. Cukuplah hal demikian itu menjadi fitnah
bagi kaum muslimin.[71]
Jadi penulis mencoba mengambil suatu kesimpulan dari bebrapa
pendapat yang diterangkan diatas dan dari isi buku Fiqih Lintas Agama, bahwa
boleh dilaksanakn perkawinan lintas agama asal ahli kitab.
Didalam buku karangan Daud Rasyid, menurut Nurcholish Madjid, dalam
makalahnya setebal 32 halaman termasuk catatan kaki, bahwa semua agama-baik
yang samawi, seperti Islam, Yahudi, dan Kristen, maupun yang non samawi seperti
Hindu, Buddha, dan sebagainya adalah sama. Menurut Nak Nur, semua pemeluk agama
di luar Islam itu adalah ahli kitab.[72]
b.
Waris Beda Agama
Ayat yang digunakan sebagai landasan hukum adalah ayat yang
berbunyi: Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang Kafir untuk
menundukkan (memusnahkan) orang-orang mukmin (QS. 4: 141). Sedangkan hadits
yang digunakan landasan normatif, yaitu Seorang muslim tidak mewarisi kepada
orang-orang kafir, begitu pula orang kafir tidak mewarisi kepada orang Muslim.
Ibn Rusyd mengakui bahwa sebagian besar ulama melarang atau
mengharamkan waris beda agama, terutama melarang atau mengharamkan waris beda
agama, terutama berdasarkan ayat dan hadits di atas.[73]
Namun, masih terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum seorang
Muslim mewarisi non-Muslim. para ulama terbelah dalam dua pendapat. Pertama,
mereka yang mutlak menolak waris beda agama, baik seorang Muslim mewarisi
seorang kafir atau sebaliknya, berdasarkan dalil di atas.
Kedua, mereka yang membolehkan hukum seorang muslim mewarisi
seorang kafir dan mengharamkan kebalikannya. Ini berdasarkan analogi (qiyas)
diperbolehkannya pernikahan seorang muslim dengan wanita non muslim (ahli
kitab), sebagaimana disinyalir dalam surat al-Maidah ayat 5.
Pamandangan ini menjelaskan bahwa para ulama terdahulu masih
mencoba untuk mencari “jalan alternatif” dalam kaitannya dengan agama lain.
Salah satu buktinya, dalam hukum yang berkaitan dengan agama lain, seperti
waris beda agama, selalu ada berbagai pandangan yang menegaskan adanya
perbedaan cara pandang terhadap agama lain. Dalam pandangan yang lebih jauh,
hal-hal yang dilarang dalam hak waris (mawani’ al-irtsi) bukan merupakan hal
yang baku dan absolut. Sewaktu-sewaktu hukum tersebut bisa berubah sesuai
dengan konteks yang berbeda. Dulu, tatkala hukum waris ini turun, memang harus
diakui adanya kekhawatiran dan ketakutan terhadap non muslim.[74]
Dalam pandangan yang lebih mendasar, ayat yang digunakan para ulama
fiqih di atas merupakan ayat yang tidak menunjuk langsung pada pengharaman
waris beda agama, melainkan hadits yang bersifat umum. Karenanya, ayat tersebut
tidak bisa secara serta merta bisa dijadikan landasan untuk melarang waris beda
agama.
Sejatinya hukum waris harus dikembalikan
pada semangat awalnya yaitu dalam konteks keluarga (ulu al-arham), keturunan (nasab),
dan menantu (sakhr), apapun agamanya.
Yang menjadi tujuan utama dalam waris adalah mempererat hubungan keluarga. Dan
logikanya, bila Islam menghargai agama lain dan mempersilahkan pernikahan
dengan agama lain, maka secara otomatis waris beda agama diperbolehkan.[75]
4. Meretas Kerjasama Lintas
Agama
Berbagai persoalan yang telah disinggung pada bagian terdahulu
memperlihatkan betapa betapa fiqih dapat dijadikan instrumen untuk membuka
kerangka kerjasama antar pemeluk agama yang harmonis.Issu-issu yang yang
sementara ini ditengarai menjadi kendala hubungan antar agama, seperti
kecenderungan menomorduakan pemeluk agama lain, ternyata tidak berpijak di atas
prinsip-prinsip keagamaan yang kokoh.Oleh karena itu rekonstruksi pemahaman
atas doktrin sosial agama menjadi variabel yang sangat mendesak untuk
diwujudkan, sebagai sarana fital untuk melapangkan hadirnya iklim dialog
antaragama yang lebih harmonis dan dinamis.
Istilah toleransi dan kerukunan antar umat beragama yang
diprakarsai oleh Depag. Ketika Prof. Dr. Mukti Ali ketika menjadi mentri agama
pada tahun 1971-1978, ia membentuk proyek kerukunan hidup antar umat beragama
yang menyelenggarakan dialog antar tokoh-tokoh agama. Depag juga membentuk
wadah musyawarah antar umat beragama, wadah ini dibentuk bersama-sama dengan
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI),
Parisarda Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Perwakilan Umat Budha Indonesia
(WALUBI).[76]
Secara singkat dialog antar agama dapat berlangsung dengan berbagai
bentuk, diantaranya adalah dialog kehidupan, dialog kerja social, dialog
teologis, dan dialog spiritual. Dari dialog-dialog yang di lakukan membengun
sebuah kerjasama antar agama dengan baik.Dari dialog anatar agama inilah
kemudian diwacanakan kerjasama antar agama, dengan tujuan-tujuan yang
disesuaikan dengan tuntutan situasi dan kebutuhan masing-masing peserta
dialog.Misalnya, dewasa ini muncul kebutuhan untuk mewacanakan antar agama
dilakukan untuk ikut memberikan kontribusi bagi tujuan-tujuan tersebut. Kerja
sama juga dilakukan seperti pendidikan, kesehatan, penanggulangan kemiskinan,
narkoba, bencana alam, penanganan konflik dan lain sebagainya.
Ada banyak bentuk kerjasama yang dilakukan antar agama seperti
halnya, di Prancis, Inayat Khan dengan gerakan sufinya memberikan pelayanan
kegiatan yang disebut “Ibadah Universal” yang bertujuan untuk membawa cita-cita
penyatuan agama, yaitu cita-cita kesatuan dengan melepaskan diri dari
saktanisme dan pandangan terbatas yang melekat pada komunitas dan kelopompok.
Pelayanan ibadah universal diberikan kepada orang-orang Kristen, Muslim,
Yahudi, Zoroaster, Buddhiis, dan Hindu. Pelayanan ini tidak mencampur cara
ibadah mereka, cara ibadah terserah pada masing-masing. Bagi seorang sufi
muslim, misalnya puasa dan shalat, tetap seperti yang ditentukan oleh syari’at.
Karena ibadah-ibadah ini bukan buatan manusia. Begitu juga dengan agama-agama
yang lain beribadah sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing.[77]
Selain contoh diatas ada juga contoh pada sebuah acara Musabaqah
Tilawatil Qur’an (MTQ) ke 20 tingkat Nasional di palangkaraya, Kalimantan Tengah,
pada tanggal 2-9 juli 2003. Kepanitiaan MTQ diambil tidak hanya orang-orang Islam
tapi juga melibatkan kalangan orang Katolik, Protestan, dan Hindu Kaharingan.
Yang bertujuan bahwa MTQ ini bukan hanya acara umat Islam namun juga acara
semua agama.[78]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fiqih Lintas
Agama ialah sebuah pemahaman baru, dengan paradigma baru, metode baru, serta
kaidah baru yang diambil dari sumber-sumber yang tidak terbatas, untuk
menampung pemahaman ke-Islamam, Kristen, yahudi, hindu, Budha, dan dari
bermacam-macam agama dan kepercayaan.
Islam tidak mengingkari adanya perbedaan agama, bahkan perbedaan
tersebut sudah menjadi kehendak Allah. Dari sini islam yang merupakan petunjuk
bagi umat manusia, menyeru kepada semua umat manusia untuk kembali kepada jalan
yang yang benar, menyembah Allah Yang Satu dan menjalankan petunjuk Ilahy.
Terbentuknya sebuah umat islam, dengan artian segolongan manusia yang beragama
islam, meniscayakan sebuah klasifikasi manusia. Secara sederhana dapat di
katakan berdasarkan hal ini bahwa manusia terbagi dua golongan, golongan umat
islam dan golongan non muslim. klasifikasi ini menuntut adanya sebuah aturan
main yang mengatur pola interaksi antara keduanya.
Di antara dilemma fiqih paling serius ialah tatkala berhubungan
dengan pembahasan yang melibatkan kalangan diluar komunitasnya yaitu non muslim,
apapun agama dan aliran kepercayaannya. Pada tataran ini, fiqih mengalami
kelemahan yang amat luar biasa. Dimensi keuniversalan dan kelenturan fiqih
seakan-akan tersimpan dilaci, atau mungkin hilang entah kemana. Fiqih secara
implicit, ataupun eksplisit telah menebarkan kebencian dan kecurigaan agama
lain. Hal ini membuat kita harus bekerja keras dalam membaca kembali fiqih
klasik. Perlu perspektif baru terhadap fiqih, yaitu meletakkannya kembali
sebagai produk budaya atau produk yang hadir dalam zaman tertentu untuk
komunitas tertentu pula. Selama ini bila membaca kitab-kitab fiqih, seakan-akan
terlalu dimanja dan disakralkan oleh pembacanya, sehingga fiqih menjadi ilmu
yang tak terjamah secara mendasar. Padahal dari segi penamaannya saja, fiqih
berarti pemahaman. Dan proses pemahaman mengharuskan adanya dialektika dinamis
antara konteks dan konteks. Sebab, fiqih tidak lahir dari kevakuman melainkan
sebagai respons faqih terhadap problem zamannya. Dalam perkembangannya saat
ini, fiqih menyimpan sejumlah problematika serius, antara lain: mapannya
paradigma klasik dan lambannya upaya pembaharuan, sehingga dengan mudah di
dapatkan adanya pengulangan-pangulangan yang tidak perlu yang pada akhairnya
menyebabkan terjadinya kesenjangan.
B.
Keritik
dan Saran
Kami sebagai manusia yang
ingin menjadi diri sendiri dan pribadi yang lebih baik menyadari akan
kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri kami sebagai manusia biasa. Oleh
karena itu kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini untuk
memberikan sumbangsih berupa kertitik dan saran bagi penulis demi menjadi diri
yang lebih baik dan demi penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat
bagi siapa saja. Amin.
[1]Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter Ke Fikih
Otoritatif, (Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004).
[2]QS. Al-Isra’, (17):44.
[3]Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Cet. III; Jakarta: Amzah,
2014).
[4]Nashruddin
Syarief, Fiqih-Lintas-Agama, Http://PemikiranIslam.Net/2012/12/Fiqih-Lintas-Agama,
Diakses 26 November 2014
[5]Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma
Fiqih Moderat, (Jakarta: Erlangga, 2008).
[6]Mujiono Abdillah, Dialektika Hukum Islam & Perubahan
Sosial Sebuah Refleksi Sosiologi atas Pemikiran Ibn Qayyim al-Jauziyyah, (Cet.
I; Surakarta: Muhamadiyah University Press, 2003).
[8]Muhyar Fanani, Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern. (Yogyakarta:
PT. LKis Printing Cemerlang, 2009).
[9]Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Maqashid Syariah Moderasi Islam antara
Aliran Tekstual dan Aliran Liberal, (Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2007).
[10]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta:
Paramadina, 2004).
[16]Jamal al-Banna, Manifesto Fiqih Baru 2 Redifinisi dan
Reposisi al-Sunnah, (Jakarta: Erlangga, 2008).
[22]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[23] Azyumati Azra,
Nilai-Nilai Pluralism dalam Islam, Bingkai Gagasan yang Berserak,
(Bandung: Nuansa, 2005).
[26]Dewi Utami, Inklusifisme dalam Islam Peradaban Umat Manusia, http://www.academia.edu/4486777/Inklusifisme_dalam_islam_peradaban_umat_manusia. diakses pada 26 Nopember 2014.
[27]Raymond Sutanto, Teologi Pluralisme, http://putrakaranganyar.blogspot.com/2012/06/teologi-pluralisme-kumpulan-dari.html. diakses pada 26 Nopember 2014.
[28]Anis Malik
Thoha, Tren Pluralism Agama, (Jakarta: Perspektif, 2005).
[30]Alwi Shihab, Islam
Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999),
[31]Departemen
Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jumunatul Ali Art, 2005).
[33]Nurcholish
madjid. Pluralitas agama kerukunan dalam beragama, (Jakarta: Buku
kompas. 2001).
[38]Dalam kaitannya
ini patut direnungkan sebuah peringatan dalam al-Qur’an agar manusia waspada terhadap
para pemimpin yang terlalu dipuja (seperti yang ada dalam sisten kultus), sebab
mereka kelak di Akhirat akan melepaskan
tanggung jawab dari para pengikut mereka (QS. 2: 166).
[40] Ibn Taimiyah
memberi penjelasan yang menarik tentang hal ini dengan membedakan antara “islam
khusus” (al-islam al-Khaslish) dan “Islam umum” (al-islam al-‘amm) sebagai
berikut: manusia berselisih tentang orang terdahulu dari kalangan umat Nabi
Musa dan Nabi Isa, apakah mereka itu orang-orang muslim? ini adalah
perselisihan kebahasaan. Sebab “islam khusus” (al-islam al-khashsh) yang dengan
ajaran itu Allah mengutus Nabi Muhammad SAW al-islam sekarang secara
keseluruhan bersangkutan dengan hal ini. Adapun “islam umum” (al-islam
al-‘amun) yang bersangkutan dengan islam-nya setiap umat yang mengikuti seorang
nabi dari para Nabi itu.
[52]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[53]Syaikh Musa
Syahin Lasyin Muhaqqiq, Fathul Mun’im Syarah shahih Muslim ,(Kairo: Darus Syuruq, 2002).
[54]Musa Syahin, Fath
al-Mun’im.
[55] Musa Syahin, Fath
al-Mun’im.
[56]Musa Syahin,
Fath al-Mun’im.
[58]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[62]Majma’
al-lughah al-‘Arabiyyah, Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim (Kairo: Darus
Syuruq, t.th.).
[64]Klasifikasi doa
bersama ke dalam empat tipe ini diambil dari N.J. Woly, meeting at the
Precincts of faith.
[65]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[66]QS, Al-Baqarah (2).
[67]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[68] Harifuddin Cawidu,
Konsep Kufr dalam al-Qur’an, (Jakarta Bulan Bintang, 1991).
[69]Beny Setiwan, Hukum Perkawinan Lintas Agama, http://pakbendot.blogspot.com/2012/04/makalah-tentang
-hukum-perkawinan-lintas.html,
diakses 26 Nopember 2014.
[70]Yusuf Al-Qardhawi, Fiqih Minoritas Muslim Fatwa Kontemporer
Terhadap Kehidupan Kaum Muslim Di Tengah Masyarakat Non Muslim, (Cet. I;
Jakarta Timur: Zikrul Hakim, 2004).
[72]Daud Rasyid, Pembaruan Islam & Orientalisme dalam Sorotan, (Bandung: Syaamil
Publishing, 2006).
[76]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[77]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
[78]Nurcholish Madjid
dkk, Fiqih Lintas Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al-Karim.
Abdillah, Mujiono.
2003. Dialektika Hukum Islam &
Perubahan Sosial Sebuah Refleksi Sosiologi atas Pemikiran Ibn Qayyim
al-Jauziyyah. Cet. I; Surakarta: Muhamadiyah University Press.
Al-Qardhawi,
Yusuf. 2004. Fiqih Minoritas Muslim Fatwa
Kontemporer Terhadap Kehidupan Kaum Muslim Di Tengah Masyarakat Non Muslim. Cet.
I; Jakarta Timur: Zikrul Hakim.
. 2007. Fiqih Maqashid Syariah Moderasi Islam antara
Aliran Tekstual dan Aliran Liberal. Cet. I; Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar.
Al-Banna, Jamal. 2008.
Manifesto Fiqih Baru 3 Memahami Paradigma
Fiqih Modera. Jakarta: Erlangga.
. Manifesto Fiqih Baru 1 Memahami Diskursus
Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga.
. Manifesto Fiqih Baru 2 Redifinisi dan
Reposisi al-Sunnah. Jakarta: Erlangga.
Azra,
Azyumati. 2005. Nilai-Nilai Pluralism dalam Islam, Bingkai Gagasan yang
Berserak. Bandung: Nuansa.
Cawidu, Harifuddin. 1991. Konsep Kufr dalam al-Qur’an. Jakarta
Bulan Bintang.
Dahlan, Abd. Rahman. 2014. Ushul Fiqih. Cet. III; Jakarta: Amzah.
Departemen Agama,
2005. Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Jumunatul Ali Art.
Fadl, Khaled M.
Abou El. 2004. Atas Nama Tuhan Dari Fikih
Otoriter Ke Fikih Otoritatif. Cet. I; Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Fanani, Muhyar.
2009. Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam
di Dunia Modern. Yogyakarta: PT.
LKis Printing Cemerlang.
Madjid, Nurcholish
dkk. 2004. Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.
Jakarta: Paramadina.
Madjid,
Nurcholish. 2001. Pluralitas agama kerukunan dalam beragama. Jakarta:
Buku Kompas.
Muhaqqiq, Syaikh
Musa Syahin Lasyin. 2002. Fathul
Mun’im Syarah shahih Muslim. Kairo: Darus Syuruq.
Majma’ al-lughah
al-‘Arabiyyah. t.th. Mu’jam Alfazh al-Qur’an al-Karim. Kairo: Darus
Syuruq.
Rasyid, Daud.
2006. Pembaruan Islam & Orientalisme
dalam Sorotan. Bandung: Syaamil Publishing.
Shihab, Alwi.
1999. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung:
Mizan.
Thoha, Anis Malik.
2005. Tren Pluralism Agama. Jakarta: Perspektif.
Beny
Setiwan, Hukum Perkawinan Lintas Agama, http://pakbendot.blogspot.com/2012/04/makalah-tentang
-hukum-perkawinan-lintas.html, diakses 26 Nopember 2014.
Dewi
Utami, Inklusifisme dalam Islam Peradaban
Umat Manusia, http://www.academia.edu/4486777/Inklusifisme_dalam_islam_peradaban_umat_manusia. Diakses pada 26
Nopember 2014.
Nashruddin
Syarief, Fiqih-Lintas-Agama, Http://PemikiranIslam.Net/2012/12/Fiqih-Lintas-Agama)
Diakses 26 November 2014.
Raymond
Sutanto, Teologi Pluralisme, http://putrakaranganyar.blogspot.com/2012/06/teologi-pluralisme-kumpulan-dari.html. Diakses pada 26
Nopember 2014.
0 Comments