EVOLUSI KONSEP SUNNAH: IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

"Studi Hadis"

EVOLUSI KONSEP SUNNAH: IMPLIKASINYA PADA PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM


Pengampu
Dr. H. Muhtadi Ridwan, M. Ag
   
Disusun Oleh
Muhammad Miftah Arief, S.Pd.I, M.Pd




"2014"







KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah Swt karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikantulisan yang bertema“Evolusi Konsep Sunnah Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam.”
Dalam penulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada: Bapak Dr. H. Muhtadi Ridwan, M. Ag selaku dosen mata kuliah Studi Hadis yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan tulisan ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada tulisan ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI............................................................................................................. 
KATA PENGANTAR..............................................................................................   
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A.    Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B.     Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Evolusi Konsep Sunnah ....................................................................................... 3
1.   Konsep Sunnah ................................................................................................ 3
2.   Evolusi Sunnah................................................................................................. 10
3.   Arah Baru Perkembangan Konsep Sunnah...................................................... 12
4.   Fungsi Sunnah.................................................................................................. 13
B.     Implikasi Pada Perkembangan Hukum Islam.......................................................
C.     Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam................................................................

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan .......................................................................................................... 19
B.     Keritik dan Saran.................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 20

BAB I
PENDAHULUAN

            A.    Latar Belakang
Salah satu warisan Nabi Muhammad Saw kepada ummatnya di samping Al-Qur’an adalah Sunnahnya. Perbincangan sunnah Nabi merupakan diskusi panjang yang terus berlangsung pada masa sekarang. Isu sentral yang terus berlangsung adalah hakikat, status dan otoritas sunnah (contoh-contoh normatif Rasulullah Saw). Isu ini menjadi begitu penting karena kedudukan Nabi Muhammad Saw sebagai utusan Allah Swt sehingga perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar muslim sebagai sumber kewenangan keagamaan hukum dan kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an sendiri berulang-ulang memerintahkan kepada pembacanya agar mematuhi Allah dan utusan-Nya. Oleh karena itu imitatio Muhammadi menjadi standar etika di kalngan ummat Islam, menjadi dasar bagi hukum Islam dan menjadi standar bagi kebanyakan aktivitas keduniaan. Namun bagaimana sebenarnya pemahaman ummat Islam terhadap konsep sunnah Nabi dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari utamanya dalam memutuskan berbagi persoalan yang timbul.
Ternyata sejarah membuktikan adanya perdebatan dan perbedaan di kalangan ummat Islam. Membicarakan tentang sunnah juga tidak terlepas kaitannya dengan pembicaraan mengenai hadits karena hadits merupakan kendaraan bagi sunnah (the carrier of sunnah). Secara bebas istilah sunnah dan hadits memiliki arti yang sama yaitu tradisi Nabi (prophetic tradition). Akan tetapi kajian kritis atas dua istilah tersebut tidaklah identik. Oleh karena itu makalah ini mencoba untuk menyoroti dan mengkaji Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada Perkembangan Hukum Islam
      B.     Tujuan Pembahasan
Memasuki periode moderen tampilan hukum Islam semakin tenggelam dalam krisis yang memperhatinkan. Secara teoritik dan menurut statmen para ahli, hukum Islam adalah suatu sistem yang mencakup setiap cabang dan aspek hubungan sosial, tetapi dalam prakteknya banyak sekali aspek kehidupan masyarakat yang terabaikan.
Berbagai alternatif konseptual maupun strategis diajukan dalam rangka menyelesaikan krisis tersebut, salah satunya yg paling mendasar adalah seruan kembali kepada Al-Qur’an dan Assunnah. Meskipun belum efektif.
Ini berarti bahwa kembali kepada sunnah didalam rangka mengimplementasikan pesan-pesan moral dan legal.
Untuk itulah tulisan ini disajikan bertujuan untuk: mengetahui konsep sunnah, bagaimana evolusi sunnah, perkembangan konsep sunnah, fungsi sunnah, dan implikasinya pada perkembangan hukum Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Evolusi Konsep Sunnah
           1.       Konsep Sunnah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Evolusi adalah perubahan secara berangsur-angsur (bertingkat) dimana sesuatu berubah menjadi bentuk lain (yang biasanya) menjadi lebih komplek atau rumit ataupun berubah menjadi bentuk yang lebih baik.
Sunnah, menurut bahasa ialah:
اَلطَّرِيْقَةُ  مَحْمُوْدَةً كَانَتْ أَوْ  مَدْمُوْمَةً

Artinya: “Jalan yang dilalui, baik terpuji atau tercela.”
            Adapun menurut istilah, pengertian sunnah antara lain sebagaimana dikemukakan Muhammad Ajaj Al-Khathib:
مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ اَوْ صِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَوْ سِيْرَةٍ سَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ اْلبِعْثَةِ اَوْ بَعْدَهَا.
Artinya: ”Segala yang dinukilkan dari Nabi Saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalann hidup, baik sebelim Nabi diangkat jadi Rasul maupun sesudahnya.”
Adapun kaitannya dengan lafazh sunnah, meskipun menurut kebanyakan ulama adalah sinonim (muradif) dari lafazh hadis, tetapi ada juga yang membedakan antara keduanya. Hasbi Ash-Shiddieqy menyatakan pendapat sebagai berikut:
Tegasnya, antara sunnah dan hadis ada perbedaan yang tegas. Menamai sunnah dengan hadis adalah istilah para mutaakhirin saja. Ahli hadis yang banyak memakai kata hadis, sedangkan ahli ushul banyak memahami kata sunnah.[1]
Secara terminologi, para ulama ahli hadis mendifinisikan sunnah sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani), atau tingkah laku Nabi Muhammad Saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli ushul fiqih mendifinisikan sunnah adalah sabda Nabi Muhammad Saw yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan sunnah sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad Saw baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.[2]
Secara etimologi sunnah berarti tata cara, Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela.[3] Menurut Muhammad Azmi yang mengutip pendapat at-Tahawani bentuk jamaknya adalah sunan yang berarti cara atau jalan yang bias ditempuh, baik terpuji maupun tercela.[4]
Penulis dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa sunnah adalah sesuatu yang diucapkan ataupun dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan secara terus menerus diambil atau yang kita kenal dengan dinulilkan dari masa ke masa  dengan jalan mutawatir. Nabi Saw melaksanakannya beserta para sahabat dan kemudian oleh para tabi’in serta generasi berikutnya sampai pada masa berikutnya menjadi suatu sistem tata kelakuan dalam hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi berbagai kebutuhan khusus dalam masyarakat dalam kehidupan umat Islam.
Adapun lafazh sunnah disebutkan dalam syara, maka yang dimaksud adalah sesuatu yang diperintahkan, dilarang, dan dianjurkan oleh Nabi Saw. Baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh karena itu, dalam dalil-dalil syara disebut Al-Kitab dan As-Sunnah, yng berarti Al-Qur’an dan Al-Hadis.[5]
Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah” seperti sebagai berikut:
QS an-Nisa: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[6]
QS al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”[7]
Dengan demikian, sunnah dapat dikatan bersumber dan bersandar kepada Nabi Saw sebagaimana hadis yang juga demikian. Hanyasanya sunnah lebih sepesifik dan khusus karena merupakan soal-soal praktis yang di contohkan Nabi Saw, kemudian berlaku sebagai teradisi di kalangan umat Islam.
Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal.[8] Tradisi-tradisi Arab dan hal-hal yang sesuai dengan kebiasaan nenek moyang, oleh mereka disebut sunnah. Pengertian ini tetap dipakai dalam masa Islam di Madrasah-madrasah lama di Hijaz dan Irak. Sunnah dimaknai sebagai praktek yang telah menjadi tradisi, walaupun bukan sunnah Nabi Saw.
Pada dasarnya, Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang masih dalam tataran garis besar. Allah Swt menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itu terletak tujuan yang digariskan. Dengan demikian, dapatlah dimengerti bahwa kebanyakan umat Islam memahami As-sunnah adalah sebagai penafsir Al-Qur’an dalam praktik atau Islam dalam penjabarannya secara konkrit.[9]
Dalam pandangan Rahman ada dua arti Sunnah yang saling berhubungan dan erat, namun harus dibedakan. Pertama, sunah berarti perilaku Nabi, dan karenanya Ia memperoleh sifat normatifnya. Dalam hal ini Sunnah Nabi atau Sunnah Normatif ataupun Sunnah Ideal harus dipandang sebagai sebuah konsep teladan, pedoman dan pengayoman yang umum yang terbungkus dalam ketentuan yang bersidat khusus. Pandangan ini membawa konsekuensi logis, yaitu perlu memahami perilaku Nabi dalam bingkai konteks dan kerangka historis-sosiologisnya. Dengan kata lain, sunnah Nabi perlu dipandang sebagai sebuah teladan (pengayoman), bukan kandungan khusus yang bersifat mutlak.[10]
Kedua, sepanjang tradisi (prilaku Nabi) tersebut berlanjut secara diam-diam dan non verbal, maka kata Sunnah ini juga diterapkan pada kandungan aktual perilaku generasi sesudah Nabi, sepanjang prilaku tersebut dinyatakan sebagai meneladani pola prilaku Nabi. Sunnah dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar dari praktek aktual masyarakat muslim. Adapun perubahan-perubahan yang terjadi ini adalah hasil dari kesimpulan/interpretasi para sahabat terhaap Sunnah normatif Nabi, yang sama kemudian bermetamorfosis menjadi sunah yang hidup (Living Sunnah) dan sunan aktual.[11]
Menurut Fazlur Rahman, Sunnah adalah konsep perilaku, baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada aksi-aksi mental. Dengan kata lain, Sunnah adalah hukum tingkah laku, baik yang terjadi sekali, maupun yang terjadi berulang-ulang. Jadi Sunnah merupakan kandungan dari hadis, sementara hadis merekam, berisi dan melaporkan sunah.[12]
Rasulullah melalui sunnahnya telah menetapkan aturan-aturan tertentu secara garis besar sehingga memungkinkan untuk diadaptasikan diperluas dan diperinci lewat penafsiran para sahabat. Rasulullah memberikan ruang gerak yg luas bagi yg berbeda pendapat dengan memberikan perintah-perintah umum, bahkan dengan mengabsahkan dua tindakan yg berbeda dalam satu sisi yg sama, mengingat masa itu masa evolusi bagi suatu penciptaan pola pikir untuk generasi yg akan datang.
Setelah Nabi wafat konsep sunnah tidak hanya mencakup sunnah dari Nabi, tetapi juga meliputi penafsiran-penafsiran terhadap sunnah dari Nabi tersebut.  Sebagai cermin dari kehidupan dan perilaku Nabi, perilaku dan pendapat para sahabat lambat laun dipandang sebagai panutan bagi para generasi berikutnya dan diikuti orang lain sebagai teladan yang lebih dekat kepada kehidupan ideal Nabi.
Sunnah para sahabat dilandaskan pada peribadi mereka dan sunnah mereka ini diserap dalam istilah sunnah pada masa-masa awal Islam. Nurcholish madjid menggambarkan tahap sunnah tersebut bahwa setelah Rasulullah Saw wafat dan fungsi sebagai kepala negara dan pemimpin masyarakat dilanjutkan oleh kholifah, masalah-masalah hukum dan perkara pengaturan hubungan sosial politik berjalan lancar dengan didasarkan pada ketentuan kitab suci jika ada dan kepada sunnah dalam arti kebiasaan yang lazim dikala itu.
Sebagaimana telah ditujukan sebelum ini bahwa perilaku Nabi sejak awal telah dipandang sebagai konsep oleh para sahabat dan model perilaku bagi mereka. Logikanya orang-orang disekitar sahabat barangtentu mempertanyakan pada mereka mengenai tindakan-tindakan Nabi dalam berbagai persoalan.[13]
            2.      Evolusi Sunnah
Ignaz Goldziher adalah scholar dari Barat, mempunyai pandangan yang sangat bagus tentang evolusi sunnah (tapi sayangnya ia tidak keritis terhadap asumsinya sendiri), menyatakan bahwa praktek Nabi dan tata caranya telah cukup membentuk sunnah bagi komunitas muslim yang masih berumur muda itu, dan akibatnya membuat konsep sunnah arab pra-islam berhenti. Tapi sayangnya kemudian gambaran tentang sunnah berubah, ini tergambar dalam pandangan scholar belanda, Snouck Hurgronje, yang mengatakan bahwa Umat Muslim telah menambahkan hampir semua praktek dan hasil pemikiran pada konsep sunnah Nabi, untuk dijutifikasi sebagai sunnah Nabi. Dua scholar lainnya, yaitu Lammens dan Maegoliuth mengatakan bahwa sunnah itu merupakan hasil kerja orang-orang Arab masa pra-Islam dan Islam yang terpenting dari kedua fase ini, menurutnya, adalah kontinuitas, sehingga konseap sunnah Nabi tidak dianggap oleh mereka. Joseph Schacht juga meneruskan Margoliouth dan Lammens, yang mempertahankan bahwa muncul konsep Sunnah Nabi pada generasi awal itu relatif terlambat, karena menurutnya Sunnahnya orang Islam itu merupakan praktek mereka sendiri yang muncul paling cepat adalah abad I.[14] Karena menurut Schacht, bahwa keritik yang dimiliki ulama hadis itu tidak memadai dan betapapun banyak hadis yang dieliminasi melalui keritik hadis ini, masih  banyak hadis yang mustahil otentik. Menurut Shacht laporan tentang Sunnah itu bersumber dari praktek popular dan praktis administrasi Dinasti Umayah.[15]
Menurut Rahman, sebab Scholar Barat mempunyai pandangan demikian karena kekeliruan konsepsional tentang Sunah ada tiga hal. Pertama, yang menyebabkan para ilmuan itu menolak konsep Sunnah Nabi karena mereka menemukan bahwa isi dari Sunnah merupakan kelanjutan secara langsung dari adat dan kebiasaan Arab.Kedua, sebagian besar isi dari Sunnah itu merupakan hasil pemikiran bebas ahli hukum yang berijtihad secara personal dari Sunnah yang berbentuk praktek, yang lebih penting adalah, mereka telah menyatukan unsur-unsur luar yang berasal dari sumber-sumber yahudi dan praktek administratif pemerintahan Bizantium dan Persia. Ketiga, bahwa kemudian hari ketika hadis berkembang dengan sangat berlimpah dan menjadi fenomena masal pada akhir abad II dan terutama pada abad III, kemudian isi Sunnah ini diverbalkan (hadis) dan disadarkan hanya pada Nabi dalam payung konsep Sunnah Nabi.[16]
Sunnah mempunyai hubungan yang dekat sekali dengan ijtihad. Sunnah adalah konsep perilaku yang bersifat moral, psikologis dan moral, maka sunnah tersebut harus diinterpretasikan dan diadaptasikan. Artinya bahwa Rasulullah memberikan ruang gerak yang luas bagi munculnya perbedaan pendapat, bahkan mengabsahkan dua tindakan yang berbeda dalam situasi sama, konsep sunnah ini akan berevolusi terus sampai bentuk perilaku untuk generasi yang akan datang.[17]
Menurut Musahadi Ham didalam bukunya yaitu evolusi konsep sunnah sebagai cermin kehidupan dan prilaku Nabi, perilaku dan pendapat sahabat, lambat laun dipandang sebagai teladan oleh generasi berikutnya, sebagai teladan yang paling dekat Nabi. Dari segi praktis dari kehidupan mereka kemudian memberikan pengaruh yang jauh pada generasi tabi’in. Sahabat melakukannya juga dengan ijtihad ra’yu-nya, ini selajutnya juga membentuk sunnah.[18] 
            3.      Arah Baru Perkembangan Konsep Sunnah
a.      Perkembangan Istilah Sunnah
Istilah sunnah semula telah berkembang dalam masyarakat Arab zaman Jahiliyyah dengan makna jalan yang benar dalam kehidupan personal maupun komunal. Pada akhir abad kedua Hijriah, khususnya di masa Imam Syafi’i, kata sunnah dipakai untuk arti terminologi dengan menambahi “alif dan lam” di depannya, yaitu tata cara dan syari’at Rasulullah Saw. Dan ini tidak berarti pengertiannya yang etimologis itu terhapus tetapi digunakan dalam arti luas. Adapun pengertian yang khusus sunnah adalah tata cara dan syari’at Rasulullah Saw. Sunnah dalam pengertian terminologis inilah yang mempunyai kedudukan hukum dalam syari’at Islam.[19]
Perkembangan mengenai istilah sunnah setidaknya mengalami periodesasi sebagai berikut:
1.      Periode Informal (Sunnah dalam Gagasan Muslim Awal / Pra Syafi’i)  Kata sunnah pada dasarnya sudah ada sebelum kemunculan Islam, dan terbukti kebenarannya dalam sumber-sumber pra Islam. Sunnah menunjuk kapada suatu praktek yang ditentukan atau dilembagakan oleh orang tertentu. Sunnah dalam pengertian ini dimaknai sebagai “praktek yang telah diterima” jalan yang sering ditempuh ummat atau “praktek tradisional ummat”.[20]
Islam, dalam catatan sejarah, membangun sunnahnya sendiri yang berbeda dengan sunnah sebelumnya. Sunnah ini berlandaskan pada wahyu Allah (al-Qur’an). Ini tidak berarti bahwa sunnah yang dibangun Islam terlepas sama sekali dengan sunnah yang ada sebelumnya. Karena itu, masih ada tradisi lama yang diadopsi ke dalam Islam, yang tentu saja tidak bertentangan dengan prinsip dasarnya.[21]
        Fakta sejarah menyebutkan bahwa, khalifah Umar bin Khattab dilaporkan pernah mengirim surat kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari dan Mu’awiyah, yang isinya antara lain menganjurkan agar mereka memanfaatkan sunnah yang berlaku di kalangan masyarakat mereka (as-Sunnah al-Muttaba’ah ; the prevailing sunnah) sebagai salah satu sumber dalam mengahadapi berbagai persoalan hukum. 26 Hal ini membuktikan bahwa Sunnah pada masa awal Islam tidak diidentikkan dengan Nabi Muhammad. Sunnah dan hadis secara konseptual tetap independen (berdiri sendiri). Kedua konsep ini tidak sepenuhnya bersatu, Sehinga gagagasan mengenai sunnah berkembang dalam konteks perubahan sosial dan politik. Hal tersebut juga menegaskan bahwa sunnah selalu bersifat dinamis seiring dengan akselerasi perkembangan zaman, karena masyarakat selalu mengalami dinamika dari satu situasi ke situasi lain. Sehingga seharusnya ummat Islam menyusun suatu sunnah baru sesuai dengan situasi dan kondisi mereka, yang pada akhirnya Islam sh ālih likulli zam ān wa mak ān dapat terealisasi dengan baik. 
Ada beberapa hal penting yang patut untuk diungkap, kaitannya dengan gagasan muslim awal mengenai sunnah. Pertama, orang-orang muslim awal tidak menempatkan sunnah Nabi Muhammad lebih tinggi daripada sunnah-sunnah orang terkemuka lainnya, terutama para khalifah pertama beserta sahabat-sahabatnya. Kedua, pada tahap awal ini, orang-orang muslim tidak selalu mengidentifikasi sunnah dengan riwayat khusus mengenai Nabi (riwayat hadis), seperti yang terjadi di kemudian hari. Akirnya, orang-orang muslim awal tidak membuat perbedaan yang kaku antara berbagai sumber kewenangan keagamaan.  Periode informal ini juga ditandai dengan hubungan dinamis, kreatif, fleksibel, progresif antara sunnah, ijma’ dan ijtihad. Tidak ada perbedaan yang kaku (ketat)antara ketiga entitas tersebut. Hubungan organis yang terjalin antara ketiganya berjalan dinamis.  Hal di atas diperkuat dengan penjelasan Rahman, ia menyatakan bahwa kandungan aktual sunnah dari generasi-generasi muslim di masa lampau secara garis besarnya adalah produk ijtihad, ijtihad ini melalui interaksi pendapat secara terus menerus, akhirnya dapat diterima oleh semua ummat atau disetujui ummat secara konsensus (ijma’). Itulah sebabnya mengapa istilah “sunnah” dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati secara bersama, yaitu praktek aktual, oleh Malik digunakan sebagai ekuivalen dari istilah al-Amr al-Mujtama’ ‘alaihi atau dari istilah ijma’.[22]
2.      Periode Semi Formal (Konsepsi Klasik tentang Sunnah Masa Syafi’i) Dalam teori klasik mengenai sunnah, istilah sunnah menunjuk kepada contoh autoritatif yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw, dan dicatat dalam tradisi (hadis, akhbar) mengenai perkataannya, tindakannya, persetujuannya atas perkataan atau perbuatan orang lain (taqrir) serta karakteristik sifat keperibadiannya. Selain itu, sunnah juga identik dengan riwayat-riwayat hadis yang bisa dilacak mata rantainya hingga Nabi, dan status sunnah adalah sama dengan al-Qur’an yakni wahyu. Jadi keduanya baik al-Qur’an maupun sunnah merupakan dua sumber otoritatif yang harus diikuti.[23]
Bangunan teori klasik mengenai sunnah diletakkan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H). Tampaknya Imam Syafi’i sendirilah yang terutama bertanggung jawab atas pengintegrasian atau identifikasi sunnah spesifik yang digariskan oleh Nabi Muhammad saw,[24] yaitu dengan tradisi otentik yang berasal dari Rasulullah sendiri.[25] Satu-satunya sunnah yang sejati adalah sunnah Nabi Saw, dan sunnah ini secara eksklusif di identikkan dengan hadis-hadis autentik Rasulullah. Yang banyak menentang pandangan Imam Syafi’i pada saat itu adalah para pengikut “mazhab” fiqh regional awal-di Hijaz, Irak, dan Suriah yang berpegang pada definisi kurang ketat mengenai sunnah. Mereka memasukkan dalam definisi mengenai sunnah tidak hanya sunnah Nabi, melainkan juga sunnah para sahabat, para khalifah, dan praktek yang telah diterima secara umum dari para ahli hukum di kalangan mazhab tersebut.[26]
Paling tidak ada dua pendekatan tentang sunnah di kalangan orang-orang yang hidup sezaman dengan Imam Syafi’i: Pertama, adalah pendekatan mazhab-mazhab fiqh awal dengan “tradisi hidup” yang mereka miliki. Kedua, adalah pendekatan para ahli teologi spekulatif, ahl al-Kalam, yang sama sekali menolak menggunakan hadis dan bersandar hanya pada al-Qur’an. Sedang Imam Syafi’i sendiri mencoba menciptakan system yurisprudensi yang terpusat pada pendekatankoheren terhadap sumber-sumber hukum Islam dengan menyatakan bahwa hadis sahih merupakan satu-satunya sumber sunnah yang sah.[27]
Dengan mengatasnamakan perlunya unifikasi (keseragaman) pandangan tentang kewenangan Nabi Muhammad, maka Imam Syafi’i membuat identifikasi eksklusif sunnah spesifik yang digariskan oleh Nabi saw. Sejauh ini Imam Syafi’i berhasil memperjuangkan identifikasi sunnah dengan hadis Nabi. Di samping itu ia juga berhasil menciptakan suatu mekanisme yang menjamin kestabilan struktur sosio religious kaum muslim abad pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan menghilangkan kreatifitas dan originilitas mereka.[28]
Pada periode semi formal ini, hubungan antara sunnah, ijtihad dan ijma’ mulai tidak dinamis lagi. Terjadi pemisahan dan pengkotakan antara ketiga entitas tersebut. Hubungan yang terjadi mulai infleksibel seiring dengan ketegangan yang terjadi diantara kalangan ummat Islam yang merasa memiliki otoritas masing-masing.
3.      Periode Formal (Konsepsi Sunnah Pasca Syafi’i) Setelah abad ketiga Hijriyah, kita hampir tidak menjumpai ucapan yang bertentangan dengan ajaran utama doktrin klasik mengenai sunnah, hingga perdebatan mengenai sunnah mulai muncul kembali pada abad ke 19. Kita tidak lagi menemukan pencampuradukan antara sunnah Rasulullah dengan sunnah-sunnah lainnya, di samping itu, keandalan hadis tidak lagi dipertanyakan. Pada masa ini sunnah mulai menjadi kaku, karena sunnah yang diterima hanya sunnah Nabi, sedangkan tradisi yang berasal dari sumber selain Nabi tidak memiliki bobot jika diukur dari Nabi. Berbeda dengan sunnah yang ditemukan pada gagasan muslim awal yang dapat dikatakan sangat dinamis. 
Tidak seperti masyarakat sebelumnya, masyarakat Islam sejak abad ketiga atau abad keempat cenderung menempatkan hasil karya leluhur mereka, serta segala yang telah mentradisi di kalangan masyarakat Muslim, sebagai suatu kebenaran mutlak yang tak perlu diganggu gugat Mereka tidak berani melihat secara kritis berbagai warisan yang ada, dan sebagai akibatnya, mereka mencoba menyusun sunnah mereka sendiri sesuai dengan tuntutan hidup mereka.[29]
Pada periode formal ini, sunnah berubah baju menjadi hadis dalam bentuk formal terlepas sama sekali dengan ijtihad dan ijma’. Peran ijtihad dan ijma’ mulai diminimalisir, sehingga sunnah menjadi baku. Terlebih setelah adanya kodifikasi (pembukuan) hadis secara formal.
b.      Perkembangan Istilah Hadis
Istilah “hadis” pada awalnya tidaklah serta merta dipahami sebagai sabda, perbuatan, taqrir dan hal ihwal Nabi saw., sebagaimana definisi di awal. Jika diperhatikan, istilah “hadis” mengalami beberapa perkembangan pengertian yang sangat signifikan. M. Syuhudi Ismail mencatat, mula-mula hadis mengandung pengertian berita-berita atau cerita-cerita (kisah), baik berhubungan dengan masa lampau ataupun yang baru saja terjadi.[30] Pengertian seperti ini paralel dengan ucapan Abu Hurairah kepada kaum Anshar. “Apakah kamu ingin aku ceritakan kepadamu tentang hadis (kisah) dari kisah-kisah Jahiliyah”.[31]
Pada tahap selanjutnya, istilah hadis digunakan untuk menunjuk khabar (berita-berita) yang berkembang dalam masyarakat keagamaan secara umum, yakni belum dipisahkan antara khabar yang berupa al-Qur’an dan kahabar yang berupa sabda Nabi saw. Hal ini didukung oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: “Sesungguhnya sebaik-baik hadis adalah Kitab Allah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad.”[32] Dalam Hadis tersebut, Ibnu Mas’ud mensifatkan al-Qur’an dengan sebaik-baik hadis.
Pada akhirnya, hadis digunakan secara ekslusif untuk menunjuk hadis-hadis Rasulullah saw saja. Penyempitan makna hadis, yakni khusus untuk menunjuk pada hadis Nabi ini, bahkan telah dimulai pada masa Nabi. Hal ini bisa dilihat dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, yakni ketika Abu Hurairah bertanya kepada Rasulullah saw. “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’atmu di hari kiamat?” Kemudian Rasul menjawab, “Wahai Abu Hurairah, sungguh aku telah menyangka bahwa tak ada seorangpun yang bertanya kepadaku mengenai hadis ini yang lebih dahulu dari kamu, karena aku melihat dari perhatianmu terhadap hadis.”[33] 
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa penggunaan istilah hadis mengalami perkembangan. Pada awalnya, hadis dipergunakan untuk menunjuk pada cerita-cerita dan berita-berita secara umum, kemudian mengalami pergeseran, hadis dimaksudkan sebagai khabar-khabar yang berkembang dalam masyarakat keagamaan tanpa memindahkan maknanya dari konteks yang umum dan pada akhirnya, hadis secara ekslusif digunakan untuk menunjuk cerita-cerita tentang Rasulullah saw. 
Evolusi historis dari Sunnah Nabi menjadi hadis digambarkan oleh Rahman sebagai berikut,[34] “Adalah suatu kenyataan bahwa Sunnah Nabi telah melewati proses yang panjang sebelum ia dibakukan menjadi riwayat-riwayat hadis. Pada saat itu yakni ketika hadis belum dibukukan, pada sahabat dan tabi’in, khususnya mereka yang berprofesi sebagai hakim, ahli hukum, teoretisi, politikus dan lain-lain, berusaha menjabarkan dan menafsirkan Sunnah Nabi demi kepentingan kaum muslimin pada saat itu. Hasil penjabaran dan pemahaman tersebut juga dianggap sebagai sunnah”.[35]
Sunnah Nabi menurut Rahman berarti “tingkah laku yang merupakan teladan”. Pengertian ini didasarkan pada kitab Jawharat karya Ibnu Duraid yang mengartikan Sunnah dengan “Shawwara” artinya “to fashion a thing or produce it as a model”.[36] Dengan pengertian sebagai praktik yang disepakati bersama atau “sunnah yang hidup”.
Tampaknya bahwa evolusi konsep sunnah Nabi menjadi “sunnah yang hidup” terjadi melalui interaksi ijtihad, yakni upaya penjabaran dan penafsiran sunnah Nabi menjadi sunnah yang hidup.[37] 
Sepanjang mengenai evolusi dan perkembangan muatan sunnah yang berkembang dari waktu ke waktu, Rahman tidak bersikeras menyangkal tesa- tesa yang dikemukakan oleh orientalis.[38] Dalam membedakan makna antara Sunnah dan Hadis, Fazlur Rahman menjelaskan bahwa: Jika yang pertama (sunnah) merupakan suatu proses yang hidup dan berkelanjutan, maka yang kedua (hadis) bersifat formal dan berusaha memberikan kepermanenan yang mutlak kepada sintesa dari sunnah yang hidup pada abad kesatu, kedua, dan ketiga Hijriyyah.[39]    
Generasi-generasi muslim pada awal sejarah Islam khususnya para hakim, ahli-ahli hukum, teoritis dan para politis telah berusha menjabarkan dan menafsirkan sunnah Nabi demi kepentingan kaum muslimin pada waktu itu. Penjabaran-penjabaran ini disebut sunnah dengan praktek yang telah disepakati bersama atau sunnah yg hidup. Dengan demikian terdapat dua substansi yang bersatu dalam sunnah yang hidup yaitu sunnah atau teladan Nabi dan penafsiran kreatif generasi-generasi muslim awal.
Instrumen yang digunakan oleh generasi muslim awal sehingga dapat semakin berkembang menjadi sebuah peraturan yang tegas dan khusus terhadap tingkah laku manusia adalah aktivitas pemikiran bebas secara peribadi dan bertanggung jawab yang disebut ra'y.[40]
            4.      Fungsi Sunnah
Menurut Marzuki, para ulama, terutama ulama usul, mengelompokkan fungsi sunnah, dalam hubungannya dengan Al-Qur’an kedalam tiga kelompok, yaitu:
1.      Mentapkan dan menguatkan hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
2.      Memerinci dan menafsirkan ayat Al-Qur’an yang masih gelobal, membatasi ayat Al-Qur’an yang masih muthlaq (umum), dan mengkhususkan ayat Al-Qur’an yang masih umum.
3.      Menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.
Dari tiga fungsi sunnah diatas, fungsi pertama dan kedua dapat diterima dan disepakati oleh para ulama. Perbedaan pendapat di kalangan ulama terjadi pada fungsi ketiga, yaitu apakah sunnah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum, tanpa tergantung pada Al-Qur’an, ataukah penetapan itu selalu merujuk kepada Al-Qur’an. Terlepas dari perebatan ini, sebenarnya mereka sepakat adanya ketetapan baru dalam sunnah.[41]
B.     Implikasinya Pada Perkembangan Hukum Islam
Sebagaimana yang sudah dipaparkan di atas dan dapat penulis ambil sebuah kesimpulan, bahwa sebuah ketetapan hukum dan aturan-aturan sebuah hukum awal mulanya langsung dari Rasulullah Saw melalui sunah-sunahnya. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, sebuah konsep sunnah tidak lagi hanya mencakup sunnah dari Nabi Saw, hal ini disebabkan Nabi Saw dalam menetapkan aturan-aturan melalui sunnahnya tadi secara garis besarnya saja, sehingga ini menyebabkan kemungkinannya untuk diadaptasikan diperluas dan diperinci lewat penafsiran-penafsiran. Dari penafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebutlah yang menjadikannya sebuah konsep sunnah itu berevolusi.
Bebrapa implikasi pada perkembangan hukum Islam, konsep sunnah telah mengalami evolusi yang cukup panjang sebelum ia di identikan dengan hadis. Secara sistematis gambarannya seperti ini:







Didalam artikel yayasan paradigma, bahwa para sahabat memperhatikan perilaku Nabi Saw, sebagai teladan. Mereka berusaha memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi Saw wafat, berkembanglah penafsiran individual terhadap teladan Nabi Saw itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tetapi sahabat yang lain tidak menganggapnya sunnah. Dalam “Free market of ideas,” pada daerah tertentu seperti madinah, Kuffah, berkembang sunnah umumnya disepakati para ulama di  daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah. Secara berangsur-angsur pada kekuasaan kaum Muslim berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amr al-majtama ‘alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripada opinio publica. Ketika timbul gerakan hadis pada paruh kedua abad 2 Hijriah. Sunnah yang sudah disepakati banyak orang ini, diekspresikan dalam hadis. Hadis adalah verbalisasi sunnah.[42]
Dari hasil beberapa rujukan yang penulis baca dan melihat dari penjelasan diatas, maka penulis mencoba mentelaah dengan hasil, yaitu: Ketika imperium Islam berkembang sedemikian pesatnya dan masing-masing daerah berhasil mengembangkan sunnah yang hidup (Ijma’). Sehingga perbedan didalam praktek hukum menjadi semakin besar, maka hadis berkembang menjadi disiplin formal. Dan dalam belakangan ini setelah preode Imam Syafi’I, hadis menempati sentral dalam sistem jurispendensial atau dapat dikatakan sistem sosial.
Konsep sunnah dan hukum tidak hanya mencakup sunnah Nabi saja melainkan termasuk didalamnya adalah praktek masyarakat yang menjadi cerminan bagi sunnah Nabi. Secara umum, segi positif dari konsep sunnah yang seperti ini bagi perkembangan hukum Islam adalah tingginya peran ra’yu dalam perumusan hukum Islam dan terakomodasikannya muatan-muatan dan warna-warna lokal, sehingga pada gilirannya tampil hukum Islam menjadi sangat dinamis dan kreatif.
Para ulama menyebutkan bahwa ahli Ra’yu memiliki beberapa keistimewaan tertentu, diantaranya: banyak hukum-hukum furu’iyah yang mereka tetapkan termasuk yang bercorak taqdiri yaitu hukum-hukum yang bersifat kemungkinan, sebab masalahnya belum muncul ketika itu. Hal ini sangat dimungkinkan karena banyaknya pristiwa-pristiwa baru yang mereka temukan terutama yang berasal dari budaya-budaya lokal yang lebih dahulu maju ketimbang Islam. Munculnya masalah-masalah baru ini memberikan dampak terhadap produktifitas kegiatan ilmiah mereka di bidang fiqih termasuk dalam melahirkan apa yang menjadi sebab (illat), hikmah dan relevansi syari’at dengan peristiwa kongkrit. Hal ini dilakukan karena syariat dipandang sangat cocok dengan akal  (ma’qul ma’na) dan diturunkan untuk memberikan maslahat kepada manusia. Seefektifnya mereka dalam menerima suatu hadis dengan memberikan kriteria-kriteria yang ketat dalam penukilan suatu hadis sehingga hanya sedikit yang mampu selamat dari kriteria tersebut. Hal ini dilakukan agar sunnah Nabi dapat terpelihara dengan baik, sebab pada saat itu banyak sekali muncul hadist da’if dan maudhu’.
Amir Syafruddin mengemukakan bahwa Usaha mengetahui hukum yang tersirat dari satu lafal, dibutuhkan suatu pengkajian dengan menggunakan nalar atau ra’yu yang tinggi untuk mengetahui hakikat dan tujuan satu lafal, sehingga memungkinkan untuk merentangkan hukum yang ditentukan dalam lafal tersebut kepada kejadian lain yang bermunculan di balik lafal itu.[43]

Mahmudunnasir berkesimpulan bahwa sunnah didalam tahap permulaannya berwatak provosionalisme. Akan tetapi disisi lain konsep sunnah yang seperti ini yakni menekankan kepada sunnah yang hidup serta merupakan hasil interprestasi kreatif terhadap sunnah ideal Nabi ternyata melahirkan kontroversi hukum yang dahsyat.  Liberalisme ijtihad personal ini tidak hanya melahirkan kontroversi-kontroversi antara madzhab tetapi juga melahirkan kontroversi-kontroversi hukum intra mazhab.


Sunnah dalam pandangan mazhab-mzhab hukum awal mencakup makna sunnah Nabi dan praktek masyarakat atau tradisi yg hidup sebagai hasil elaborasi dan interprestasi secara kreatif terhadap sunnah Nabi melalui mekanisme ra'yu. Dan imam Syafi'i memunculkan konsep sunnahnya untuk melatar belakangi perbeda'an-pebeda'an dibidang hukum dan praktek peradilan.
 Didalam kitab karyanya Imam Syafi'i yaitu ar-risalah dan al-Umm dapat disimpulkan bahwa tujuan utama yang hendak dicapai dengan konsepnya adalah untuk mengeliminir atau minimal mereduksi perbedaan dan pertentangan tersebut.
Pada masa Imam Syafi'I penggunaan ra'yu secara liberal sebagai sarana ijtihad masih berlangsung, sehingga diversitas praktek hukum diberbagai daerah, khususnya irak dan madinah sangat tajam. Ia membawa konsep ra'yu yang menonjolkan penalaran pribadi kepada konsep qiyas,yakni analogi sistematis yang ketat. Pemikiran hukum Islam Imam Syafi'i awalnya Al-Qur’ an, sunnah, ijtihad, ijma' menjadi Al-Qur’an, sunnah (dalam bentuk hadis), ijma' (dalam bentuk qiyas). Pernyataan ini dipertegas Mustofa dan Abdul Wahid bahwa sumber-sumber hukum Islam (Syariah Islam) terdiri atas Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma’ dan Qiyas.[44]
Apabila diperhatinkan, evolusi konsep sunnah-hadis yang telah diuraikan tersebut dan sejauh mana implikasinya bagi perkembangan hukum Islam mengindikasikan adanya sejumlah pasangan pilihan yang harus ditentukan baik oleh mazhab-mazhab hukum awal maupun Imam Syafi'i dan masing-masing pilihan tersebut turut menentukan tampilan hukum Islam selanjutnya.
Pasangan pilihan tersebut diantaranya adalah pilihan keberagaman dan keseragaman. Pilihan selanjutnya adalah antara stabilitas dan dinamika. Berikutnya adalah pilihan antara akal dengan wahyu. Meskipun demikian harus ditegaskan bahwa imam syafi'iy dengan konsep sunnahnya merupakan potret responsasi yang tepat terhadap tantangan historisnya mengingat saat itu. praktek masyarakat khususnya menyangkut praktek hukum mereka mengalami disparitas yang tajam satu sama lain.
C.    Kedudukan Hadis dalam Hukum Islam
Secara struktural, hadis adalah sumber hukum Islam kedua (secondary resources of Islamic low) setelah al-Qur’an,[45] dan secara fungsionalnya merupakan bayan (penjelas) al-Qur’an. Menurut Musthafa as-Siba’i, fungsi hadis atau sunnah terhadap al-Qur’an ada tiga macam;
1.      Menguatkan (ta’kid) hukum-hukum yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an, baik secara global (ijmal) maupun terperinci (tafshil).
2.      Menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Membatasi kemutlakannya, merinci yang global atau mengkhususkan yang umum.
3.      Menetapkan hukum yang tidak dibicarakan dalam al-Qur’an (hukum yang mandiri).
Hasbi ash-Shiddieqy dalam bukunya mengatakan bahwa sebab martabat hadis dibawah al-Qur’an, adalah karena al-Qur’an baik secara jumlah, maupun secara tafshil, kita terima secara qath’i. Karenanya apabila berlawanan antara al-Qur’an dan hadis, digabungkan antara keduanya jika mungkin. Jika tidak mungkin maka hadis itu ditinggalkan. Berpegangan terhadap hadis sebenarnya sama dengan berpegang kepada al-Qur’an, karena hadis merupakan pensyarah, penafsir dan pentabyin al-Qur’an.[46]
Para ulama yang menempatkan al-Qur’an pada posisi paling sentral sebelum hadis, karena mereka meihat dari sisi matan dan sanad hadis. Sehingga mereka mendahulukan al-Qur’an dari hadis. Al-Qur’an itu secara lafdziy maupun ma’nawiy mutawatir yang menghasilkan ilmu dharuri dari sisi Allah dibanding hadis pada umumnya. hadis yang mutawatir lafdziy sangat sedikit jumlahnya, terlebih hadis yang menjelaskan tentang hukum- hukum taklifi.[47] Karena itu, dalam hal ini bisa terjadi kesetaraan peringkat hadis mutawatir dengan al-Qur’an karena sama-sama mutawatir.[48] Untuk menguatkan pandangan ini, mereka berargumen dengan beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan hadis sebagai sumber hukum Islam, baik yang menjelaskan fungsi hadis terhadap al-Qur’an maupun yang menjelaskan untuk mentaatinya dengan gaya bahasa yang diungkapkan.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sunnah adalah sesuatu yang diucapkan ataupun dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. Dan secara terus menerus diambil atau yang kita kenal dengan dinulilkan dari masa ke masa  dengan jalan mutawatir.
Sunnah Nabi berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an yang masih dalam tataran garis besar. Allah Swt menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itu terletak tujuan yang digariskan.
Setelah Nabi wafat konsep sunnah tidak hanya mencakup sunnah dari Nabi, tetapi juga meliputi penafsiran-penafsiran terhadap sunnah dari Nabi tersebut.  Sebagai cermin dari kehidupan dan perilaku Nabi, perilaku dan pendapat para sahabat lambat laun dipandang sebagai panutan bagi para generasi berikutnya dan diikuti orang lain sebagai teladan yang lebih dekat kepada kehidupan ideal Nabi.
B.     Keritik dan Saran
Kami sebagai manusia yang ingin menjadi diri sendiri dan pribadi yang lebih baik menyadari akan kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini untuk memberikan sumbangsih berupa kritik dan saran bagi penulis demi menjadi diri yang lebih baik dan demi penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapa saja. Amin.


[1]Badri Khaeruman, Ulumul Al-Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2010).
[2]Muhammad Musthafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Musthafa Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006).
[3]Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.).
[4]Usman Sya’roni, otensititas Hadis Menurut Ahli Hadis Dan Kaum Sufi, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002).
[5]Khaeruman, Ulumul.
[6]QS. an-Nisa (4): 26.
[7]QS. al-Anfal (8): 38.
[8]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kriteria antara Sunnah dan Bid’ah, (Thinker’s Library, 1986).
[9]Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1992).
[10]Fazlur Rahman, Islam, Terj. Senoaji Saleh (Jakarta: Bumi Aksara, 1987).
[11]Rahman, Islam.
[12]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1984), cet. 2.
[13]http://ubabalbab.blogspot.com/2013/06/evolusi-konsep-sunnah-implikasinya-pada.html, diakses tanggal 9 Nopember 2014.
[14]Fazlur Rahman, Islamic Methodology In Historry, (India: Adam Publisher And Distributors, 1994).
[15]Schacht, Joseph, The Origins Of Muhammadan Jurisprodence; Tentang Asal Usul Hukum Islam dan  Masalah Otentitas Sunnah, Terj, Joko Supomo, (Yogyakarta: Insan Madani, 2010).
[16]Rahman, Islamic.
[17]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, terj Anas Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1884),.
[18]http://digilib.uin-suka.ac.id/6886/2/BAB%20II,III,IV.pdf. Diakses Tanggal 9 Nopember 2014.
[19]Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Musthafa Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006).
[20]Joseph Schacht, The Origin.
[21]Akh. Minhadji, Kontroversi Pembentukan Hukum Islam Kontribusi Joseph Schacht , terj. Ali Masrur, (Yogyakarta: VII Press, 2001).
[22]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad.
[23]Imam Syafi’i, Ar-Risalah, terj. Ahmadie Thoha, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996).
[24]Joseph Schacht, The Origin.
[25]Noel J. Coulson, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad, (Jakarta: P3M, 1987).
[26]Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, terj. Jaziar Radianti & Entin Sariani Muslim, (Bandung: MIZAN, 2000).
[27]Brown, Menyoal Relevansi.
[28]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad.
[29]Minhadji, Kontroversi Pembentukan.
[30]M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988).
[31]Ismail, Kaedah Kesahihan.
[32]HR. Imam al-Bukhari.
[33]HR. Imam al-Bukhari.
[34]Analisis Rahman mengenai Evolusi Historis Sunnah terdapat pada Islamic Metodologi in History, (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965).
[35]Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998).
[36]Mas’adi, Pemikiran Fazlur,.
[37]Mas’adi, Pemikiran Fazlur.
[38]Mas’adi, Pemikiran Fazlur,.
[39]Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad.
[41]Marzuki, Pengantar Studi Hukum Islam Prinsip Dasar Memahami Berbagai Konsep dan Permasalahan Hukum Di Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 96.
[44]H. Mustofa, H. Abdul Wahid, Hukum Islam Konteporer, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
[45]Ibnu Abdi al-Barr, Jāmi’ bay ān al-ilm wa Fadhlih, (Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, t.th).
[46]Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999).
[47]Ash-Shiddieqy, Pengantar.
[48] Ash-Shiddieqy, Pengantar.

Post a Comment

1 Comments