SEKULARISME DAN ISLAM Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas

SEKULARISME DAN ISLAM
"Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas"

Filsafat Islam 

Pengampu

Dr. H. A. Barizi, MA


Disusun Oleh

Muhammad Miftah Arief, S.Pd.I, M.Pd 


                              

2014


KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah Swt karena bimbingannyalah maka penulis bisa menyelesaikan tulisan yang berjudul “Sekularisme dan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.”
Dalam tulisan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan tulisan ini, khususnya kepada: Bapak Dr. H. A. Barizi, MA selaku dosen mata kuliah Filsafat Ilmu yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran dalam pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka penyelesaian penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada tulisan ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih, dan semoga makalah ini bisa memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.

Batu,      Desember 2014

Penulis
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang ..................................................................................................... 1
B.     Tujuan Pembahasan ............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas........................................................ 4
1.   Silsilah Keturunan ........................................................................................... 4
2.   Riwayat Hidup.................................................................................................. 5
3.   Latar Belakang Pendidikan.............................................................................. 8
4.   Corak Pemikiran Syed Naquib Al-Attas.......................................................... 9
B.     Sekularisme dan Islam.........................................................................................12
1.      Sejarah Sekularisme.................................................................................................. 12
2.      Relasi Islam dan Sekularisme................................................................................... 13
3.      Terminologi Sekularisme.......................................................................................... 15
a.       Sekuler ....................................................................................................15
b.      Sekularisasi ............................................................................................ 16
c.       Sekularisme ............................................................................................19
C.     Sekularisme di Indonesia......................................................................................
D.    Keritik Syed Naquib Al-Attas Terhadap Sekularisasi.........................................27

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................................... 33
B.     Keritikdan Saran.................................................................................................  35

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 36

                                                                      BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sekularisme, saat ini di dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Dapat dikatakan bahwa sekularisme kini telah menjadi bagian dari tubuhnya, atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya dan menjelma menjadi wujud sosok baru, bak menjelma menjadi sebuah monster yang besar dan mengerikan, sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya. Begitulah kondisi ummat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan ummat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Sehingga ummat sudah tidak menyadarinya lagi, atau bahkan mungkin sudah jenak dengan keberadaannya tersebut.[1]
Begitulah kondisi ummat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Sehingga umat sudah tidak menyadarinya lagi, atau bahkan mungkin sudah jenak dengan keberadaannya tersebut.
Sekularisme sebuah konsep kebebasan berfikir dan ide-ide sekular yang menyangkut pemisahan urusan kenegaraan (tatanan sosial) dari agama untuk menjelaskan pandangannya yang mendukung tatanan sosial terpisah dari agama, tanpa meremehkan atau mengkritik sebuah kepercayaan beragama dan berhubungan dengan kehidupan membantun tercapainya kesejahteraan di dunia dalam masyarakat dan budaya.
Sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.
B.     Tujuan Pembahasan
Namun sebelum lebih jauh mengenal sekularisme secara terminologi dan epistemologinya, ada hal penting yang harus diketahui dan difahami terlebih dahulu sebagai “pintu masuk” untuk bisa menjawab pertanyaan yang mendasar, mengapa sekularisme itu “terlahir” ke dunia ini. Pintu masuk tersebut tiada lain adalah sejarah dan latar belakang lahirnya sekularisme.
Hal tersebuatlah bagian dari tujuan penulisan makalah ini, yaitu; mengetahui kritik Al-Attas terhadap sekularisme, mengetahui urgensi islamisasi ilmu dalam prspektif Al-Al-Attas dan mengetahui relasi gagasan sekularisasi.
Tetapi dalam makalah ini lebih menekankan pandangan sekularisme menurut Syed Naquib Al-Attas.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Syed Muhammad Naquib Al-Attas
Sebelum kita membahas sekualrisme dan Islam menurut al-Attas, ada baiknya kita mengenal biografinya terlebih dahulu. Dengan demikian kita bisa lebih mudah mengetahui siapa itu Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bagaiman latar belakang pendidikannya sehingga kita dapat mengerti corak pikir al-Attas.
            1.      Silsilah Keturunan
Naquib al-Attas bernama lengkap Syed Muhammad Naquib Al-Attas ibn Ali ibn Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad al-Attas. Silsilah keluarga Naquib dapat dilacak melalui silsilah syed keluarga Ba’alawi dari Hadralmaut yang sampai kepada Imam Husein, cucu Nabi Muhammad Saw. dari keturunan putri Nabi, Fatimah. Ibu Naquib bernama Syarifah Raquan yang bermarga Al-Aydarus. Dalam masyarakat dunia Islam, baik dari Sunni maupun Syiah, di Arab maupun di luar Arab, telah dikenal istilah Ahlul Bayt (Sebagai keturunan Nabi). Dengan berbagai silsilah yang valid mereka banyak yang dihormati oleh umat Islam, dalam sejarah Hijaz, keturunan Nabi ini hingga abad ke-20 memegang peran penting dalam pemerintahan Arab bahkan setelah keruntuhan Turki.[2] Jadi Al-Aydarus merupan sebuah maraga atau silsilah keturunan Nabi Muhammad Saw. Ibu Naquib berasal dari Bogor, Jawa Barat yang merupakan keturunan ningrat kerajaan Sunda di Sukapura. Ibunda Naquib ini merupakan keturunan dari Muhammad Al-Aydarus, seorang ulama, guru dan pembimbing rohani Syed Abu Hafs ‘Umar ba’ Syaiban dari Hadralmaut, dan juga pernah menjadi guru Nur Al-Din Al-Raniri, seorang alim ulama dari tanah Melayu. Dari pihak bapak, kakek Naquib yang bernama Syed Abdullah ibn Muhsin ibn Muhammad Al-Attas adalah seorang wali yang berpengaruh tidak hanya di jazirah Arab, tetapi juga di tanah Melayu. Syed Abdullah menikah dengan seorang wanita Turki berdarah Aristokrat, Ruqayah Hanum. Ruqayah Hanum sendiri sebelum menikah dengan kakek Syed Naquib Al-Attas, pernah menikah dengan Ungku Abdul Majid, adik dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan adik dari nenek Syed Naquib Al-Attas (Ruqayah hanum) ini, Khadijah adalah permaisuri dari Sultan Abu Bakar Johor. Dan setelah sepeninggal Sultan Abu Bakar Johor, permaisuri Khadijah dinobatkan menjadi Ratu Johor. Syed Naquib Al-Attas adalah anak kedua dari tiga bersaudara. kakak Naquib, Syed Husein adalah seorang sosiolog dan pernah menjadi Wakil Rektor Universitas Malaya. Adik Naquib, Syed Zaid adalah seorang insiyur kimia dan menjadi dosen di Institut Teknologi MARA.[3]
               2.      Riwayat Hidup
Prof. DR. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Lahir dibogor, Jawa Barat, pada tanggal 5 september 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Hussein Al-Attas, seorang ilmuwan dan pakar sosiologi di Univeritas Malaya, Kuala Lumpur Malaysia.[4] Melihat Dari latar belakang keluarga yang dijelaskan diatas  menunjukkan Naquib bukan datang dari kelompok sosio-kultur biasa, melainkan dari kaum ningrat. Dalam dirinya mengalir tidak hanya darah biru, tetapi juga semangat dan emosi keagamaan yang luhur dan tinggi dalam hierarki spiritualitas Islam, yaitu keluhuran dan kesucian pribadi seperti yang diajarkan dalam tasawuf.
Pada usia 5 tahun, Naquib dibawa ke Johor, Malaysia, untuk belajar di Sekolah Dasar Ngee Heng (1936-1941)[5] dan didik oleh saudaranya ayahnya, Encik Ahmad, kemudian Ny. Azizah, istri Engku Abd Al-Aziz sendiri adalah sepupu neneknya dari pihak ayah, karena nenek dari pihak ayah ini memeng berasal dari bangsawan Melayu. Termasuk kerabatnya dari pihak ini adalah Datuk Onn ibn Jakfar (1895-1962 M), ayah dari Husein Onn (1922-1990 M), mantan Perdana Mentri Malaysia dari tokoh pendiri AMNO; juga Sultan Mahmud Iskandar (1932-2010 M), Sultan Johor (1981-2010 M) yang pernah menjadi Yang Dipertuan Agung Malaysia tahun 1984-1989 M.[6]
Namun, pada masa penjajahan Jepang, Naquib pulang ke Jawa Barat dan masuk di Pesantren al-Urwah al-Wusta, belajar bahasa Arab dan agama Islam di Suka bumi Jawa Barat Pada tahun 1942-1945.[7] Empat tahun kemudian, tahun 1946, Naquib kembali ke Malaysia. Selain tinggal di rumah Engku Abd Aziz, ia juga sempat beberapa lama tinggal bersama Datuk Husein Onn. Di negeri jiran ini ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan moderen, English Colleg, di Johar Baru, dan selanjutnya masuk dinas militer, dan karena prestasinya yang cemerlang ia berkesampatan mengikuti pendidikan militer di Easton Hall, Chester, Inggris, tahun 1952-1955. Namun, Naquib lebih tertarik pada dunia akademik dibandingan militer sehingga ia keluar dari dinas militer dengan pangkat terakhir Letnan.
Setelah lulus dalam akademi kemilitiran ini, Naquib ditugaskan menjadi pegawai kantor di resimen tentara kerajaan Melayu. Namun karena minatnya yang dalm terhadap ilmu pengetahuan, ia akhirnya mengundurkan diri dari dinas militer dan melanjutkan studinya di Universitas of Malay, pada tahun 1957-1959. Setamatnya disitu ia mendapat beasiswa dari Canada Coucil Felloshio untuk belajar di Institute of Islamic Studies Universitas McGill Montreal. Disinilah ia berkenalan dengan beberapa sarjana Muslim terkenal, diantaranya Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang) dan Sayyed Hossein Nasr ( Iran). Sampai memperoleh Master pada tahun 1963, atas dorongan dari para koleganya, ia melanjutkan pendidikan doktoralnya dan selesai pada tahun 1965. Selanjutnya, ia menempuh program doktor pada School of Oriental and African Studies, Universitas London, yang oleh banyak kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis. Di sini ia menekuni teologi dan metafisika, dan menulis disertasi berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri, tahun 1962.[8]
Dalam perjalanan karir akademiknya, al-Attas mengawali karirnya dengan menjadi seorang dosen. Dia banyak membina perguruan tinggi dan ikut berpartisipasi dalam pendirian universitas di Malaysia, baik sebagai ketua jurusan, dekan, direktur dan rektor.Pada tahun 1968-1970 al-Attas menjabat sebagai ketua Departemen Kesusastraan dalam Pengkajian Melayu.al-Attas merancang dasar bahasa Malaysia pada tahun 1970. Dan pada tahun 1970-1973 al-Attas menjabat Dekan pada Fakultas Sastra di universitas tersebut. Akhirnya pada tanggal 24 januari 1972 dia diangkat menjadi Profesor Bahasa dan Kesusastraan Melayu, dalam pengukuhannya dia membacakan pidato ilmiah yang berjudul Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu.[9]
                3.      Latar Belakang Pendidikan
Latar belakang keluarganya memberikan pengaruh yang besar dalam pendidikan awal Naquib. Dari keluarga yang berada di Bogor, dia memperoleh pendidikan dalam ilmu-ilmu keislaman dengan intens. Pada usia 5 tahun Syed Muhammad Naquib al-Attas menempuh pendidikan dasar di Sekolah Dasar Ngee Heng Johor, Malaysia pada tahun 1936-1941. Namun saat pendudukan Jepang di Indonesia, ia pergi belajar ke Jawa untuk belajar di Madrasah al-`Urwatu al-Wuthqa di Sukabumi, Jawa Barat, sebuah lembaga pendidikan yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar, pada tahun 1941-1945. Setelah Perang Dunia II pada tahun 1946 ia kembali ke Johor untuk menyelesaikan pendidikan menengahnya di Bukit Zahra School kemudian melanjutkan di English College pada tahun 1946-1951. Ia begitu tertarik untuk mempelajari sastra Melayu, sejarah, dan kebudayaan Barat. Lulus dari Universitas Malaya, ia mendapatkan beasiswa untuk berstudi di Institute of Islamic Studies di McGill University, Montreal, Kanada. Tahun 1962 Naquib berhasil menyelesaikan studi pascasarjananya dengan thesis raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh. Naquib kemudian melanjutkan studi ke School of Oriental and African Studies, University of London di bawah bimbingan Professor A. J. Arberry dari Cambridge dan Dr. Martin Lings. Thesis doktornya (1962) adalah studi tentang dunia mistik Hamzah Fansuri, seorang sufi besar dari Melayu yang sangat kontroversial. Pada tahun 1987, Naquib mendirikan sebuah institusi pendidikan tinggi bernama International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di Kuala Lumpur. Melalui institusi ini Naquib bersama sejumlah kolega dan mahasiswanya melakukan kajian dan penelitian mengenai pemikiran dan peradaban Islam, serta memberikan respons yang kritis terhadap Peradaban Barat.[10]
            4.      Corak Pemikiran Syed Naquib Al-Attas
Salah satu tokoh kunci dalam diskursus Islamisasi adalah Sayid M. Naquib Al-Attas. Dialah orang pertama yang secara eksplisit menyatakan dan meresmikan proyek Islamisasi ilmu ketika diadakan Konferensi Pendidikan Islamisasi Internasional di Mekkah, tahun 1977. Ide ini kemudian disempurnakannya sendiri lewat beberapa buku yang ditulis diterbitkan tahun 1978. Menurutnya, islamisasi bukan sekedar mempertemukan atau menyandingkan ilmu umum dan ilmu keislaman, melainkan lebih merupakan rekonstruksi ontologis dan epistemologis ilmu umum yang tidak sesuai dengan nilai Islam agar sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sebab, dari sisi inilah lahir sebuah disiplin ilmu.[11]
Apabila ditelaah dengan cermat, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan oleh Al-Attas, tampak jelas bahwa dia berusaha menampilkan wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu.
Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan yang dirumuskannya, yakni tujuan pendidikan dalam Islam harus mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (Al-Insan Al-Kamil). Insan kamil yang dimaksud adalah manusia yang bercirikan:
1.      Manusia yang seimbang, memiliki keterpaduan dua dimensi kepribadian;
a.       Dimensi isoterikvertikal yang intinya tunduk dan patuh kepada Allah dan.
b.      Dimensi eksoterik, dialektikal, horisontal, membawa misi keselamatan bagi lingkungan sosial alamnya.
2.      Manusia seimbang dalam kualitas pikir, zikir dan amalnya.
Maka untuk menghasilkan manusia seimbang bercirikan tersebut merupakan suatu keniscayaan adanya upaya maksimal dalam mengkondisikan lebih dulu paradigma pendidikan yang terpadu. Tetapi sebelum menyebarkan gagasannya, Al-Attas terlebih dahulu mendefinisikan apa itu ilmu pengetahuan. Baginya hal ini penting, karena mendefinisikn ilmu pengetahuan bukan perkara mudah. Salah satu problem umat islam saat ini diantaranya ketidakmampuan mendifinisikan sebuah konsep dengan benar.[12] Dengan kata lain, hadirnya makna ke dalam jiwa berarti Tuhan sebagai sumber pengetahuan, sedangkan hadirnya jiwa kepada makna menunjukkan bahwa jiwa sebagai penafsirannya.[13]
Dari analisis penulis al-Attas berpijak pada pemahaman diatas bahwa al-Attas mendifinisikan ilmu sebagai satu kesatuan antara orang yang mengetahui dengan makna, dan bukan antara yang mengetahui (subjek ilmu) dengan yang diketahui (objek ilmu). Unsur-unsur makna ini dikonstruksikan oleh jiwa dari objek-objek yang ditangkap oleh indera ketika jiwa menerima iluminasi dari Allah Swt, dan berarti unsur-unsur tersebut tidak terdapat dalam objek-objek yang ada.
Indikasi lain yang mempertegas bahwa paradigma pendidikan yang ditawarkan Al-Attas menghendaki terealisirnya sistem pendidikan terpadu ialah tertuang dalam rumusan sistem pendidikan yang diformulasikannya, dimana tampak sangat jelas upaya Al-Attas untuk mengintegrasikan ilmu dalam sistem pendidikan Islam, artinya Islam harus menghadirkan dan mengajarkan dalam proses pendidikannya tidak hanya ilmu-ilmu agama, tetapi juga ilmu-ilmu rasional, intelek dan filosofis.
Dari deskripsi di atas, dapat dilacak bahwa secara makro orientasi pendidikan Al-Attas adalah mengarah pada pendidikan yang bercorak moral religius yang tetap menjaga prinsip keseimbangan dan keterepaduan sistem. Hal tersebut terlihat dalam konsepsinya tentang Ta’dib (adab) yang menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Di situ dipaparkan bahwa setelah manusia dikenalkan akan posisinya dalam tatanan kosmik lewat proses pendidikan, ia diharapakan dapat mengamalkan ilmunya dengan baik di masyarakat berdasarkan adab, etika dan ajaran agama. Dengan bahasa yang berbeda dapat dikatakan bahwa penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi pertimbangan nilai-nilai dan ajaran agama.
B.     Sekularisme dan Islam
            1.      Sejarah Sekularisme
Inti dari faham sekularisme menurut An-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (faşlud-din ‘anil-hayah). Menurut Nasiwan (2003), sekularisme di bidang politik ditandai dengan 3 hal, yaitu: (1). Pemisahan pemerintahan dari ideologi keagamaan dan struktur eklesiatik, (2). Ekspansi pemerintah untuk mengambil fungsi pengaturan dalam bidang sosial dan ekonomi, yang semula ditangani oleh struktur keagamaan, (3). Penilaian atas kultur politik ditekankan pada alasan dan tujuan keduniaan yang tidak transenden.
Tahun yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya sekularisme adalah 1648. Pada tahun itu telah tercapai perjanjian Westphalia. Perjanjian itu telah mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun antara Katholik dan Protestan di Eropa. Perjanjian tersebut juga telah menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma (Papp, 1988). Inilah awal munculnya sekularisme. Sejak itulah aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja yang dianggap sebagai wakil Tuhan. Asumsinya adalah bahwa negara itu sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya, sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya. Sementara itu, Tuhan atau agama hanya diakui keberadaannya di gereja-gereja saja.
Awalnya sekularisme memang hanya berbicara hubungan antara agama dan negara. Namun dalam perkembangannya, semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala lini pemikiran kaum intelektual pada saat itu. Sekularisme menjadi bahan bakar sekaligus sumber inspirasi ke segenap kawasan pemikiran.[14]

       2.      Relasi Islam dan Sekularisme
Dalam bahasa Arab ada beberapa kata yang bisa digunakan untuk menunjukkan arti sekularisme. Salah satunya adalah al-dahriyyah. Kata ini memiliki arti yang sama dengan saeculum yakni abad, masa atau generasi. Namun kata ini terdengar bernada negatif karena lebih dekat dengan ateis dan materialis serta mengakui keabadian dunia menafikan akhirat. Kata  berikutnya adalah al-almaniyyah atau al-ilmaniyyah. Al-almaniyyah memiliki arti merupakan derivasi dari alam yang justru merujuk kepada alam (science). Kata ini tentu agak lepas dari saeculum. Tetapi saeculum juga bisa bermakna alam yang ada dalam rentang waktu berbeda dengan danum atau mundus yang bermakna alam yang kekal dan bebas dari batasan waktu. Jika demikian, al-alamiyyah lebih tepat diartikan sebagai scientific.
Al-ilmaniyyah berasal dari kata ‘ilm atau ilmu. Pemahaman yang timbul adalah paham yang ingin menunjukkan ilmu pengetahuan yang seolah-olah perkembangannya dibatasi oleh agama. Sementara jika sekularisme menunjukkan makna “selain agama” maka makana yang tepat sebenarnya adalah al-dunyawiyyah. Kata ini bukan sebagai antonim dari ukhrawiyyah tetapi al-dunyahiyyah. Atau kata yang agak tepat adalah an la diiniyyah yang menunjukkan antonym dari din.[15]
Dari analisi penulis bahwa, kontroversi sekularisasi dan sekularisme yang muncul dengan sangat populer ini telah menimbulkan polemik besar yang cukup berkepanjangan di kalangan intelektual Muslim. Problematika Islam dan sekularisme maupun sekularisasi dalam tradisi perkembangan pemikiran moderen Islam cukup berpariasi didalam cara memaknai sekularisme dan sekularisasi.
Dan harus diakui, bahwa respon umat Islam terhadap berbagai isu-isu kontemporer, termasuk sekularisme dilatarbelakangi oleh kedatangan kolonialis Barat ke negara Islam yang menyebabkan berkurangnya eksistensi dokterin-dokterin Islam diantara pemeluknya. Mereka memperkenalkan hukum yang bersifat sekuler melalui kekuasaan dan melalui kekuasaan dan melalui pendidikan modern bagi anak-anak Muslim.[16]
Adapun pemikir modern Islam yang termasuk dalam kelompok rejeksionis adalah Muhammad al-Bahy. Dia mengakui bahwa sekularisasi maupun sekularisme berakar pada masyarakat Kristen Barat, juga disebabkan karena pengaruh pemikiran filsafat Barat.
Muhammad al-Bahy membagi skularisme menjadi dua priode, yaitu:
1.      Periode sekularisme moderat, yakni antara abad ke-17 dan 18. Dalam priode ini agama dianggap sebagai masalah individu dan tidak ada hubungannya dengan negara.
2.      Periode sekularisme ekstrem yang berkembang pada abad 19 dan telah mencapai puncak ektremismenya dalam pemikiran materialisme historis. Dalam periode ini agama tidak hanya menjadi masalah pribadi, tetapi justru negara memusuhi agama, sehingga periode ini disebut sebagai revolusi sekuler.[17]

  3.      Terminologi  Sekularisme
Menurut Maksun, secara difinitif, pelacakan terhadap terminologi sekularisme bisa dilihat dari akar kata yang membentuknya, yakni sekuler, sekularisme dan sekularisasi. Menurut penulis hal tersebut diatas sangat penting diuraikan terlebih dahulu, ini berguna untuk melihatnya sebagai kerangka pemikiran.
a.      Sekuler
Istilah Inggris Secular atau sekuler berasal dari bahasa Latin saeculum yang berarti zaman sekarang ini (this present age). Sebenarnya, ada dua kata lain yang dalam bahasa Latin yang juga menunjukkan makna dunia yaitu  mundus, yang kemudian di Inggriskan menjadi mundane. Jika kata saeculum lebuh menunjukan masa (time), kata mundus lebih menunjuk terhadap makna ruang (space). Kata saeculum sepadan dengan kata aeon dalam bahasa Yunani kuno dan kata mundus sepadan dengan kata cosmos juga dalam bahasa Yunani kuno.[18] Atau dengan kata lain, saeculum yang berarti ganda, ruang, dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pada pengertian sekarang atau zaman kini. Dan masa kiniatau zaman kini menunjuk pada pristiwa di dunia ini, atau berupa pristiwa masa kini.[19] Konotosi ruang dan waktu (spatio-temporal) dalam konsep sekuler ini secara historis terlahirkan di dalam sejarah Kristen Barat. Di Barat pada abad pertengahan, secara politik, telah terjadi langkah-langkah pemisahan antara hal-hal yang menyangkut masalah agama dan non agama (bidang skuler).[20]
Dalam perkembangannya, pengertian sekuler pada abad ke-19 diartikan sebagai kekuasaan, bahwa Gereja tidak berhak ikut campur dalam bidang politik, ekonomi, dan ilmu pengetahuan. Dalam kampus kontemporer, sekuler diartikan Pertama, berkenaan dengan hal-hal duniawi, dan kedua, tidak diabadikan untuk kepentingan agama.
b.      Sekularisasi
Dari akar kata sekuler kemudian terbentuklah kata sekularisasi. Pengertian sekularisasi sering diartikan sebagai pemisahan antara urusan negara (politik) dan urusan agama, atau pemisahan antara urusan duniawi dan ukhrawi (akhirat). Sebagaimana yang berkembang sejak abad pertengahan, sekularisasi menunjukkan arah perubahan dan pergantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat alamiah dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argomentatif.
Seorang pengamat sosial politik barat, Paul H. Landis, sebagaimana dikutip Pardoyo, “The trend a way seculer and rational interpretation is known as secularization.” (Kecendrungan mengenai cara melakukan interpretasi yang bersifat sekuler dan rasional itulah yang dikenal sebagai sekularisasi).
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan menganggap ilmu pengetahuan otonom pada dirinya. dengan demikian, menusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang dikehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode ilmiah empiris, yang telah berkembang sejak abad 18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan realitas yang konkret.[21]
Menurut Harvey Cox, disebabkan kata “dunia” di dalam bahasa Latin memiliki dua istilah yang berbeda, yaitu mundus dan saeculum, maka kata dunia ini dalam bahasa Latin menjadi satu kata yang ambivalent. Ambivalensi kata dunia ini, menurut Cox, sebenarnya mengungkapkan problem teologis yang dapat ditelusuri kembali dari peradaban konsep antara Yunani dan Ibrani. Orang Yunani kuno memandang realitas itu sebagai satu ruang, sementara dalam bahasa Ibrani, dunia itu menunjukkan suatu masa. Bagi orang Yunani, dunia adalah sebuah ruang, sebagi tempat. Event-event terjadi di dalam (within) dunia, tetapi tiada satu pun yang penting terjadi kepada (to) dunia. Sebalikanya, dalam bahasa Ibrani, esensi dunia adalah sejarah. Peristiwa yang terjadi secara berurutan, bermula dari pencintaan dan menuju kesempurnaan. Yahudi menganggap bahwa dunia ini diciptakan Tuhan supaya manusia mencintainya dan membawa kesempurnaan. Jadi, jika orang Yunani kuno memandang realitas itu menurut ruang, maka orang Yahudi memandang realitas itu menurut masa. Ketegangan konsep antara keduanya kemudian berdampak terhadap teolagi Kristen sejak awal pembentukannya.[22]
Dalam bukunya Harvey Cox, menunjukan bahwa ada tiga komponen penting dalam Bibel yang menjadi kerangka asas kepada sekularisasi. Pertama, adalah disenchantment of nature yang dikaitkan dengan penciptaan (creation). Kedua, desacralization of politics dengan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari Mesir. Ketiga, deconsecration of values dengan perjanjian Sinai.[23]
Yang dimaksudkan tiga komponen di atas yaitu, pertama, dimaksudkan pembebasan alam dari sifat magis dari alam, yang kedua, penghapusan legitimasi kekuasaan dan wewenang politik dari agama, yang ketiga, berarti bahwa nilai-nilai, termasuk agama, terbuka untuk perubahan yang didalamnya manusia bebas menciptakan perubahan itu dan membenamkan dirinya dari proses evolusi.[24]
Jadi menurut Cox, sekularisi menjadi semacam pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju dunia kini. Sekularisi, menurut Cox menjadi konsekuensi otentik dari kepercayaan Bibel.
c.       Sekularisme
Sekularisme berasal dari bahasa Inggis; secularism yang berarti bersifat keduniaan (worlly).[25] Terminologi sekularisme diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab dengan imaniyyah, dan tersebar luas di Mesir dan Afrika Utara, non-agama (irriligious). Non-spiritual (un-spiritual; larthly; mundane) lawan katanya adalah: suci (holy), yaitu bersifat keagamaan (religious). Jadi sekularisme menempatkan hal-hal ilmiah, tata aturan dan masalah-masalah sosial pada posisi agama.[26]
Istilah sekularisme pertamakali digunakan oleh penulis Inggris George Holyoake pada tahun 1846. Ia berpendapat bahwa, Secularism is an ethical sistem founded on the principle of natural morality and independent of revealed or supernaturalism. (sekularisme adalah suatu sistem etik yang didasarkan pada prinsip moral alamiyah dan terlepas dari agama-wahyu atau supernaturalisme).[27]
Secara kebahasaan, istilah sekularisasi dan sekularisme berasal dari kata latin saeculum yang berarti sekaligus ruang dan waktu. Ruang menunjuk pada pengertian duniawi, sedangkan waktu menunjuk pengertian sekarang atau zaman kini. Sehingga saeculum berarti dunia ini, dan sekaligus sekarang, masa kini, atau zaman kini.[28]
Dalam sebuah kamus yang dikutif oleh H. Oemar Bakri ditulis, Secularism is the view that the influence of religious organizations should be reduced as much possible, and that morality and education should be separated from religion. (Sekularisme adalah suatu pandangan bahwa pengaruh organisasi agama harus dikurangi sejauh mungkin, dan bahwa moral dan pendidikan harus dipisahkan dari agama).[29]
Berangkat dari definisi semacam di atas, Barry Kosmin membagi sekularisme menjadi dua jenis, yaitu;
1.      Sekularisme keras.
Menurut Barry sekularisme keras menganggap pernyataan keagamaan tidak mempunyai legitimasi secara epistemologi dan tidak dijamin baik oleh akal maupun pengalaman.

2.      Sekularisme lunak.
Sedangan pandangan sekularisme lunak, ditegaskan bahwa pencapaian kebenaran mutlak adalah mustahil dan oleh karena itu, toleransi dan skeptisme yang sehat bahkan agnotisisme harus menjadi prinsip dan nilai yang dijunjung dalam diskusi antara ilmu pengetahuan dan agama.[30]
Manusia yang menganut faham sekularisme berusaha menikmati kehidupan dan kemajuan selama ini seolah-olah tanpa campur tangan Tuhan, dan menganggap Tuhan tidak perlu lagi.
Menurut Altaf Gauhar, Islam merupakan antitesis dari sekularisme, hal ini sama dengan apa yang dikatakan oleh Muhammad al-Bahy, bahwa, Islam merupakan kebalikan dari sekularisme. Menurut Muhammad Qutb, sekularisme cenderung diartikan sebagai membangun struktur kehidupan tanpa dasar agama.[31]
Meskipun sekularisme awalnya terjadi pada abad moderen (khususnya abad ke-19) yang dialami kaum Kristen, namun dalam perkembangannya kini sekularisme menyusup secara diam-diam dan belakangan lebih langsung kedalam pandangan dan budaya kaum muslim, sehingga tak kurang pro dan kontra tentang sekularisme pun mengiringi perkembangan masyarakat Islam dewasa ini.[32]
Di berbagai tempat, paham sesat sekularisme bermunculan dan menjadi pembicaraan bahkan menjadi gelombang yang menggulung dunia Islam dalam keyakinan, pemikiran dan amal. Langkah barat melepaskan agama dari kehidupan kemasyarakatan dianggap sebagai sebuah kemajuan, bahkan kemajuan materil yang dialami barat diyakini sebagai nilai positif dari penerapan sekularisme. Hingga puncaknya adalah ketika Musthafa Kemal Ataturk yang dikenal sebagai peletak dasar sekularisme Turki bersama Dewan Agung Nasional Pimpinan-nya menghapuskan sistem kekhalifahan pada tanggal 3 Maret 1924 dan memindahkan pusat pemerintahan dari Istanbul ke Ankara. Selanjutnya pada tanggal 29 oktober 1924 Dewan Nasional Agung memproklamasikan terbentuknya Negara Repulik Turki yang dianggap lebih cocok dengan kemajuan zaman dan mengangkat Musthafa Kamal sebagai presiden Republik Turki pertama, pasca Khilafah Utsmaniyyah. Khilafah sebagai sistem kepemimpinan Islam pun hilang ditelan zaman. Inilah keberhasilan besar dari para pengasong sekularisme sepanjang sejarah, setelah menumbangkan dominasi gereja yang memang sesat di Eropa merekapun berhasil menyingkirkan Islam dari ranah publik dengan tangan ummat Islam sendiri. Terlepasnya manusia dari aturan Islam dan lepasnya sistem Khilafah dari kehidupan ummat Islam menyebabkan mereka kehilangan tembok pengaman dan tiang lampu penerangnya. Ummat Islam mundur diberbagai bidang kehidupan, baik ideologi, hukum, ekonomi, sosial, politik, keamanan hingga hak hidup, dimana nyawa paling murah dikolong langit saat ini adalah nyawa kaum Muslimin.[33]
 Hal ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Allah Swt di dalam firman-Nya, yaitu:
QS. Thaha: 124.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ ,مَعِيْشَةً ضَنْكًاوَنَحْشُرُهُ, يَوْمَ آلْقِيَمَةِ أَعْمَى
Artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta”.[34]
Di Barat (Eropa) pada abad ke-19 terjadi secara intensif pemisahan antara hal-hal yang menyangkut agama dan non-agama yang kemudian disebut sekularisme. Sedikit demi sedikit urusan keduniawian memperoleh kemerdekaan dari pengaruh Gereja (terutama Gereja Protestan), dengan puncaknya di mana Gereja tidak berhak campur tangan dalm bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan. Pengertian ini, kemudian memicu polemik untuk tidak mengatakan pertentangan antara urusan agama dan non agama, atau “sekuler”. Tetapi, walaupun definisi umum yang populer seperti itu, dalam perjalanan sejarah konseptualnya, pengertian sekularisme sebagai konsep pun terus mengalami perkembangan bahkan perubahan sejalan dengan arus modernisasi yang terjadi dimasyarakt barat, dan kemudian mempengaruhi seluruh dunia. Dua istilah itu kemudian populer dengan “sekularisasi” dan “sekularisme”.[35]
Setelah melacak secara etimologis dan perubahan makna yang terjadi dalam kata sekularisai, maka sebenarnya ada makna yang terjadi dalam kata sekularisasi, maka sebenarnya ada makna yang berbeda antara sekularisasi dan sekularisme. Sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya, sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development).
Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Ia adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan agama. Selain itu, sekularisme itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, ia adalah hasil otentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah barat. Oleh sebab itu, sekularisasi berbeda dengan sekularisme, yaitu idiologi (isme) yang tertutup. Menurut Harvey Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Karenanya, sekularisme harus diawasi, diperiksa dan dicegah untuk menjadi idiologi negara.[36]
Jadi, Sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai dan memberikan keterbukaan bagi perubahan. Dari alasan inilah mereka (barat) menanggap sekularisme sebagai ancaman yang harus diwaspadai dan diawasi oleh negara agar tidak menjadi ideologi negara.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara etimologis, sekular berasal dari bahasa latin, saeculum yang memiliki arti dalam konotasi time (masa) dan location (tempat). Al-Attas menerangkan bahwa saeculum memiliki makna “masa kini,” dan “disini.” “Masa kini” berarti zaman sekarang ini (this present age) sedangkan “di sini” merujuk kepada di dunia ini.[37] Jadi, paham sekular berdasarkan definisi dari al-Attas, merujuk kepada, “kedisini-kinian” atau peristiwa-peristiwa masa kini, dan peristiwa-peristiwa di dunia ini.
Dari sekian banyak pemikiran dan pendapat tentang sekularisasi dan sekularime yang sudah dijabarkan dan dijelaskan sedemikian rupa oleh penulis di atas. Dan dapat kita lihat bersama bahwa seiringnya zaman bergulir seperti roda yang berputar pada porosnya, maka berbagai gagasan dan keritik terhadap sekularisasi dan sekularisme ini bergulir begitu saja dengan argumen, pendapat yang berbeda-beda kita temui.
C.    Sekularisme di Indonesia
Penulis akan mencoba sedikit membahas tentang gagasan sekularisasi yang sangat penomenal khususnya di Indonnesia sendiri.
Gagasan sekularisasi di Indonesia sulit dilepaskan dari nama Nurcholish Madjid, yang pada tanggal 2 Januari 1970 meluncurkan gagasannya dalam diskusi yang diadakan oleh HMI, PII, GPI dan Persami, di Menteng Raya 58. Ketika itu Nurcholish meluncurkan makalah berjudul “Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat.” Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid mengadopsi dan memodifikasi pemikiran Harvey Cox dan Robert N.[38]
Pendapat Nurcholish, pendekatan dari segi bahasa akan banyak menolong menjelaskan makna suatu istilah. Menurutnya etimologi sekuler ini mengikuti pemikiran Harvy Cox. Setelah mengungkap etimologi kata sekuler Nurcholish berpendapat bahwa kata dunia adalah istilah yang parallel dalam bahasa Yunani kuno, Latin dan bahasa Arab (al-Qur’an).
Kemudian ia menjelaskan, bahwa itulah sebabnya, dari segi bahasa an sich pemakaian istilah sekuler tidak mengandung keberatan apapun. Maka, benar jika kita mengatakan bahwa manusia adalah makhluk duniawi, untuk menunjukkan bahwa dia hidup di alam dunia sekarang ini, dan belum mati atau berpindah ke alam baka. Kemudian, kata duniawi itu diganti dengan kata sekuler, sehingga dikatakan, manusia adalah makhluk sekuler. Malahan, hal itu tidak saja benar secara istilah, melainkan juga secara kenyataan. Jadi menurut Nurcholish, tidak ada masalah menggunakan kata sekuler untuk Islam, karena memang manusia adalah makhluk sekuler.[39]
Salah satu argumen Nurcholish yang terkenal dalam mempertahankan pendapatnya adalah pembedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Dalam hal ini pun Nurcholish mengutip pendapat Hary Cox. Nurcholish juga mengemukakan perbedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalitas adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilain yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahannya. Rasionalisasi adalah proses penggunaan metode ini. Analoginya sekularisasi tanpa sekularisme, yaitu proses penduniaan tanpa paham keduniawian, bukan saja mungkin, bahkan telah terjadi dan terus akan terjadi dalam sejarah.[40]
Dalam perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia, baik sayap islamis atau  radikal maupun sayap sekularis atau Islam Progresif, keduanya berusaha memperoleh pengaruh di kalangan umat Islam. Sayap pertama dimotori oleh Agus Salim dan Mohammad Natsir, sedangkan sayap kedua tampak dalam pemikiran Soekarno. Lebih jauh masalh hubungan Islam dan negara pertama kali muncul dalam perdebatan tentang weltanchauung (dasat negara) di dalam sidan-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam siding tersebut muncul perdebatan panjang tentang perlunya dasar negara yang akan dibentuk. Perdebatan panjang seputar isu tersebut pada akhirnya melahirkan dua kelompok besar dalam BPUPKI. Yaitu kelompok “nasionalis sekular” dan “nasionalis Islam”. Kelompok pertama menginginkan ideologi kebangsaan bagi negara yang akan dibentuk. Sebaliknya kelompok kedua menghendaki ideologi agama, yaitu Islam.[41]
Polemik panjang antar kubu nasionalis sekular dan nasionalis Islam di atas menjadi bukti empiris bahwa ketegangan dua kubu berlanjut terus setelah perdebatan para founding fathers. Dalam bukunya di Universitas Chicago yang sudah diterbitkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Masalah Kenegaraan, ide-ide golongan Islam secara keras ditolak oleh kelompok-kelompok non-Islam yang kebanyakan mendukung Pancasila. Dalam perdebatan ini kelompok Islam mengkritik Pancasila karena dianggap sebagai sekular dan bertentangan dengan jiwa komunitas Muslim.[42]
Dalam menggulirkan gagasan sekularisasinya, Nurcholish mencari justifikasi dari ajaran-ajaran Islam. Dia menyatakan, gagasan sekularisasi dapat dijustifikasi dari dua kalimat syahadat, yang mengandung negasi dan afirmasi. Menurut tafsiranya, kalimat syahadat menunjukkan bahwa manusia bebas dari berbagai jenis kepercayaan kepada tuhan-tuhan yang selama ini dianut, kemudian mengukuhkan kepercayaan kepada Tuhan yang sebenarnya. Manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di bumi karena manusia memiliki intelektualitas, akal pikiran atau rasio. Dengan rasio inilah, manusia mengembangkan diri dan kehidupannya di dunia ini.[43]
Nurcholish menyarankan agar umat Islam membebaskan dirinya dari kecendrungan untuk menempatkan hal-hal yang semestinya duniawi sebagai duniawi, dan hal-hal yang semestinya ukhrawi sebagai ukhrawi (akhirat). Dari sinilah kemudian muncul gagasan tentang “sekularisasi” yang merupakan respon terhadap fenomena sosial politik yang berkembang pada awal rezim Orde Baru, yang merupakan implementasi gagasan dan pemikitan Nurcholish terhdap Islam sebagai agama yang terbuka dan menganjurkan idea of progress. Nurcholish mengajak agar umat Islam senantiasa berani melakukan ijtihad, termasuk dalam merespon persoalan-persoalan Indonesia kontemporer. Nurcholish juga mengajak umat Islam agar tidak phobi terhadap fenomena modernisasi, yang di antara implikasinya adalam penerimaan atas sekularisasi.[44]
Nurcholish mengusung ide tentang perlunnya kebebasan berpikir sehingga memunculkan pikiran-pikiran segar yang mempunyai daya pukul psikologis (psychological striking force) yang dapat merespon tuntunan-tuntunan segar dari kondisi-kondisi masyarakat yang terus tumbuh, baik dibidang ekonomi, politik, maupun sosial. Dengan kata lain, umat Islam harus mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam pembangunan masyarakat yang bersifat duniawi. Dengan demikian, pintu ijtiahad bagi Nurcholis adalah tetap terbuka, dan merupakan keharusan bagi umat untuk memahami agamanya. Bahkan menurut Nurcholish, jika benar-benar konsisten terhadap ajaran agamanya, seseorang Muslim harus terbuak terhadap ide-ide kemajuan (idea of progress) serta bersedia mendengarkan perkembangan  ide-ide kemanusian dengan spectrum seluas mungkin, kemudian memilih diantaranya, yang menurut ukuran-ukuran objektif akal pikiran yang apa adanya, harus terlibat dalam upaya menemukan cara-cara yang terebaik bagi kehidupan kolektif manusia.[45]
 Dalam dunia pemikiran, gagsan sekularisasi merupakan bagian tak terpisahkan dari ijtihad Norcholish. Pengertian sekularisasi dimaksudkannya sebagai suatu proses penduniawian, dalam pengertian meletakkan peranan  utama pada ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Norcholish, sekularisasi mempunyai kaitan erat dengan desakralisasi, karena keduanya mengandung unsur pembebasan. Sekularisasi berarti terlepasnya atau pembebasan dunia dari pengertian religious. Begitu juga desaklarisasi dimaksudkan sebagai penghapusan atau pembebasan dari legetimasi sakral. Pemutlakan trensendensi semata-mata kepada Tuhan sebenarnya harus melahirkan “desakralisasi” pandangan terhadap semua selain Tuhan; sebab sakralisasi kepada sesuatu selain Tuhan pada hakikatnya syirik-yang merupakan lawan dari tauhid. Maka semua objek yang selama ini dianggap sakral tersebut merupakan objek yang harus dideskralisasikan.[46]
Dengan uraian tentang sekularisasi itu, Nurcholish bermaksud membedakan bukan memisahkan persoalan-persoalan duniawi dan ukhrawi. Pembedaan ini diperlukan karena ia melihat umat Islam tidak bias melihat dan memahami persoalan secara proporsional.[47]
Lebih jauh Nurcholish menjelaskan tentang ini dengan menyatakan, pembedaan antara “sekularisasi” dan “sekularisme” semakin jelas jika dianalogikan dengan pembedaan antara rasionalisasi dan rasionalisme. Seorang Muslim harus bersikap rasional, tetapi tidak boleh menjadi pendukung rasionalisme. Rasionalisasi adalah suatu metode guna memperoleh pengertian dan penilaian yang tepat tentang suatu masalah dan pemecahanya. Ia mengnjurkan setiap seorang muslim bersikap rasioanal dan melarang untuk tidak menjadi rasionalis.[48]
Berbicara Ilmuwan Muslim kontemporer yang mewakili wacana baru di Era contemporer dewasa ini yang juga fenomenal adalah  Zainuddin Sardar.
Zainuddin Sardar adalah lulusan Doktor dari Pakistan Bidangnya Fisika, Ia lahir 1951, sejak tahun 1980 an ia rajin menulis di berbagai kolom media terkenal di dunia. Zainuddin Sardar adalah terkenal dengan julukan tukang pencipta Ilmu pengetahuan Islam Contemporer. Yaitu Sistem Ilmu pengetahuan  yang sepenuhnya didasarkan pada nilai-nilai Islam. Di samping itu ia juga selalu menganjurkan kepada Intelektual muslim untuk membuat karya Ilmu Pengetahuan Islam Contemporer. Sardar juga mengkritik keras kelompok-kelompok lain yang tak sejalan dengannya. Ia mengkritik kelompok muslim, yang mengatakan bahwa dampak negative ilmu pengetahuan modern dapat diatasi dengan menambahkan etika Islam. Argumen ini menurutnya tak sah, karena dampak ilmu pengetahuan modern, juga menyangkut soal kongnitif, sehingga perumusan epistimologi Islam sangat diperlukan. Temuan berikutnya yang juga dikritik Sardar sangat keras adalah kelompok yang mengembangkan “Bucaillisme” yang diambil dari kata: Maurica Bucaille, dan buku-bukunya tentang kesesuian Al-Qur’an dengan temuan kedokteran modern yang menjadi best-seller di negara-negara Muslim di dunia. Karena praktik seperti ini sangat berbahaya, karena teori Ilmu pengetahuan yang dapat berubah setiap saat. sementara Al-Qur’an tidak dapat berubah. Dengan kata lain kesesuaian itu tak dapat menjadi argument bagi kebenaran Al-Qur’an sesuatu yang justru diupayakan Bucaile dan banyak Sarjana Muslim lain. Dalam mengemukakan argument-argumennya mengenai Ilmu pengetahuan Islam. Sardar selalu memulai dengan kritik-kritik amat keras terhadap ilmu pengetahuan Modern.[49]
Secara tegas dan sistematis, Sardar mengemukakan empat argument tentang perlunya Ilmu pengetahuan Islam.
1.      Dalam sejarah terhadap peradaban besar menciptakan system ilmu pengetahuannya yang berbeda-beda.
2.      Peradaban Islam pun dalam sejarahnya mengembangkan sistem ilmu pengetahuan yang unik.
3.      Ilmu pengetahuan Barat bersifat distruktif terhadap ummat manusia, hingga keakar-akarnya.
4.      Ilmu pengetahuan barat tak bisa memenuhi tuntutan material,cultural,dan spiritual masyarakat Muslim.
Zainuddin Sardar mengatakan, bahwa ketika pemikiran dan tulisan tentang Islam kebanyakan dihasilkan intelektual muslim yang berakar dari kedua sumber yaitu; Intelektual Muslim Modern dan Intelektual Muslim Tradisional. Proyek itu bukan hal yang menjadikan pemikiran modern menjadi menyempit atau mengecil atau juga tanpa membatasi suatu kritik. Islam selalu dipresentasikan semacam buku agama, sebuah penelitian modernlah yang akan bisa menerima atau happy untuk membatasi Islam dan membuat tapal batas pada kesucian atau kesalehan personality  antara keyakinan dan ritual. Sementara banyak tradisi yang selalu digambarkan atau mengambarkan, bahwa Islam adalah jalan yang komplit. Bahwasanya yang  dimaksud dengan cara mengeluarkan pendapat atau perkataan adalah, Islam menyentuh seluruh aspek dalam kehidupan seluruh kemanusiaan, terutama masalah sosial, Ekonomi, Pendidikan dan tabiat atau prilaku kepentingan politik seseorang. Bagaimana, pendekatan untuk mempelajari islam semacam Extrem. Sementara, mereka membatasi diri. Setiap Pendekatan pada Islam itu sendiri, bahwa ada usaha untuk menentukan dari tapal batas-batas Islam itu sendiri. Catatan dan masukan yang bersifat Qutub yang tidak ditemukan garis  diskusi Epistimologi dan science, teknologi, lingkungan, urbanisasi, dan pengembangan. Isu ini yang semula awalnya berangkat dari sesuatu prihal yang sangat mendesak. Issue pengetahuan Muslim contemporer, sepertinya kebanyakan didominasi oleh dunia barat.[50]
Dalam ruang keindonesian, Pancasila bias disebut, mengikuti istilah Robert N. Bellah, sebagai civil religion. Sama hanya dengan kata religion pada usulan Bellah, sila “ketuhanan Yang Maha Esa” tidak menunjuk pembelaan pada agama tertentu. Tetapi, bermaksud menegaskan bahwa agama-agama di Indonesia berintikan satu Tuhan, yaitu Yang Maha Esa. Terbukti dengan di hapusnya tujuh kata “kontroversial" dalam Piagam Jakarta yang merupakan bahan mentah Pancasila. Namun, seperti disinyalir oler A.R. Zainuddin, sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila telah merupakan satu sila yang menjiwai sila-sila yang lain, sebagaimana sila-sila yang lain juga telah menjiwainya,[51]
D.    Keritik Al-Attas Terhadap Sekularisasi
Sekularisme yang dikembangkan oleh peradaban Barat membawa dampak yang kurang baik terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi umat Islam. Sekularisasi yang memisahkan agama dari politik serta penghapusan nilai-nilai agama dari kehidupan, tidak hanya bertentangan dengan fitrah manusia, tetapi juga memutuskan ilmu dari pondasinya dan mengalihkan dari tujuan ilmu yang sebenarnya. Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan konsep yang di dalamnya terdapat pandangan integral terhadap konsep ilmu (epistemologi) dan konsep Tuhan (theology), Islam adalah agama yang memiliki pandangan yang fundamental tentang Tuhan, kehidupan, manusia, alam semesta, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, Islam adalah agama sekaligus peradaban.
Sebelum dapat melihat kepincangan pandangan alam Barat, al-Attas terlebih dahulu mendalami filsafat dan pemikiran Barat seperti rasionalisme, empirisisme, positivisme dan pragmatisme. Beliau menyerang sikap Barat yang terlalu mengagungkan ilmu sains sebagai satu-satunya cabang ilmu yang dapat memberikan kepastian dan keyakinan tentang realitas.[52] Oleh karena itu menurut al-Attas Barat telah ”membatasi pandangan alam pada alam yang dialami oleh indera jasmani serta dibentuk oleh akal rasional.”[53] Dengan menggunakan kaidah rasionalisme dan empirisisme, bagi mereka hakikat hanyalah alam empirik. Dari kajian yang mendalam terhadap worldview Barat ini al-Attas menyimpulkan bahawa ilmu itu tidak netral. Karena baginya ilmu “bukan hanya suatu sifat yang dimiliki akal manusia, bukan juga hanya hasil pengolahan sifat itu tanpa dipengaruhi oleh nilai-nilai yang mempertimbangkan kesahihan pendapatnya”.
Pada akhir tahun 60-an dan 70-an, al-Attas sangat aktif membimbing gerakan para mahasiswa di beberapa universitas di Malaysia untuk memfokuskan perjuangan mereka pada isu-isu fundamental yang sangat penting di dalam pembangunan bangsa seperti masalah bahasa, budaya, sekularisasi, westernisasi, dan islamisai.[54]
Pada tahun 1973, al-Attas sudah mengkritik gagasan sekularisasi ini. Khususnya mengenai penolakan terhadap sekularisasi. Menurut al-Attas, klaim bahwa akar sekularisasi terhadap dalam kepercayaan Bibel adalah keliru. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bibel, tetapi terdat dalm penafsiran orang Barat  terrhadap Bibel.[55]
Sekularisasi bukanlah dihasilkan oleh Bibel, namun ia dihasilkan oleh konflik lama antara akal dan wahyu di dalam pandangan hidup orang Barat. Disebabkan tidak kuatnya dogma dan ajaran Kristen dalam menghadapi Barat sekuler, makanya Kristen terbaratkan.
Al-Attas juga mengkritik makna yang terkandung dalam istilah sekularisasi. Bagi al-Attas, sekalipun Cox membedakan antara sekulersme dan sekularisasi, namun pada akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisme (sekularizationism).[56] Orang Islam tidak boleh ikut-ikutan menerapkan konsep pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam tabi’i (disenchantment of nature), karena konsep ini bertentangan dengan konsep pandang hidup Islam tentang alam. Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta adalah a-ya-t (kata, kalimat  dan tanda simbol) manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam ini memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Manusia memang Sebagi khalifah di atas (muka) bumi. Namun ini bukan berarti manusia akan menganggap dirinya sebagai “patner bersama Tuhan dalam penciptaan.” Manusia harus berlaku adil kepada alam. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam harus terjalin. Justru disebabkan alam bagaikan Kitab terbuka, maka alam itu dipelajari dan diketahui. Tujuannya supaya kita bisa menghargai dan mengakui besarnya  kemurahan dan hikmah yang terkandung yang diberikan Tuhan, pencipta alam semesta ini. Sekularisasi telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, kerusakan dikuma bumi. Hasilnya, alam menjadi korban eksploitasi yang berharga demi sekedar kajian saintifik dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia “menuhankan dirinya” untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam.[57]
Jadi, sekularisasi yang dekat dengan paham ideologi positivism jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam. Sekalipun Islam juga mengosongkan nilai-nilai kepercayaan animism, takhayul, khurafat dari alam, namun ini tidak bererti Islam mengosongkan sepenuhnya alam dari nilai-nilai ruhani. Jadi, Islam mengosongkan alam dari nilai-nilai animism, takhayul, khurafat dan mengisinya dengan nilai-nilai Islam. Jadi, Islam melihat apa yang ada di langit dan di bumi, matahari, bulan dan bintang, pergantian siang dan malam, langit diangkat, bumi dihamparkan, gunung ditegakkan, unta diciptakan sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah. Jadi yang terjadi dalam Islam adalah “the proper (semestinya) disenchantment of nature”, bukan the unjust (yang tidak pada tempatnya) disenchantment of nature, sebagaimana yang terjadi dalam gagasan sekularisasi.
Desakralisasi politik tidak bisa diterima karena ia bertentangan dengan hidup Islam, dimana agama sangat berperan dalam soal pemerintahan dan kepemimpinan. Dalam Islam, sebagaimna diungkapkan al-Attas, kekuasaan politik didasarkan atas Kuasa Ilahi (Divine Aythority) dan kuasa suci Rasulullah Saw, yang merefleksikan kuasa Tuhan. Kuasa yang sama juga ada pada mereka yang meneladani dan mengikuti Sunnah Rasulullah Saw. Justru sebenarnya setiap Muslim harus menolak klaim kuasa suci oleh siapa pun kecuali penguasa yang meneladani Sunnah Rasulullah Saw, dan memeatuhi undang-undang Tuhan. Jadi, sebenarnya seorang Muslim hanya perlu taat kepada Allah Swt, Rasulullah Saw, dan pemimpin yang meneladani Sunnah Rasulullah Saw.[58]
Desakralisasi jelas menafikan peran ulama yang berwibawa dalam sistem pemerintahan. Padahal, Rasulullah Saw sendiri sudah mencontohkan dirinya sebagai pemimpin negara. Hal ini juga diikuti oleh paea penggantinya, Khulafa ar-Rasyidin yang semunya arif dalam masalah agama. Menceraikan Islam dari politik akan menghalangi peranan pandangan hidup Islam tersebar di dalam masyarakat. Agama menjadi urusan pribadi bukan publik.
Al-Attas mengkritik relativisme sejarah, yang menjadi urat nadi dalam sekularisasi. Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu, karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang ada dalam Islam adalah sepanjang masa. Jadi, Islam memiliki pandangan hidup mutlaknya sendiri, merangkumi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta dan lain-lain. Islam memiliki penafsiran ontologis, kosmologis, dan psikologis tersendiri terhadap hakikat. Islam menolak ide dekonsekrasi nilai karena ia bermaksud merelatifkan semua sistem akhlak. Jadi sangat disayangkan gagasan sekularisasi yang bersumber dari pengalaman pandangan hidup  Barat kemudian diimpor serta disebarluaskan oleh pemikir Muslim moderenis tanpa melakukan penyeleksian yang ketat terhadap sejarah dan landasan filosofis, teologis serta sosiologis dari ide tersebut.[59]
Selanjutnya menurut al-Attas, Islam menolak penerapan apa pun mengenai konsep-konsep sekular, sekualrisasi maupun sekularisme, karena semua itu bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Demensi terpenting dari sekularisasi, menurut al-Attas, sebagaimana pendapat Harvey Cox, adalah desakrisasi atau penidak keramatan alam. Demensi inilah yang tidak diterima oleh kalangan Kristen Barat. Sedangkan Islam menerima pengertian tersebut dalam arti mencampakkan segala macam tahayul, kepercayaan animistis, magis serta tuhan-tuhan palsu dari alam. Pengertian Islam tentang keramatan alam ini adalah pengertian wajar tanpa mendatangkan sekularisasi bersamanya.
SEKULARISME
ISLAM
Asli buatan manusia
Asli buatan Tuhan
Orientasi keduniawian
Menekankan dunia dan akhirat
Menekankan akal, observasi dan eksperimen
Menekankan wahyu, akal observasi, dan pengalaman
Mempercayai Humanisme
Mempercayai humanisme tetapi dalam kerangka Syari’ah
Memisahkan agama dan politik
Menyatukan agama dan politik
Memosisikan agama hanya dalam urusan personal
Mengatur semua aspek kehidupan
Tabel perbedaan antara Islam dan Sekularisme
Sebagaimana dipahami oleh berbagai pemikir yang dijelaskan


Semua kekeliruan dalam pandangan alam Barat dapat disimpulkan oleh al-Attas kepada lima perkara yang juga mendefinisikan peradaban Barat:
1.      Kepercayaan mutlak pada akal (rasional) sebagai panduan dalam kehidupan.
2.      Pandangan dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
3.      Penerimaan aspek ke-disinikini-an sehingga memancarkan pandangan alam yang secular.
4.      Penerimaan doktrin humanism.
5.      Menjadikan drama dan tragedi sebagai kenyataan dan sangat berpengaruh kepada hakikat manusia dan kejadian.
Penulis mengambil kesimpulan dari Kritik al-Attas terhadap sekularisme cukup jelas. Beliau mengecam pemisahan antara materi dan spiritual yang akhirnya mengangkat manusia sebagai penguasa mutlak di alam ini.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Sekularisme juga memiliki arti fashluddin anil haya, yaitu memisahkan peranagama dari kehidupan yang berarti agama hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja. Maka sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yanghanya melihat kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian samasekali kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah kematianyang notabene adalah inti dari ajaran agama.
Sekularisme secara terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan antara negara (politik) dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara merupakan lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap masing masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing-masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.
Sejarah munculnya sekularisme sebenarnya merupakan bentuk kekecewaan (mosi tidak percaya) masyarakat Eropa kepada agama Kristen saat itu (abad ke-15an). Di mana Kristen beberapa abad lamanya menenggelamkan dunia barat ke dalam periode yang kita kenal sebagai the dark age. Padahal pada saat yang sama peradaban Islam saat itu sedang berada di puncak kejayaannya. Sehingga ketika perang salib berakhir dengan kekalahan di pihak Eropa, walau mereka mengalami kerugian di satu sisi, tetapi, sebenarnya mereka mendapatkan sesuatu yang berharga, yaitu inspirasi pengetahuan. Karena justru setelah mereka “bergesekan” dengan umat Islam di perang salib hal tersebut ternyata menjadi kawah candradimuka lahirnya renaissance beberapa abad setelahnya di Eropa. Setelah mereka menerjemahkan buku-buku filsafat yunani berbahasa arab dan karya-karya filosof Islam lainnya ke dalam bahasa latin.
Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, secara etimologis, sekular berasal dari bahasa latin, saeculum yang memiliki arti dalam konotasi time (masa) dan location (tempat).Al-Attas menerangkan bahwa saeculum memiliki makna “masa kini,” dan “disini.” “Masa kini” berarti zaman sekarang ini (this present age) sedangkan “di sini” merujuk kepada di dunia ini.
Orang Islam tidak boleh ikut-ikutan menerapkan konsep pengosongan nilai-nilai ruhani dari alam tabi’i (disenchantment of nature), karena konsep ini bertentangan dengan konsep pandang hidup Islam tentang alam. Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta adalah a-ya-t (kata, kalimat  dan tanda simbol) manifestasi lahir ataupun batin dari Tuhan. Alam ini memiliki makna keteraturan dan harus dihormati dikarenakan ia memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Manusia memang Sebagi khalifah di atas (muka) bumi. Namun ini bukan berarti manusia akan menganggap dirinya sebagai “patner bersama Tuhan dalam penciptaan.” Manusia harus berlaku adil kepada alam. Hubungan harmonis antara manusia dengan alam harus terjalin. Justru disebabkan alam bagaikan Kitab terbuka, maka alam itu dipelajari dan diketahui.
B.     Keritik dan Saran
Kami sebagai manusia yang ingin menjadi diri sendiri dan pribadi yang lebih baik menyadari akan kekurangan dan kesalahan yang ada pada diri kami sebagai manusia biasa. Oleh karena itu kami berharap kepada semua pihak yang membaca makalah ini untuk memberikan sumbangsih berupa kertitik dan saran bagi penulis demi menjadi diri yang lebih baik dan demi penyempurnaan makalah ini, sehingga dapat bermanfaat bagi siapa saja. Amin.


[1]http://kekerisid.blogspot.com/2012/12/pandang-islam-terhadap-sekularisme-i_21.html. diakses pada 24 Nopember 2014
[2]http://masalayk.blogspot.com/2012/01/marga-marga-arab-indonesia.html, diakses pada 16 Desenmber 2014.
[3]http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-menurut-syed-m-naquib-al-attas/, diakses pada 24 Nopember 2014.
[4]http://mpiuika.wordpress.com/2010/03/01/pemikiran-pendidikan-menurut-s-m-naquib-al-attas/. diakses pada 24 Nopember 2014.
[5]Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Filsafat Dan Praktik Pendidikan Islam, terj. The Educational Philosophy and Practice, (Cet. I; Bandung: Mizan, 2003).
[6]A. Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, (Cet; II, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014).
[7]http://mpiuika.wordpress.com/2010/03/01/pemikiran-pendidikan-menurut-s-m-naquib-al-attas/. diakses pada 24 Nopember 2014.
[8]Soleh, Filsafat Islam.
[9]Ismail SM, Paradigma pendidikan Islam Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
[10]Http://inpasonline.com/new/islamisasi-ilmu-pengetahuan-tinjauan-atas-pemikiran-syed-m-naquib-al-attas-dan-ismail-r-al-faruqi/. Diakses pada tanggal  24 Nopember 2014.
[11]Soleh, Filsafat Islam.
[12]Wan Mohd, Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung: Mizan, 1998).
[13]Syed Muhammad Naquib al-Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Pulau Pinang: Universitas Sains Malysia, 2007).
[14]http://kekerisid.blogspot.com/2012/12/pandangan-islam-terhadap-sekularisme-i_21.html#.VHoQJigRWUA, diakses pada 24 Nopember 2014.
[15]Maksun, Islam, Sekularisme, Dan Jil, (Cet. I; Semarang: Walisongo Press, 2009), hlm. 21.
[16]Maksun, Islam.
[17]Maksun, Islam.
[18]Adian Husaini, Islam Liberal, Pluralisme Agama & Diabolisme Intelektual, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005).
[19]Syed Muhammad Naquib al-Atas, Islam dan Sekularisme. Terj. Karsidjo Djojosoewarno, (Bandung : Pustaka, 1981).
[20]Maksun, Islam.
[21]Maksun, Islam.
[22]Adian, Islam.
[23]Maksun, Islam.
[24]Budhy Munawar Rachman, Argumen Islam untuk Sekularisme, (Jakarta: Pt Grasindo, 2010).
[25]Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat, (Cet. 1; Bandung : Pt. Remaja Rosda Karya, 1995).
[26]H. Endang Saefudin Anshari, Wawasan  Islam, ( Jogjakarta: Gema Islami, 2004), hal. 183.
[27]Maksun, Islam.
[28]Budhy, Argumen.
[29]Maskun, Islam.
[30]Budhy, Argumen Islam.
[31]Maskun, Islam.
[32]Budhy, Argumen Islam.
[33]http://khilafatulmuslimin.com/runtuhnya-sekularisme-dan-tanda-kebangkitan-islam/, diakses pada 24 Nopember 2014.
[34]Qs. Thaha (20). 124.
[35]Budhy, Argumen Islam.
[36]Maskun, Islam.
[37]Al-Atas, Islam.
[38]Adian, Islam.
[39]Adian, Islam.
[40]Adian, Islam.
[41]Budhy, Argumen Islam.
[42]Budhy, Argumen Islam.
[43]Adian, Islam.
[44]Budhy, Argumen Islam.
[45]Budhy, Argumen Islam.
[46] Budhy, Argumen Islam.
[47]Budhy, Argumen Islam.
[48]Budhy, Argumen Islam.
[49]Abdul Muid, Pandangan Zainuddin Sardar Terhadap Sekularisme, http://wwwmuiddosen.blogspot.com/2012/01/normal-o-false- false- false-en-us-x-none-7567.html. diakses pada 16 Desember 2014.
[50]Abdul Muid, Pandangan Zainuddin.
[51]A.R. Zainuddin, Pemikiran Politik Islam, Timur Tengah dan Benturan Ideologi, (Jakarta: Grafika Indah, 2004).
[52]Al-Attas, Tinjauan.
[53]Al-Attas, Tinjauan.
[54]Adian, Islam.
[55]Al-Atas, Islam.
[56]Adian, Islam.
[57]Adian, Islam.
[58]Adian, Islam.
[59] Adian, Islam.

Post a Comment

0 Comments